Dina terbangun dari tidur siangnya yang damai. Kepalanya
agak sakit, rasanya seperti otaknya yang lunak itu menjadi tempat ibu-ibu penjahit
menancapkan jarum-jarum pentul. Kelopak matanya berat sekali. Dia melirik jam
dinding berwarna kuning yang tergantung rapi di dinding kamar kosannya.
Gelap, tidak terlihat apapun.
Dina menyalakan lampu di meja sebelah kasurnya. Tampaklah
jarum-jarum jam dindingnya meneriakkan kenyataan bahwa sekarang sudah jam 1
siang.
Dina mengerang sunyi.
Pelan-pelan, otaknya menghitung sudah berapa lama dirinya
terlelap. Dia baru pulang dari kampus jam 7 tadi pagi. Tugas kelompoknya baru
selesai jam 6. Segera, dengan semangat asik-tugas-gua-berkurang-satu, Dina dan
Cinta beranjak ke tempat print pinggir jalan sekitar kampus. Jam setengah 7
mereka berhasil tiba di tata usaha untuk mengumpulkan tugas, dengan muka riang
dan kantung mata yang membengkak. Sialnya, tata usaha masih tutup.
“Haha, hebat amat kita, bangun lebih pagi dari tata usaha,”
Cinta tertawa frustasi.
Dina melengos,”sok-sokan bangun pagi ah lo, Cin, kita kan
belum tidur.”
Cinta terkekeh lelah lalu mengajak Dina menunggu ibu-ibu tata usaha di kursi-kursi di sepanjang lorong gedung kuliahnya. Mereka menjatuhkan tubuh mereka di kursi yang keras, lalu bersandar mengantuk, memejamkan mata.
Sekitar 7 kurang 15, Ibu Tia datang dan membuka pintu ruangan
tata usaha. Bergegas, Dina dan Cinta merapat pada Ibu Tia sambil membawa
laporan tebal. Ibu Tia menolak mereka dengan alasan,”TU-nya belum buka, Neng.
Sebentar lagi jam 7 aja.”
Dina segera menguap, memasang muka lelah dan mata sepet.
Cinta berpura-pura kelelahan, meskipun memang benar-benar lelah, dan bersender
pada pintu tata usaha, kemudian merayu Bu Tia dengan balada sedihnya dia dan
Dina, betapa lelahnya mereka semalam suntuk begadang, belum lagi prahara laptop
ngehang, tempat printer yang agak jauh (dan nanjak!) serta mahal, bahwa mereka
akan kuliah pagi (meskipun mereka sudah meyakinkan diri untuk bolos), dan
betapa sakitnya kepala mereka sekarang.
Akting mereka teruji kualitasnya sampai-sampai Bu Tia
mengiyakan mereka untuk mengumpulkan tugas, lebih cepat dari waktunya. Dengan sepercik muka iba yang tulus dari Bu
Tia, yang membuahkan rasa bersalah pada Cinta yang telah memberi alasan super
hiperbola, beliau menyemangati anak-anak kuliahan ini dengan sungguh-sungguh.
Sambil berjalan pulang, Cinta meluapkan rasa tidak enaknya,
yang menurut Dina berlebihan.
“Ya udah, sih, toh kita kan gak benar-benar berbohong
dan berakting. Laptop Toni memang ngehang semalam dan Kika sampai harus minum
panadol saking pusingnya. Kita memang capek, kok.”
Akhirnya, jam setengah delapan pagi, Dina tiba di kosannya –
di kasurnya. Dina membanting tubuhnya ke kasur, lalu berguling menyamping
menghadap tembok. Sekarang, dia sedang memandangi list tugas yang dia tempel di
dinding samping tempat tidur. Dina mengambil bolpen, yang, entah bagaimana,
tergeletak di samping bantalnya, lalu mencoret satu buah tugas.
“Laporan struktur bangunan… Rabu. Tugas manajemen
konstruksi, tugas…”
Dina mendaftarkan tugasnya yang belum rampung satu persatu dalam hati. Masih ada 5 lagi. Dari tujuh tugas yang diberikan bertubi-tubi di dua minggu terakhir kuliah. Dina dan teman-temannya harus menyelesaikan 60% dari total tugas mereka dalam waktu 25% dari total kuliah! Salahkan dosen.
Hey, dosen tidak bersalah. Mereka sedang berbagi ilmu
melalui… tugas.
Salahkan… salahkan diri sendiri berani-beraninya masuk
universitas. Haha. Dina tersenyum sendiri.
Kemudian terlelap.
Ketika jam satu siang akhirnya terbangun, Dina sudah beristirahat
selama lima setengah jam. Cukup, sih, seharusnya. Dengan kepala yang agak sakit
dan badan yang malas bergerak, dia memejamkan matanya sebentar.
Lima menit saja kok.
Suara hujan terdengar samar-samar, menenangkan. Lima menit
kemudian, dia membuka matanya dan langsung beranjak keluar kamar. Entah
bagaimana, ruangan di luar kamar kosannya tampak berbeda. Masa sih selama Dina
tidur tadi ada renovasi besar-besaran di balik pintu kamarnya?
Ruangan ini tampak menyenangkan bagi Dina. Besar dan
diterangi cahaya matahari yang agak redup, cerahnya termakan awan-awan mendung
di atas sana. Jendela-jendela besar menghiasi sebagian besar dinding ruangan. Ruangan
ini dipenuhi rak-rak buku yang terbuat dari kayu berwarna gelap. Sebuah karpet
berwarna marun terbentang di tengahnya, memberi aksen yang menarik dari
ruangan.
Dina pergi ke satu sudut ruangan dan duduk di sebuah kursi
di samping jendela besar. Di depan kursinya terdapat meja kayu bundar dan di
atasnya sudah disiapkan secangkir milo, untuknya. Butiran-butiran air sibuk
berdempet-dempetan di kaca jendela.
Dina menyeruput Milonya dan mengambil HPnya. Sebuah SMS dari
Cinta muncul. Bukan main gembiranya, semua sisa-sisa tugasnya diundur
pengumpulannya jadi bulan depan. Dina sangat
menikmati waktu istirahat ini, tanpa ada beban moril tugas menggantung di
benaknya. Dia menyeruput Milonya lagi sambil memejamkan mata.
Kemudian dia buka matanya.
Dina masih ada di atas kasurnya. Dengan lampu di sampingnya
menyala. Selimut yang berantakan. Serta jam dinding yang menunjukkan pukul 2
siang. Dina menelan ludahnya, merasa hidup ini pahit. Dina berdiri, duduk di
meja belajarnya, mengambil laptopnya, kemudian mulai membuka Microsoft Word
dengan wajah datar. Ditemani sisa-sisa mimpi yang mulai tertelan kembali ke
pusaran ingatannya, Dina mulai mengetikkan kata, L-A-P-O-R-A-N …