Kini, Nanti, Kini dan Nanti

 Dina menatap jadwal yang tertempel di hadapannya. Papan butut yang selalu menghalangi anak-anak masuk ke kantin itu kini dikerumuni oleh para mahasiswa layaknya lampu dan laron. Dengan teliti, Dina mencatat satu per satu jadwal ujian yang sudah dirancang oleh bagian tata usaha.

"Seandainya para asisten lab yang merancang," pikir Dina.

Para staff tata usaha tidak mengetahui penderitaan para mahasiswa. Dan, ya, tentu saja para asisten lab pernah menempuh tahun yang ditempuh Dina. Mereka akan mengerti bahwa ujian Statistika II dicampur dengan ujian mata kuliah Riset Operasional itu bagaikan magnesium dicampur dengan air.

Terbakar.

Tidak sanggup membayangkan Dina akan otaknya yang kebakaran di Selasa malam. Ah, semoga ujian cepat berlalu.

Selepas dari sana, Dina berjalan masuk ke kantin untuk membeli jus tomat, favoritnya, sementara ia menenangkan diri sebelum maraton ujian dimulai. Terasa handphonenya bergetar dan segera ia ambil untuk melihat.

Dari Kinan dan Nanda. Biasa, minta dikirimkan jadwal ujian dari Dina sementara mereka malas ke kampus, pasti sedang asik bergumul di dalam selimut sambil menonton drama korea.

***

"Gile, hari Rabu," komentar Nanda terkejut.

Kinan mengeluarkan emoticon menangis.

Dina cuma membalas, "iya, heboh ya Rabu."

Setelah itu, Dina langsung mengeluarkan agendanya dan menganalisa lebih jauh susunan ujian mata kuliah seminggu ke depan.

Oke, Senin ada cuma psikologi industri, gampil lah. Kalau begitu, besok pagi perlu belajar psikologi industri, siangnya istirahat dulu, sore cicil Statistika II.

Dina larut dalam pikirannya, sibuk mengatur jadwal selama seminggu ke depan, sampai-sampai dia tidak menyadari lalat sudah hinggap di sedotannya.

***

Hari Minggu sudah tiba dan semua anak jurusannya sedang mempersiapkan ujian. Atau paling tidak, hampir semua.

Karena Kinan malah sudah berseragam olahraga lengkap dengan headset menyantol di telinganya. Dina dan Nanda sedang bergelimpangan di kamar Nanda untuk belajar sampai Kinan lewat dan menyapa,"oy."

"Woi, mau ke mana Nan?" Nanda kaget melihat penampilan Kinan.

"Olahraga dulu, hehehe. Mumet gue lihat jadwal ujian."

"Statistika Naaan bentar lagi," Dina mengingatkan, "bareng sama Riset Operasi!"

"Besok Psikologi Industri kan?" balas Kinan sambil mengikat tali sepatu,"belajar sore nanti lah, sambil nyicil dikit-dikit buat Riset Operasi."

Dina dan Nanda saling berpandangan.

"Bye," Kinan berlalu.

***

Setelah shalat zhuhur, Dina memakai bergonya dan mengambil dompet. "Yuk makan," ajak Dina kepada Nanda, "ayam penyet yuk."

Nanda melipat mukenanya, lalu kembali membuka buku. "Nanti aja, Din. Lo duluan aja, gue nanggung belajarnya."

Dina mengangkat bahu, lalu memutuskan mengajak Kinan. Ia mengeluarkan handphonenya dan mengirimkan pesan pada Kinan.

Tak disangka, inilah balasan Kinan.

Yah gue lagi di PVJ, Din. Tadi pas jogging ketemu Ratih, terus ngajakin makan-makan dulu sama Fika, Rara.

Dina mengangkat bahu lebih heran lagi. Ratih, Fika, dan Rara, mereka bertiga jurusan Biologi yang sudah menyelesaikan ujiannya minggu lalu. Ya wajarlah kalau mereka sudah bebas.

Terserahlah.

***

Begitulah berlalu selama beberapa hari. Dina mengikuti jadwal belajar yang sudah dibuatnya, tiap hari ada cicilan untuk Statistika II dan Riset Operasi. Sementara Nanda, lebih panik lagi, terlihat belajar tanpa henti. Sarapan sampai dia skip, makan siang terlambat, tidur larut sekali. Ketika Dina sudah mengusaikan belajarnya, Nanda masih lanjut sampai tengah malam.

Kinan, berbalik 180 derajat dari Nanda. Hampir tiap hari ia tergoda oleh panggilan-panggilan teman-teman. Tiba-tiba nonton bioskop, tiba-tiba latihan basket, tiba-tiba ke salon, Dina dan Nanda sampai cenat-cenut melihatnya pergi dari kosan setiap hari. Malam Kinan datang, dan mulai belajar, tapi tidurnya berbarengan dengan Dina atau bahkan lebih awal.

***

Dan... apa yang terjadi ketika ujian Statistika II dan Riset Operasi tiba?

Dina, mungkin sesuai yang kita tebak, dapat menjalankannya dengan mulus, tapi karena dia bukan Einstein ya ada salah sedikit-sedikit. Kinan, sesuai tebakan juga, blank saat ujian. Rumus lupa, kalaupun ingat, ia tidak bisa mengerjakannya karena kita semua tahu soal hitungan butuh latihan.

Nanda, mungkin di luar dugaan kita, hasilnya malah jeblok! Pada hari ujian, kepala Nanda sangat pusing dan perutnya perih. Asam lambungnya sepertinya mengamuk. Ia tidak bisa berkonsentrasi saat ujian. Hasilnya, mungkin sama dengan Kinan yang belajarnya sangat minimal.

***

Ini hanyalah sebuah perumpamaan.

Teaching, Marketing, and Leading

Berbeda dengan kakak saya yang senang berbincang dengan orang baru, saya cenderung nyaman dengan orang-orang yang sudah saya kenal saja. Alkisah saya agak kaget juga, ketika itu kami sekeluarga sedang menyebrang jalan di luar negeri. Ketika tiba di ujung zebra cross, ternyata kakak saya sudah dapat kenalan baru (mereka mengobrol di sepanjang penyeberangan yang singkat tadi), lalu mereka bertukar kartu nama.

"Suka nyari-nyari topik pembicaraan," komentar saya.

Kontan bapak saya tertawa mendengar celetukan saya. Namun, di satu sisi beliau membenarkan tindakan kakak saya dan memotivasi saya untuk melakukan hal yang sama; berkenalan dengan orang baru.

Saya tak ambil pusing nasihat itu dan tetap hidup sebagai Anka yang sama setelahnya.

Dengan sifat saya yang dulu itu, bukan aneh kalau dulu saya tidak berminat dengan kegiatan sales and marketing. Sebuah rangkaian kegiatan yang memiliki konsekuensi untuk PDKT dengan orang-orang baru. Tampaknya saya sekaku kanebo kering kalau berhadapan dengan orang baru.

Dulu juga, saya mendengar sebuah panduan tentang leadership. Sang pemateri menyampaikan keterampilan apa saja yang dibutuhkan seorang leader. Dari A sampai Z dia sebutkan. Lalu, dengan dramatis, dia menambahkan satu keterampilan terakhir yang harus dimiliki.

"Marketing," katanya dalam bisikan yang misterius.

Sekali lagi, karena saya sama sekali tidak menaruh minat pada marketing, nasihat itu terabaikan bagai batu kerikil di tengah jalan.

***

Aliran waktu pun membawa saya tiba di dunia pendidikan. Kali ini, bukan sebagai siswa, tapi sebagai pendidik. Tahun-tahun pertama merupakan tahun yang sangat berat bagi saya. Rasanya seperti orang yang pas-pasan dalam skill berenang, tiba-tiba dijeburin ke laut dalam. Terbayang ya, ngos-ngosannya seperti apa ketika berenang? Ketika ombak datang menyerang, berkali-kali hampir tenggelam.

Hehe.

Namun, bukan saya kalau tidak jalan terus di tempat yang saya yakini. Pun motivasi datang silih berganti, salah satunya motivasi dari pendidik tersenior di tempat ini.

Katanya, "banyak pemimpin lahir dari profesi guru." Lalu beliau memberi contoh tokohnya. "cintai pekerjaan ini, lakukan dengan sepenuh hati dan ikhlas, insya Allah kalian semua akan jadi leader."

Mulailah muncul pertanyaan dalam benak saya, why? Apa hubungannya menjadi pendidik dengan berkembang jadi pemimpin?

***

Aliran waktu juga yang melabuhkan saya di dunia marketing. Selama kuliah, saya dapat banyak pintu kesempatan terbuka di jurusan saya untuk mendalami marketing. Tentu bisa ditebak, selalu saya tutup pintu itu. Saya memilih untuk mendalami sisi lain dalam jurusan saya. Tidak sih, saya tidak menyesal karena saya benar-benar enjoy dengan yang saya dalami. Namun, kalau saja saya sedikit mendalami marketing, tentu saya memulai dunia baru saya ini dengan clue yang lebih jelas.

Sebelumnya, saya berkutat di dunia produksi. Dunia itu saya awali dengan pengetahuan yang sudah saya miliki. Memang, teori di kuliah tidak semudah itu dipraktikkan. Tapi setidaknya, teori itu mengarahkan saya dalam koridor yang tepat. Ketika saya mulai pindah ke dunia marketing, oh no. Seperti pergi ke kota baru tanpa peta. Tepatnya, rasanya seperti waktu saya pertukaran pelajar ke Korea Selatan, lalu tersesat (salah mengambil bus), sendirian, tidak punya peta, tidak lancar baca tulisan Hangul, dan tidak mengerti bahasa Korea. Rasanya begitu, hehe.

Namun ya saya tetap menjalani dengan sabar. Coba ini coba itu, benar-benar trial and error. Waktu kuliah, tahunya cuma teori STP dan Marketing Mix. Itu pun sebenarnya belum paham-paham amat (justru sekarang jadi paham sekali karena sudah menjalani. Memang, yang penting praktik ya). Dan saya merasa, bagi saya marketing lebih sulit daripada produksi (ini pendapat pribadi, bukannya saya menganggap produksi mudah ya. Di bagian produksi pun saya masih kelimpungan dan harus banyak belajar hihi).

Statement otak saya itu membangkitkan jiwa analisis saya.

Why?

Setelah saya pikirkan, marketing lebih sulit daripada produksi karena indikator kesuksesan kita sangat tergantung pihak eksternal (orang lain). Sedangkan dalam produksi, kesuksesan kita banyak ditentukan dengan kita memperbaiki diri sendiri.

Misal, dalam produksi targetnya adalah jumlah produk per bulannya. Itu dapat dilakukan dengan kita mengontrol internal divisi produksi, seperti jumlah SDM yang harus ada (kalau kurang, cari tambahan), jumlah alat dan mesin (cukupkah untuk mengejar target produksi?), jadwal produksi, pembelian bahan, dan sebagainya. Sedangkan untuk marketing, targetnya adalah banyaknya penjualan. Barang kita tentu saja dibeli oleh orang lain. Artinya, untuk mencapai target marketing, kita harus mengontrol pihak eksternal, memengaruhi orang lain.

Lalu si jiwa analisis itu tiba-tiba teringat pada sepotong info di masa lampau: keterampilan yang harus dimiliki pemimpin adalah marketing.

Benar juga. Pemimpin tugasnya mengontrol, mengatur, dan memengaruhi orang lain. Itulah yang dilakukan oleh bagian marketing. Itulah mengapa, marketing berhubungan erat dengan kepemimpinan. Pun sebagai pendidik, tugas mereka adalah mengontrol, mengatur, memotivasi, dan mengubah karakter (menjadi lebih baik tentu saja) orang lain. Itu pula yang dilakukan oleh pemimpin. Itulah mengapa, keterampilan dalam mendidik berhubungan erat dengan kepemimpinan.

***

Kebetulan, saat ini saya sedang diamanahkan dalam kedua posisi tadi. Tugas saya hanya melakukan yang sebaik-baiknya. Ini semua kan ujian, untuk dilihat siapa yang amalnya lebih baik.

😉

Bersihkan

Bersih-bersih bukan sekedar meniadakan debu dan kotoran
Lebih dari itu, sebuah perihal utama dalam pendidikan
Dalam rangka membangun keagungan peradaban

Bebersih membina manusia menjadi beradab
Hati teguh penuh rasa tanggung jawab
Hilanglah pribadi yang senang menunda
Bahkan membangun karakter yang sederhana

Karena bebersih sejatinya akan menyadarkan
bahwa rumah dan harta bukan hanya untuk dinikmati
Namun yang perlu dijaga dalam kehidupan
dan akan dihisab setelah mati

Bebersih bukan hanya urusan wanita setitik
Namun lelaki pun tak lepas dari urusan domestik
Karena bebersih membawa pada sempurna kehidupan
Bukan sekedar pekerjaan ataupun beban

Didiklah anakmu melalui bersih-bersih
Dari sana ia akan memupuk rasa kasih

Libatkan ia dalam pekerjaan rumah tangga
Dari sana ia belajar menghargai dan berempati
Kelak ia akan paham pelajaran itu sungguh berharga
Setelah ia bangun bahteranya sendiri

Partisipasi Perempuan Indonesia dalam Dunia Kerja, Memprihatinkan?


Tulisan ini dedikasikan untuk seluruh dunia pada umumnya, dan untuk Rasmita Yulia pada khususnya, yang pada suatu ketika, mungkin sudah terbilang satu hingga dua tahun lampau, mengepos instastory yang temanya menghantui pikiran saya hingga kini. Selalu berjanji dalam hati, ingin membuat tulisan dengan tema terkait, akhirnya baru terwujud sekarang. Entahlah, akan selesai hari ini juga atau tidak, karena saya berkejaran waktu dengan bangunnya si bayi dari nyenyak tidurnya. Kapan bangunnya? Tidak ada yang tahu, hehe.

Mita dulu mengepos tentang partisipasi wanita di dunia kerja. Bukannya saya tidak setuju atau setuju dengan tulisannya, tapi saya tergelitik akan topik ini secara umum: bagaimana hari ini dunia memandang makna ‘partisipasi wanita dalam dunia kerja’. Saya, sih, dalam pengertian umum, bisa disebut sebagai wanita pekerja. Jadi, topik ini menyetrum saya, bukan karena saya ibu rumah tangga yang ingin protes. Juga bukan karena saya gemas dengan rendahnya angka partisipasi wanita di dunia kerja Indonesia. Saya gemas pada hal yang lebih mendasar dari itu. Saya gemas pada tataran definisi.

Kembali ke Akar
Partisipasi perempuan dalam dunia kerja. Saya coba mengambil kata kuncinya dan membahasnya satu per satu. Partisipasi, perempuan, dan kerja. Partisipasi berasal dari kata participation yang dalam bahasa Inggris bermakna the action of taking part in something atau sebuah tindak untuk terlibat dalam sesuatu. Partisipasi secara pendek saya anggap sebagai sebuah keterlibatan. Tidak ada yang menggelitik ya dalam definisi ini.

Makna perempuan juga saya rasa hampir semua manusia berpandangan sama. Mengenai jenis kelamin, ya.

Nah, bagaimana dengan kata kunci yang ketiga? Kerja?

Secara umum, kata kerja pada frase ‘partisipasi perempuan dalam dunia kerja’ mengarah ke makna sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah; mata pencaharian. Ini adalah salah satu definisi kerja dalam KBBI. Definisi ini sesuai dengan bagaimana para pejabat atau para pembuat artikel mengungkap tentang rendahnya partisipasi perempuan di dunia kerja dibandingkan dengan laki-laki. Yang dikaitkan dalam tulisan-tulisan tersebut adalah masalah ekonomi, gaji, dan lainnya. Artinya, kerja di sini secara sempit diartikan sebagai mata pencaharian. ‘Kerja’ di sini lebih sebelas-dua belas dengan kata ‘job’ yang bermakna a paid position of regular employment.

Padahal, kerja juga bisa disandingkan dengan kata work yang memiliki arti activity involving mental or physical effort done in order to achieve a purpose or result – kegiatan yang melibatkan usaha mental atau fisik untuk mencapai tujuan atau hasil. Tujuan atau hasil tidak melulu harus diukur dengan uang dan gaji.

Saya ambil dari liputan6.com, pada Maret ini Srikandi Indonesia, Ibu Sri Mulyani, menyebutkan bahwa partisipasi angkatan kerja (labor participation) perempuan di Indonesia hanya 54%. Sudah sangat tersurat bahwa kerja yang dimaksud di sini terkait dengan mata pencaharian. Lalu, bagaimana dengan 46% perempuan lainnya? Selama ini, apakah mereka tidak dianggap bekerja?

Menyoroti masalah ini, saya memang bermaksud menggarisbawahi ‘pekerjaan’ ibu, khususnya ibu rumah tangga. Kalau ada orang yang berbicara, “ngapain sekolah tinggi-tinggi ujung-ujungnya jadi ibu rumah tangga”, “gak sayang sama gelarnya?”, atau pernyataan dengan nada serupa, saya dengan lantang menyimpulkan bahwa orang tersebut tidak memiliki mindset seorang negarawan.

Pendidikan adalah Bidang Strategis
Di bidang apapun, yang namanya menyiapkan penerus merupakan sebuah pekerjaan yang penting, mengingat manusia tidak ada yang hidup selamanya. Bahkan Voldemort pun akhirnya mati juga ya. Hahaha. Mulai dari himpunan mahasiswa dan BEM, pasti ada program kaderisasi. Menyiapkan penerus himpunan tersebut di kala kakak-kakaknya sudah wisuda. Bidang industri pun memiliki kaderisasinya sendiri. Menyiapkan pekerja-pekerja teknis baru dengan berbagai pelatihan. Mempersiapkan para calon manajer dan direktur dimulai dari program Manager Trainee. Divisi HRD (Human Resource Development) pun memiliki peran yang sangat penting bagi sebuah perusahaan.

Tak ketinggalan, lingkup yang paling luas, yaitu negara, memiliki alatnya sendiri untuk mengader penerus, yaitu SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Alias pendidikan. Jika kita mau berkaca pada negara yang disebut-sebut memiliki pendidikan terbaik, Finlandia, kita mungkin terperangah ketika mengetahui fakta-fakta pendidikan di sana, salah satunya adalah syarat menjadi guru SD minimal bergelar master (S2).

Memang pendidikan memiliki peran sangat penting dalam kemajuan negara. Ketika Jepang hampir lumpuh saat dua kotanya diterjang bom atom, Kaisar Jepang saat itu justru bertanya, ‘masih adakah guru?’. Yang ditanya bukan masalah ekonomi, bukan masalah politik, dan lainnya. Dengan pola pikir seperti itu, tak usah dibahas bagaimana hasilnya. Saat itu sama-sama Agustus 1945. Jepang dengan tragedi bom atomnya dan Indonesia yang baru bangkit melalui kemerdekaan. Kalau dibandingkan sekarang, signifikan sekali bukan, perbedaannya?

Pendidikan tidak bisa dianggap lalu. Pendidikan tidak bisa dianggap main-main. Pendidikan bukan sekedar transfer of knowledge, melainkan juga bagaimana membentuk kepribadian yang mantap, karakter yang hebat, akhlak yang baik, pada diri seseorang. Dan semua orang tahu, kepribadian harus dibentuk dari kecil. Banyak sekali ungkapan, ‘udah tua susah dikasih tau.’ Memang, yang lebih mudah dibentuk itu yang muda-muda.m Itu adalah bukti bahwa pendidikan karakter harus dimulai sejak dini.

Sejak dini, sejak kapan? Sejak dalam kandungan. Bahkan pada usia kehamilan 3 bulan, janin sudah dapat mendengar. Para ibu sangat disarankan untuk mengajak bicara janinnya. Lalu di masa-masa awal kehidupannya, anak memiliki kesempatan emas untuk belajar. Studi membuktikan bahwa seseorang paling lancar berkomunikasi dalam bahasa yang dia dengar dalam dua tahun pertama hidupnya (bukan berarti tidak bisa belajar bahasa asing ya). Yang saya garis bawahi adalah bahwa apapun yang diberikan di masa-masa awal kehidupan memiliki efek yang sangat besar kepada si bayi.

Ibu Juga Sebuah Pekerjaan
Jadi, dalam pandangan saya, ibu adalah sebuah profesi yang sangat penting dan patut mendapat perhatian dari pemerintah. Jika kita mengacu pada kata work yang bermakna kegiatan untuk mencapai tujuan atau hasil, maka ibu merupakan sebuah pekerjaan yang sangat penting. Tujuan atau hasil yang dicapai adalah anak-anak dengan fondasi karakter yang kuat, perkembangan yang optimal, dan sebagainya, dalam rangka membesarkan generasi penerus yang berdaya. Apa yang diberikan dan diajarkan seorang ibu pada bayi dan anak-anaknya akan sangat amat menentukan masa depan bangsa. Dengan kata lain, masa depan bangsa sangat ditentukan oleh kualitas para ibu.

Saya bisa mengatakan bahwa para pencetus ngapain-sekolah-kalau-cuma-ngurus-anak tak punya mindset negarawan karena apa yang ada dalam benak mereka ‘ngurus anak’ hanyalah perkara ibu rumah tangga yang berdiam di rumah, kerjanya bersih-bersih, lalu jam 10 nonton kartun bareng anak. Ya iyalah sayang sama gelar kalau kerjanya gitu doang. Padahal, ‘ngurus anak’ adalah sebuah perkara membangun masa depan bangsa, sebuah ruang kaderisasi untuk meneruskan kejayaan negara. Perkara besar seperti ini, yakin tidak membutuhkan ibu dengan 'sekolah yang tinggi-tinggi'? Perkara besar seperti ini, yakin mau diserahkan kepada orang tidak berpendidikan?

Perlu Ada Pendidikan Profesi
Hampir semua profesi memiliki jurusan sekolah formal. Ada jurusan kedokteran untuk mencetak dokter, ada sekolah kejuruan teknik untuk para praktisi di pabrik, ada sekolah farmasi untuk apoteker, dan lainnya. Pendidikan formal dimaksudkan untuk mempersiapkan manusia-manusianya ke dunia kerja yang sesungguhnya.

Namun, menjadi ibu, dan juga ayah, bukankah sebuah dunia kerja yang nyata juga? Apakah selama ini negara sudah mempersiapkan para perempuan untuk menjadi ibu, dan para lelaki untuk menjadi ayah? Apakah negara yakin kualitas orang tua Indonesia sudah baik? Pemerintah seharusnya memberikan perhatian yang besar kepada ‘sektor’ ini. Bukan sekedar kesejahteraan para ibu, tetapi juga bagaimana pemerintah meningkatkan terus kualitas ibu-ibu ini.

Sebagai gambaran, yang mungkin kurang ilmiah, saya saat ini mengikuti Instagram seorang dokter anak subspesialis nutrisi. Dari sekian banyaknya posting dan interaksi yang dilakukannya dengan para pengikutnya yang jumlahnya ratusan ribu, saya mendapatkan gambaran bahwa masih banyak ibu di Indonesia yang belum paham betul cara memberikan MPASI kepada bayi. Tidak heran, rapot kita saat ini di bidang pertumbuhan anak masih merah, yaitu 30% anak di Indonesia mengalami stunting. Jadi, sebagai seorang ibu, perempuan di Indonesia masih banyak yang belum teredukasi untuk menjalankan perannya dengan baik dan benar.

Btw, jangan anggap remeh stunting, ya. Hasil studi membuktikan stunting secara signifikan memiliki banyak pengaruh, di antaranya terhadap tinggi badan yang kurang, kecerdasan yang kurang, dan, percaya-gak-percaya, stunting memiliki korelasi terhadap tingkat penghasilan yang rendah di masa dewasanya. Secara kasar dan cepat, kita peroleh kesimpulan: cara ibu masak dan memberi makan menentukan GDP negara.

Ketika saya menjadi ibu, memang banyak sekali hal baru yang saya pelajari. Tadi kita baru membicarakan masalah gizi dan nutrisi untuk anak. Kita belum membicarakan hal-hal lain, seperti metode mengasuh anak, metode mendidik anak, cara belajar, bagaimana mengembangkan potensi anak, dan masih banyak lagi dimensi-dimensi yang perlu diperhatikan.

Saya sempat berpikir, alangkah membantunya jika saya dulu pernah kuliah atau sekolah menjadi ibu. (Gelarnya apa ya? S.Bun, Sarjana Bunda? Wkwk.) Atau, paling tidak ada ilmu-ilmu pengantar tentang anak dan keluarga yang diberikan di kelas 12 SMA. Atau, les yang diwajibkan pemerintah untuk diambil dalam rangka persiapan pranikah bagi pasangan yang berencana punya anak. Atau, kelas dari pemerintah untuk ibu-ibu hamil. Atau, ada ide kreatif lainnya?

Jadi…
Daripada terus-menerus menyoroti partisipasi perempuan dalam dunia kerja dan berharap partisipasinya terus meningkat, saya berpendapat lebih pantas untuk memasukkan ‘profesi’ Ibu Rumah Tangga (IRT) ini sebagai sebuah partisipasi kerja. Memang secara ekonomi, IRT tidak berkontribusi secara langsung. Namun di masa yang akan datang, kualitas kerja para IRT yang akan menentukan nasib bangsanya. Apakah pemimpin masa depan yang dididiknya ini berkualitas? Atau malah SDM Indonesia di masa yang akan datang hanya menjadi kuli bangsa lain?

Serta, pemerintah pun harus memerhatikan profesi ini, IRT maupun ibu bekerja. Peningkatan kualitas ibu amat sangat penting sebagai fondasi negara. Memerhatikan kesejahteraan ibu juga bermakna mempersiapkan kualitas terbaik generasi penerus. Bagi para ibu bekerja, harus diperhatikan kesempatannya berinteraksi dengan anak dalam rangka pendidikan. Profesi apapun dapat tergantikan, namun peran ibu tidak dapat sembarangan dioper-oper ke orang lain, apalagi berganti-ganti orang setiap hari tanpa ada program yang jelas bagi si anak.

Ibu adalah sekolah utama, bila engkau mempersiapkannya, maka engkau telah mempersiapkan generasi terbaik
(pepatah Arab)

Penyakit Hati, Datang dari Mana?

Mungkin saya memang sering merenung; saya penasaran mengapakah ada orang yang berpenyakit hati?

No, no. Saya tidak sedang membicarakan orang lain (saja). Saya juga sedang menganalisis diri sendiri. Saat rasa-rasa yang sering disebut 'penyakit', misal iri, dendam, benci (tanpa alasan yang jelas), rasa ingin riya', dan lain sebagainya, muncul dalam diri, saya selalu bertanya, kenapa perasaan ini ada dalam kalbu saya?

Pun kalau melihat orang lain dengan gejala-gejala penyakit itu, saya bertanya, mengapa ia diberikan penyakit sedang yang lain tidak? Apa yang salah? Apa yang menyebabkan itu?

Dan suatu hari saya teringat bahwa Allah selalu menjelaskan dengan perumpamaan dari kejadian di alam. Sebuah perumpamaan, tanaman yang disirami terlalu banyak air akan mati. Itu bisa jadi sebuah tanda untuk tidak membanjiri seseorang dengan 'air kasih sayang' yang berlebihan. Hal tersebut akan 'mematikan' orang tersebut. Sebutlah, anak yang 'terlalu' disayang malah menjadi manja dan tidak tough. Potensinya jadi mati, kan?

Jadi, saya yakin penyebab penyakit hati pastinya sama dengan penyebab penyakit fisik.

Ok, saya coba jabarkan ya apa sih penyebab penyakit fisik.

Yang pertama, yang paling mudah, tertular orang yang sedang sakit/ terinfeksi.

Yang kedua, karena makanan dan yang masuk ke dalam tubuh tidak beres. Makan yang kotor, ya diare. Keseringan makan manis-manis, ya resiko diabetes. Makannya banyak banget tidak terkontrol? Obesitas. Selain makanan, yang masuk ke dalam tubuh juga udara. Makan asap, alias ngerokok, ya siap-siap goodbye paru-paru. Hidup di daerah yang tingkat polusi udaranya tinggi pasti akan sangat berbahaya buat tubuh.

Berikutnya, hmm. Apalagi? Tidak menjaga kebersihan, sepakat? Malas mandi, hello panu. Malas menjaga kebersihan tangan, kuku sampe panjang dan hijau (hii~), berarti mau buka pemukiman cacing di usus, hehe. Tidak menjaga kebersihan rumah, macam-macam ya penyakitnya. Bisa sekedar gatal-gatal sampai parahnya kena penyakit pes.

Keempat, pola hidup. Sebenarnya makanan yang tadi sudah disebut, termasuk pola hidup, tetapi untuk tujuan analisis pribadi saya pisahkan. Pola hidup itu seperti kebiasaan membaca. Baca sambil tiduran, di tempat gelap, berarti matanya sebentar lagi ada empat. Malas olahraga, banyak juga sih penyakitnya. Imun jadi lemah, mudah terserang penyakit. Suka begadang, siap-siap sakit hati. Sakit hati yang organ ya, bukan Sakit Hati-nya Yovie & Nuno, heheh.

Aku sakiiit
Aku sakit hati
Kau terbangkanku ke awan
Lalu jatuhkan ke dasar jurang

Aw..

Oke, cukuplah menyanyinya.

Untuk sementara, saya rasa baru segitu saja. Apalagi penyebab penyakit? Genetis? Ya bolehlah kita masukkan dalam bab pembahasan (serius amat dikira bikin thesis).

Penyebab Penyakit Hati
Dari empat penyebab itu, pikiran saya mencoba mengonversinya ke dalam 'dimensi' hati. Yang pertama, tertular orang yang terinfeksi. Berarti, ini terkait dengan orang-orang yang ada di sekitar kita. Kalau kita dekat-dekat dengan orang yang lagi 'sakit hati', pasti kita akan mudah tertular. Dekat dengan orang yang suka ngomongin orang, julid, ghibah. Rasanya pengen ikutan juga gak sih? Haha. Kalau kita di lingkungan orang yang suka merokok dan menganggap itu keren, besar kemungkinan kita menjadi perokok aktif. Dekat dengan orang yang mengonsumsi narkoba, yang suka korupsi, bergaul dengan teman-teman yang suka menyontek, dan lainnya, penularannya sungguh besar.

Namun, ada saja orang yang tidak mudah tertular meskipun berdekatan dengan orang terinfeksi. Rahasianya ada di imun yang kuat. Kalau dalam konteks hati, berarti penularan-penularan ini dapat dicegah dengan aqidah yang kuat, antibodi utama kalbu manusia.

Kedua, segala yang kita telan dan hirup dapat menjadi sumber penyakit. Mungkinkah itu berarti, apa yang kita lihat, kita tonton, kita dengar, dan kita baca sehari-hari? Kalau keseringan scrolling di Instagram sampai jempol kapalan hanya untuk menyaksikan teman-teman yang asik travelling ke Eropa, wajar dong kalau kita jadi iri dan punya cita-cita tinggal di sana? Padahal, yang di-post oleh teman-teman kita itu hanya sisi indahnya saja. Kalau kita sering dengar ceramah yang mengajak menjadi ekstrimis teroris, bukan tidak mungkin kita terbawa arus. Sering dengar lagu-lagu cinta, nanti bawaannya jadi pengen punya pacar atau pengen cepat-cepat nikah, wkwk. Apa yang kita baca pun seringkali terpatri dalam otak dan menjadi mindset yang sangat memengaruhi pola pikir kita. Kalau bacaannya negatif, ya hasilnya pasti negatif.

Ketiga, tentang kebersihan. Kalau dalam kesehatan fisik, kebersihan yang dibicarakan juga mengenai kebersihan fisik. Namun, bagaimana konsep kebersihan dalam dimensi kalbu? Perbuatan kotor merupakan perbuatan yang menodai kebersihan dalam kalbu. Mungkin, tidak kita sadari, perbuatan itu menumpuk dan akhirnya menyebabkan penyakit. Merasa suka punya penyakit hati? Bisa jadi kita tidak menjaga kebersihan hati sehingga akhirnya menyulut penyakit.

Mungkin terdengar tidak nyambung dan tidak logis. Apa coba hubungannya timbulnya penyakit hasad dengan kebiasaan buruk kita malas puasa Ramadhan? Ya, sama halnya dengan penyakit fisik, kadang, kalau ditelaah dengan pikiran pendek, tidak akan masuk akal. Apa hubungannya telat makan dengan sakit kepala? Yang diabaikan perut, kok yang sakit kepalanya? Tapi, karena kita punya ilmunya tentang hubungan kedua hal tersebut, jadi terkesanlah logis. Sedangkan ilmu hati, yang tahu hanya Allah. Allah Yang Maha Membolak-balikkan Hati.

Terakhir, faktor genetis atau keturunan. Dalam pandangan saya, dalam dimensi hati, faktor ini berupa nilai-nilai yang diturunkan oleh orangtua. Nilai-nilai yang salah akan menimbulkan penyakit dalam hati. Kalau nilai yang dianut sama, ya sakitnya ya sehatnya akan sama juga.

Hehe.

Ini sedikit hasil perenungan saya yang panjang mengenai penyakit hati dan bagaimana cara menjauhinya. Dari dulu saya suka berpikir, penyakit hati tak pernah dijelaskan asal usulnya pun saya tak tahu bagaimana menangkalnya. Mudah-mudahan perenungan saya ini membawa hal bermakna pada diri saya juga :D

Keberterimaan pada Teguran adalah Koentji

Manusia pada umumnya tidak suka dengan hal-hal yang tidak mengenakkan. Lelah, bosan, sakit, dan sebagainya. Manusia pada umumnya memilih hal-hal menyenangkan seperti senang-senang, jalan-jalan, main-main, dan lain-lain. Salah satu hal 'menyebalkan' yang sering datang adalah teguran.

Teguran banyak wujudnya. Ada nasihat baik-baik dari guru kita yang jarang marah. Ada yang berupa sindiran nyinyir nan julid dari teman yang lagi super kesal. Ada juga teguran yang berupa cubitan keras dari ibu yang sudah gemas pada kelakuan anaknya. Sampai bentakan kasar pengendara motor kepada supir angkot yang ngetem sembarangan, itu pun teguran.

Pastinya, tidak semua teguran diniatkan untuk mendidik kita, ya, hehe. Pengendara motor yang memaki supir angkot karena ngetem sembarangan, saya yakin makian itu keluar hanya sebagai reaksi yang emosional, bukan karena si pengendara motor ingin supir angkot menjadi pribadi yang lebih baik. Berbeda dengan teguran dari guru ataupun dari orang tua, seringkali diiringi oleh nilai-nilai pendidikan dan harapan supaya kita menjadi lebih baik.

Tapi yang jelas, teguran itu muncul biasanya memang karena ada hal salah atau mengesalkan yang kita lakukan kepada orang lain.

Reaksi pada Teguran
Reaksi pada teguran juga wujudnya macam-macam. Ada yang masuk ke telinga, turun ke hati, dan diolah di otak. Ada yang begitu. Ada juga yang masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Yang lebih parah, ada yang masuk ke telinga, lalu berubah menjadi api dendam yang tersimpan di hati. "Apa sih, guru sok tau." Belum lagi kalau yang menegur lebih muda. "Songong amat sih jadi adik kelas." Atau teman sendiri. "Sok suci banget sih negur-negur. Sendirinya juga masih banyak salah."

Ea. Kapan kita ngambil hikmahnya kalau selalu bersikap defensif terhadap teguran?

Ada pepatah bahasa Arab yang berbunyi, unzhur maa qoola wa laa tanzhur man qoola. Perhatikan apa yang dibicarakan, dan jangan perhatikan siapa yang bicara. Tua muda, kawan lawan, adik kakak, siapa pun itu yang berbicara, harusnya cukup kita perhatikan apa yang dibicarakan. Sebuah teguran? Benarkah apa yang ia tegurkan pada saya? Bukan malah memperhatikan siapa-nya. Ah dia lebih muda, ah dia juga sama aja masih suka salah, dan lain-lain ribuan alasan akan keluar supaya kita tetap merasa benar.

Selain itu, saya juga selalu ingat pada sebuah ayat suci Al Quran, tentang teguran-teguran Allah melalui kerusakan alam, yaitu surat Ar Ruum ayat 41. Artinya, telah nampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.

Pada saat pertama saya baru benar-benar memahami kalimat itu, saya benar-benar takjub. Ternyata, tujuan Allah menegur manusia hanya satu. Yaitu, supaya manusia kembali ke jalan yang benar. Berarti, adanya banjir, longsor, kebakaran hutan, kekeringan, dan lain-lain, murni karena Allah begitu sayangnya sama manusia sehingga ingin kita semua sadar akan kesalahan dan kembali ke jalan yang lurus. Bukan karena Allah ingin menghukum kita.

Jadi, teguran, bagaimana pun bentuknya, sebenarnya memiliki efek yang baik bagi yang ditegur. Meski awalnya menyebalkan atau membuat kita malu, tapi jika kita mampu mengambil hikmah dari teguran, maka kita akan menjadi pribadi yang lebih baik. Sebaliknya, menutup hati pada teguran, tidak mau menerima kesalahan, hanya akan membuat kita berada di pusaran kebodohan yang sama.

Pegangan Pertama dalam Parenting

Sebuah notifikasi yang familiar memaksaku untuk mengecek si pintar telepon genggam. Aplikasi WhatsApp muncul. Kuintip, dan untuk kesekian kalinya kudapati sebuah informasi tentang parenting di grup ibu-ibu. Tidak boleh mengancam, katanya. Pikirku melayang pada sebuah teori lain yang saya pernah baca sebelumnya, katanya anak harus diberi konsekuensi untuk perbuatannya. Memberikan konsekuensi (baca: hukuman), sebelas-dua belas dengan mengancam, kan? Hmm, dilematis.

Dilema sebeumnya juga pernah muncul akibat kata 'jangan'. Anak tidak boleh dilarang, ganti dengan kalimat positif. Tapi bukan era milenial namanya kalau tidak ada artikel bertentangan: dianjurkan pakai kata jangan. Belum lagi segala simpang siur informasi tentang MPAS: puree buah, puree sayur, menu tunggal, atau empat kuadran? Hayo lho. Mau pilih yang mana?

Dari mana sumber informasi hal-hal tadi? Kebanyakan dari instagram. Sebagian dari artikel online. Sedikit dari buku. Hehe, sungguh kredibel sekali ya informasi ibu-ibu milenial.

Saya melirik Fatih dan berpikir akan masa depannya. Saya tidak sedang membesarkan seorang laki-laki yang hanya menumpang nafas di muka bumi. Saya sedang membesarkan seorang pejuang, seseorang yang membawa manfaat besar, seseorang yang patuh pada Penciptanya.

Tidak boleh sampai salah didik, pikir saya. Namun, di tengah simpang siur teori parenting seperti ini, saya harus pilih yang mana supaya tidak salah?

Lalu teringat saya pada Al Quran, sebuah solusi untuk setiap permasalahan hidup. Masa sih, tidak ada konsep-konsep parenting di dalam kitab suci? Harusnya, ada dong.

Akhirnya, dari WhatsApp, saya beralih mengklik aplikasi Al Quran digital. Dari dulu, kebiasaan saya tiap ada masalah, saya seringkali buka Al Quran, sembarang halaman. Pada 90% kejadian, saya selalu dapati ayat-ayat yang sesuai dengan permasalahan saya.

Cerita sedikit, hehe, OOT. Waktu kuliah dulu, pernah saya kalah tanding voli di semifinal. Selesai tanding, semua pemain kumpul. Wajah kami semuanya lesu dan hanya saling mengucap kata-kata menyemangati. Dari lapangan, saya pergi sendiri ke kamar mandi, berganti baju, kemudian menunaikan shalat ashar di Masjid Salman. Iya, shalat ashar. Kebayang kan, lombanya panas-panasan di bawah terik matahari siang bolong. Hehe. Dekil? Bisa jadi.

Sehabis shalat, hati saya masih terasa agak berat. Saya ambillah sebuah mushaf di dekat saya dan saya buka pada sembarang halaman.

Tebak, surat apakah yang menyapa mata saya?

Al Insyiroh.

Wow. Rasanya benar-benar... Hahaha waktu itu sih saya tersentuh banget, soalnya sekecewa itu gagal masuk final. Btw FYI, akhirnya saya berhasil menyabet juara tiga, yaa... Tepuk tangan, ya, buat saya. Wkwk.

OK, back to topic. Jadi, setelah bimbang dengan informasi yang saya baca, saya buka aplikasi Al Quran dan dengan asal saya ketikkan halaman 54. Benar-benar ngasal aja mengetik 54. Dan mau tahu apa isinya? Sok mangga buka sendiri biar afdhol, tapi saya post juga di sini yang mau saya highlight.

Di halaman itu, ada kisah tentang istrinya Imran yang lagi mengandung Maryam, lalu dia berjanji supaya anak dalam kandungannya menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat. Ayat terakhir, bercerita tentang Maryam yang dididik oleh Rabbnya dengan pendidikan yang baik. Tentang Maryam yang ditanya soal makanan yang ada di sisinya. Itu dari mana? Maryam menjawab, makanan itu dari sisi Allah.

Saya sesaat tercenung. Luar biasa bagaimana pesan ini bisa sampai kepada saya. Akhirnya, saya menyimpulkan:
1. Yang penting adalah niat. Niatkan dengan kuat, tekadkan bahwa anak ini harus jadi hamba yang saleh dan berkhidmat.
2. Kalau janji/ niatnya diterima, maka Allah akan memberikan sang anak pendidikan yang baik.
3. Salah satu indikatornya adalah keyakinan yang ada pada diri anak bahwa segala yang terjadi dalam hidupnya ini hanyalah semata dari sisi Allah.

Jadi, saya tidak khawatir dengan banyaknya informasi, tidak ambil pusing dengan pilihan metode parenting yang begitu banyak. Yang penting pertama-tama adalah niat untuk apa saya membesarkan anak ini. Sisanya, Allah yang akan membantu saya. Kalau memang niat saya betul, Allah pasti memberikan ilham yang benar, bukan ilham yang batil.

Siklus

Tidak jauh-jauh dari beberapa tulisan saya sebelumnya, tujuan saya menulis saat ini kembali untuk melenturkan jemari yang telah lama cuti dari menulis. Padahal, empat dari tujuh tulisan terakhir saya, semuanya berintikan: pemanasan jari. Ah, jadi siklus saya kemarin-kemarin saya cuma pemanasan, lalu menghilang lagi dari dunia persilatan, lalu pemanasan lagi, hilang lagi, daaaan gitu saja terus sampai kebakaran.

Namun, ada satu baris signifikan dalam daftar target terbaru saya: menulis setiap hari.

Bismillah.

Saya mulai hari ini.

Inspirasinya dari tokoh-tokoh terkenal, negarawan, dan para pemimpin, hampir semua dari mereka menulis buku. Pemikiran itu memang harus dituangkan.

Oke, intinya inilah langkah pertama saya. Tidak sempurna. Bahkan jauh dari sempurna. Sederhana, tidak terlalu berkonten, tapi perjalanan menuju sukses semuanya diawali dengan satu langkah pertama, ya kan? Hehe.

Oh ya, ngomong-ngomong, saya tuh buat blog baru. Tapi, rasanya kok sayang yaa untuk ditulisi? Rasanya kayak beli buku baru yang bagus gitu, jadi sayang buat ditulis-tulis :B pemikiran yang aneh.

Dosa Millenial

Seseorang menyunggingkan senyum manis di sebuah foto berbentuk kotak. Foto yang dapat dilihat, tapi tak dapat disentuh. Dengan satu gerakan jempol, ia akan hilang dari pandanganku, tergantikan senyum-senyum manis lain di bawahnya. Pose-pose unik di depan pemandangan yang menarik, berhiaskan kata-kata mutiara yang kadang tak ada kaitannya dengan foto.

Aku terus scroll layar instagramku. Aku menemukan teman SMA-ku berdiri di depan sebuah danau yang teduh oleh pohon-pohon cemara, ia tidak menatap kamera, menengok ke kanan sedikit, senyum pun tidak. Coat warna hijau lumut yang ia kenakan cukup menjelaskan temperatur sekitar yang tak dapat diraih AC di Indonesia. Di bawahnya, gambar hati ditemani oleh angka 134 likes dan di bawahnya lagi ia menulis And tonight I will fall asleep with you in my heart.

Jempolku tak berhenti.

Ada sebuah suara yang lirih, begitu lemah ia berbisik, memintaku untuk berhenti.

Tapi jempolku tetap tak berhenti.

Kini kulihat sepupuku bersama sepupuku yang lain, berfoto di meja restoran dengan dekorasi antik yang indah dipandang mata. Restoran yang, mungkin, dikenal instagramable. Aku jadi berandai-andai. Andai aku tinggal satu kota dengan mereka, mungkin aku ada di sana juga.

Aku menyadari setengah jam sudah berlalu sejak aku menyentuh layar ini. Dan dalam tiga puluh menit itu, ada banyak potensi manfaat yang bisa terpetik. Aku bisa menghangatkan rendang di kulkas untuk malam ini. Aku bisa membaca buku-buku novel, yang selama ini hanya menumpuk di sudut ruang. Dibeli namun tak dibaca dengan alasan belum ada waktu, sok sibuk lalu mengambinghitamkan tugas kuliah. Aku bisa juga benar-benar mengerjakan tugas kuliahku, yang sebenarnya memang banyak, tapi akan selesai jika aku niat untuk memulai. Atau aku bisa mandi dengan tenang.

Tapi mataku seolah lekat dan jempolku terus menunjukkan gambar-gambar menarik dari kehidupan teman-temanku, kehidupan para selebgram, dan wajah cantik model-model online shop.

Warna merah pada gambar baterai di pojok atas pun tidak kuhiraukan, sungguh malas rasanya bergerak mengambil charger.

Sekarang aku tahu Linda sedang di Sidney, Tania dan Inka sedang jalan-jalan ke Jogja, Rudi ikut kepanitiaan olahraga di kampus, bahkan kabar seorang artis instagram yang tak kukenal, bahwa dia kena tifus karena kelelahan, aku pun tahu.

Sampai tiba-tiba layarku menghitam, aku sadar dia sudah tak sanggup bertahan dengan energi yang tersisa di baterainya.

Suara keras dari hatiku mengucap alhamdulillah.

Aku bersyukur bisa terlepas dari genggaman media sosial. Aku pun segera menyadari satu jam sudah berlalu tanpa ada manfaat yang bisa aku ambil. Satu jam yang berharga, aku lewati tanpa aku berkembang menjadi lebih baik, lebih pintar, ataupun lebih wangi.

Oh, akankah besok aku terlarut lagi?

Kue Mahal dan Kue Warung

Alkisah Mahdi suatu hari ada urusan di Bandung. PP saja, jadi tidak terlalu berpengaruh terhadap kehidupan saya hehe, malam-malam juga sudah pulang lagi. Tapi, Bandung adalah kota wisata yang kulinernya menggoyang lidah. Jadi, saya selalu siap pesanan setiap doi ke Bandung.

Dulu pernah pesan kue seleb (aduh namanya lupa, punyanya si Omesh), gara-gara tidak sengaja pernah lihat review dari youtuber tentang kue tersebut. Awalnya tidak sengaja lihat, tapi dilanjutin nonton, jadi sengaja juga ya namanya? Hehe.

Di kali berikutnya, saya pesan H*rvest. Karena kalau beli cheese cake sulit dibawa naik bus umum, jadilah saya pengertian sedikit dan nitip cookies saja. Sebulan kemudian saya baru tahu itu harganya mahal banget, langsung berasa pemborosan huhuhu padahal keperluan baby masih banyak.

Menurut saya sih enak banget. Tapi, si Mahdi gak pernah nyentuh sedikit pun. Pernah saya paksa, makan cuma satu, lalu yaudah disudahi. Di lain kesempatan, saya paksa lagi untuk makan sambil saya memberikan pendapat bahwa kue tersebut enak banget. "Cobain deh yang cokelatnya tebal."

"Enakan g*odtime!"

Buset, kata saya dalam hati, kue mahal gini dibandingin sama kue warung, kalah pula. Hahahaha.

Di waktu berikutnya lagi, saya pesan brownies panggang yang terkenal di Bandung. Saya pesan yang original karena di atasnya ditaburi kacang almond yang baik untuk janin, wkwkwk (tetap berusaha memenuhi gizi bayi). Malamnya, datanglah brownies yang saya impi-impikan itu. Saya potong, saya makan, dan saya letakkan di atas meja.

Dari waktu ke waktu, saya menyadari brownies makin lama makin sedikit. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Mahdi. Akhirnya, ketika saya sedang bareng doi, saya coba tawari browniesnya, pura-pura gak tahu dia suka makanin browniesnya.

"Mau, mau. Tolong potongin," jawabnya.

"Suka ya?"

"Iya, ini enak banget. Mendingan ini lah ke mana-mana daripada waktu itu beli H*rvest. Mahal lagi."

Percakapan disela oleh kesibukan mengunyah.

Lalu Mahdi menambahkan,"ini enak banget. Setara lah dengan g*odtime."

What???

Hahahaha. Di situlah saya tertawa keras, tetap yaaa perbandingannya sama si kue swalayan itu.

Mendulang Medali di Tengah Ujian Sekolah

Ahad, 15 April 2018, M. Muslih Attoyibi, santri kelas 9 SMP Al Umanaa Boarding School, disambut hawa panas dan udara lembab ketika memasuki Gedung Ecovention, Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta. Santri yang akrab dipanggil Muslih ini melangkah pasti untuk menjalankan amanah mewakili SMP Al Umanaa Boarding School dalam ajang Kompetisi Matematika Nalaria Realistik (KMNR). Perjuangan yang tidak sia-sia, Muslih berhasil menyabet medali perunggu dalam kompetisi yang diikuti oleh sekitar 2300 peserta se-Indonesia.

Muslih sebelumnya telah melalui tahap penyisihan dan semifinal yang dilaksanakan di Sukabumi pada 17 Desember 2017 dan 4 Februari 2018. Setelah berhasil melewati keduanya, Muslih ditantang untuk mempersiapkan babak final dalam kondisi yang lebih sempit. Bagaimana tak terbilang sempit, santri asal Sukabumi ini harus berjuang menuju final di saat ia juga sedang mempersiapkan USBN (Ujian Sekolah Berstandar Nasional) untuk kelulusannya. Bahkan, babak final dilaksanakan di tengah USBN.

Namun, kondisi ini tidak menyurutkan langkah Muslih. Santri dikenal yang hemat ekspresi ini setiap harinya dengan serius dan istiqomah berlatih mengerjakan soal-soal matematika.
Perjalanan jauh menuju Jakarta melewati kemacetan harus ditempuh. Tiba di Ibukota, didampingi pembimbing, Muslih disambut oleh udara panas. Kendaraan terus melaju menuju Taman Impian Jaya Ancol. Pintu Timur lokasi wisata ini tampak dipadati oleh mobil-mobil. Panitia KMNR di pintu berlalu lalang membantu para peserta yang kesulitan.

Kendaraan terus melaju mencari Gedung Ecovention. Dari kejauhan, Gedung Ecovention tampak sesak oleh ribuan peserta yang berasal dari 13 provinsi di Indonesia. Babak final dilaksanakan sejak pk08.00 hingga pk10.30. Selama itu pula, Muslih berkonsentrasi mengerjakan soal-soal di hadapannya. Setelah makan siang, pk14.00 Muslih ditemani pembimbing, kembali menuju Ecovention untuk menyaksikan pengumuman. Alhamdulillah, hanya atas ridho Allah, nama Muhammad Muslih Attoyibi menggema dalam Gedung Ecovention, Taman Impian Jaya Ancol, sebagai peraih medali perunggu.

Selamat kepada M. Muslih Attoyibi, insyaAllah bisa menelurkan prestasi-prestasi lainnya yang lebih gemilang.

Melemaskan Jari - Sebuah Hadiah dalam Diri

"Saya gak suka main voli, abis tangannya kayak langsung merah-merah dan ada banyak titik merah," sebagian besar orang komentar kalau tahu saya lumayan senang main voli.

Biasanya, saya jawab seperti ini, "Emang gitu, saya kalau sudah lama gak main voli, terus tiba-tiba main lagi, tangannya juga gitu kok. Tapi kalo udah hari kedua dst, udah gak gitu lagi."

Ya memang semuanya, kalau sudah lama tidak dilakukan, pasti ada proses adaptasi dari tubuh yang harus diterima. Kalau kebiasaan merokok, tiba-tiba berhenti, katanya akan terasa pusing. Kalau kebiasaan tidak main voli, tiba-tiba main, ya, yang tadi itu, tangannya merah-merah. Kalau terbiasa nganggur, tiba-tiba jemarinya diminta untuk menulis lagi... Kaku rasanya.

Beberapa pekan ke belakang, saya dapat dua permintaan untuk meliput dan menulis tentang sesuatu. Namanya juga bukan sekedar menulis blog, tulisan macam itu pasti ada deadlinenya. Alhasil, dua tulisan tadi menjadi karya yang saya paling kurang sreg melihatnya. Saya sudah buat, hapus, buat lagi, hapus lagi, save as, buat baru, hapus lagi, buat lagi, bandingkan tulisan 1 dan tulisan 2, edit, minta masukan, tetaaaap saja saya jauh dari puas melihatnya. Semua karena cinta jari-jari saya sudah kaku macam kanebo kering.

Jadi, sesungguhnya, tulisan ini saya dedikasikan untuk melemaskan kembali jemari saya seperti membasahi kanebo yang sudah keras. Terlepas dari itu, memang sudah lama sebuah pemikiran mengambang-ngambang di otak saya, meminta untuk dikongkretkan melalui tinta-tinta virtual di blog ini. Ya, inilah pemanasan saya.

***

Flashback sedikit ke bulan September 2016, saya kebanjiran amplop dan hadiah dari orang-orang, yang kebanyakan, saya tidak kenal. Adat di Indonesia, pernikahan itu adalah acara orang tua, maka yang diundang juga teman-teman orang tua saya. Jadi, ya, yang saya salami selama dua jam penuh penyiksaan (baju yang dibelit-belit, kepala pusing yang ditusuk-tusuk cunduk mentul dan berbagai riasan lainnya), ya kebanyakan orang-orang yang tidak saya kenal juga, haha. Ujung-ujungnya, yang kasih saya hadiah juga orang-orang yang tidak saya kenal.

Kembali ke pasca acara, saya dan Mahdi sibuk sendiri, eh sibuk berdua deng, membuka amplop dan hadiah satu per satu. Kebanyakan orang lebih senang dapat amplop karena uang mentah bisa dimanfaatkan untuk banyak hal. Hadiah, bukannya tidak bermanfaat, tapi punya resiko tidak terpakai apabila kita dapat hadiah barang yang sama, sudah punya barang itu, atau memang sebenarnya bukan barang yang kita butuhkan. Namun, saya sendiri merasakan sensasi yang berbeda setiap saya membuka hadiah dibandingkan dengan membuka amplop.

Saya selalu deg-degan sendiri setiap mau membuka hadiah. Menurut saya, rasa penasaran yang timbul dan efek kejutannya itu sangat menyenangkan dan mendebarkan. Apapun hadiahnya, saya selalu merasa puas dan senang setelah membuka. Seperti rasa penasaran yang terpuaskan dan kesenangan melihat barang baru.

Dan, itulah yang saya rasakan juga selama kurang lebih lima bulan ke belakang.

Hehehe.

Selama ada si debay ini di perut, saya selalu penasaraaaaan sendiri.

Kayak apa ya mukanya?

Datangnya dia di perut ini rasanya seperti dapat hadiah. Kadang tidak sabar juga rasanya untuk membuka, tapi di sisi lain, saya sangat menikmati prosesnya.

Alhamdulillah saya diberi proses yang sangat mudah. Mual-mual hampir tidak ada. Paling hanya eneg sedikit aja kalau mencium aroma tertentu. Ngidam ini itu pun hampir tidak ada. Saya juga masih bisa beraktivitas macam-macam. Memang ada perubahan-perubahan yang harus saya terima dan saya jalani, tapi itu semua tidak memberatkan. Hehehehe.

Yang jelas, di awal, perasaan yang muncul pada diri saya hanyalah rasa tanggung jawab. Saya merasa mendapat amanah untuk menjaga nyawa seseorang, yang kebetulan dititipkan di saya. Saya hanya merasa diberi tugas tambahan untuk menjamin nutrisinya, perkembangannya, dan sebagainya. Rasa bonding terhadap si bayi ini sama sekali tidak klimaks. Saya sampai sempat khawatir juga, jangan-jangan saya ada kelainan nih kok gak merasa 'sayang' ya, sampai-sampai saya bertanya ke beberapa teman yang lebih dulu berpengalaman. Namun, kesimpulannya, saya tidak ada kelainan.

Sampai akhirnya, waktu itu di usia kandungan ke empat bulan, saya kontrol rutin seperti biasa dan dapat kesempatan mengintip doi lagi melalui USG. Dia kayak manusia mini gitu, lagi telentang menghadap atas. Tangannya menggapai-gapai entah apa, kakinya juga heboh banget kayak naik sepeda. Saya tertawa sedikit, sedikit saja soalnya jaim ada dokter, melihat kelakuan aneh di dalam perut. Sesaat USG-nya dipause, sesaat kemudian kembali menyala, dan dia sudah dalam posisi yang berbeda. Kalau tadi terlentang, sekarang seperti lagi posisi push up. Akhirnya, saya ketawa beneran. Lincah amat, sih.

Dari situ, saya mulai suka memikirkan ini anak. Maksudnya, si rasa ikatan itu sudah mulai muncul. Tapi, ternyata hanya beberapa hari setelah USG saja hahaha. Setelah itu, saya tidak terlalu ingat lagi dan hanya merasa punya tanggung jawab.

Sampai akhirnya, bulan ini saya kontrol, dan melihatnya mulai berbentuk seperti manusia sungguhan membuat saya terenyuh. Belum lagi sekarang saya juga sudah bisa terus merasakan gerakan-gerakannya. Huaaaah. Undescribable. Kalo katanya "picture says thousand words", maka picture pun tidak cukup. Hehehehehehehe.

Yaaa begitulah.. Ini hanya soal perasaan. Sebuah pemanasan menuju tiga PR tulisan saya ke depan. Doakan semoga cepat beres! :D

Kembali dalam Kabut Penuh Cinta

Membicarakan anak-anak generasi saya, yang dulu TV kabel belum menjadi barang yang mudah didapat laksana sekarang kita cari handphone, dan juga generasi yang mengalami masa-masa tanpa smartphone, yang saya akui, sangat menarik untuk sekedar di-scroll dan dipelototi sampai lupa waktu. Ngomong-ngomong soal smartphone, saya sendiri beberapa saat kadang terjebak dalam feeds-nya yang jauh dari penting dan bermanfaat, karena itu saya dengan penuh keniatan meng-uninstall beberapa aplikasi yang sangat besar gravitasinya untuk di-scroll.

Anak-anak generasi saya masih banyak menghabiskan waktu di depan televisi dan playstation. Menurut saya tidak jauh berbeda, kedua benda itu menjadi terdakwa penyebab rusaknya mata anak-anak, rendahnya kemampuan komunikasi dan sosialisasi, sampai rendahnya tingkat konsenstrasi anak. Tak jauh berbeda dengan smartphone. Jadi, jangan buru-buru senang dulu jadi generasi 90an. Kita belum tentu lebih baik daripada generasi tab, smartphone, dan kemudahan digital lainnya.

Terlepas dari itu, intinya saya mau bilang, anak-anak generasi saya pasti banyak yang tahu tentang Kabut Cinta. Yi Ping, Ru Ping, Shu Huan, Du Fei, dan nama-nama Cina lainnya. Kalau sekarang yang lagi booming adalah film Korea, dulu film Cina dan Taiwan merajai televisi Indonesia. Mulai dari yang terjadul, Yoko, saya saja lupa ceritanya hahaha tapi Ibu saya suka banget. Kemudian, ada Pendekar Harum, Meteor Garden (ini justru saya gak nonton, padahal yang paling populer ya?), Kera Sakti (pasti langsung teringat sama lagu ngerapnya yang sensasional dan nempel banget di otak), Putri Huan Zhu, dan Kabut Cinta.

By the way, tulisan berikut bisa jadi mengandung spoiler Kabut Cinta. Bagi yang mau nonton lagi, dan waktu kecil gak mampu menangkap cerita (kayak saya hahaha), saya sudah peringatkan yaa hehehe.

***

Saat mengobrol singkat dengan seorang teman tentang acara televisi zaman SD, saya langsung terkenang dengan kuis-kuis zaman dulu yang super menarik. Sebut Famili 100, Tebak Gambar, Komunikata, dan lain-lain. Lalu percakapan itu bergeser jadi membicarakan film-film yang tadi saya sebutkan. Sampai akhirnya tercetus oleh mulut saya, "nonton Kabut Cinta ga?"

Teman saya sepertinya lupa-lupa ingat. Akhirnya, saya langsung mengambil HP, membuka YouTube, dan mempertontonkan episode 1 Kabut Cinta. Dari situlah rasa penasaran saya berkembang. Saya dulu memang nonton setiap pekan setiap sore. Tapi, kok, saya kayak gak ngerti ceritanya ya? Saya tidak bisa ingat cerita Kabut Cinta. Maka akhirnya, saya tontonlah film itu sampai episode terakhir. Pelan-pelan saya cicil setiap malam supaya tidak mengganggu produktivitas. Semuanya didorong oleh rasa penasaran. Dan rasa cinta.

Saya jatuh cinta. Saya tenggelam dalam kabut penuh cinta.

Bukan, saya gak jadi fanatik atau apa. Bukan karena pemerannya yang ganteng atau apalah alasan-alasan ABG lainnya. Saya justru jatuh cinta secara pemikiran. Saya kagum dengan jalan ceritanya. Saya terpesona sebagai seorang perempuan biasa yang hobi bikin cerpen.

Yang pertama tentang pembangunan karakter tokoh
Lu Yi Ping, sebagai tokoh utama, memiliki watak yang sangat keras. Ia memiliki semangat menegakkan keadilan untuk dirinya dan ibunya. Dan watak itu terus menerus dengan konsisten diperlihatkan di film. Yang paling membuat saya kagum, latar belakang yang melahirkan watak itu juga tergambar dengan jelas. Lu Yi Ping, anak dari seorang mantan Jenderal yang keras, emosian. Dialah yang menjadi contoh bagi Yi Ping dalam menumbuhkan sikap kerasnya.

Sedangkan ibunya, seorang yang lemah lembut dan cenderung menghindari konflik. Ibunya memilih untuk mengalah daripada melawan, setidak adil apapun kondisi dan situasi. Yi Ping tumbuh dalam keluarga dengan ayah beristri banyak. Istri mudanya dengan licik seringkali menciptakan kondisi yang menyulitkan bagi ibu Yi Ping, dan klimaksnya ia memfitnah ibu Yi Ping yang membuat Yi Ping dan ibunya terusir dari rumah ayahnya. Kondisi inilah yang membuat Yi Ping bergerak menjadi pelindung bagi ibunya. Ia menjadi tameng yang kuat, terus memperjuangkan hingga ibunya mendapatkan keadilan dan terbebas dari 'siksaan' istri muda ayahnya.

Kemudian mengenai premisnya dan antagonisnya
Premis. Sesuatu yang saya pelajari dari buku karangan Raditya Dika. Sesuatu yang kemudian banyak saya temukan melalui google dan pinterest. Premis merupakan satu kalimat yang menggambarkan isi sebuah karya fiksi secara keseluruhan. Premis mengandung beberapa unsur, di antaranya karakter, tujuan, dan halangan yang dihadapi oleh tokoh utama.

Tujuan tokoh utama, dalam sebuah karya fiksi, bisa jadi tercapai dan mungkin juga tidak. Semakin saya mempelajari premis, saya menyadari bahwa tujuan tokoh utama pun dapat saja berubah. Perubahan-perubahan itu terjadi karena pengalaman-pengalaman yang dirasakan tokoh utama.

Bisa saya katakan, tahapan dalam Kabut Cinta berdasarkan tujuan Lu Yi Ping terbagi menjadi dua. Tahap pertama, Lu Yi Ping memiliki tujuan untuk membalas dendam kepada ayahnya dan istri mudanya. Dan yang paling menarik bagi pemikiran saya adalah, peran antagonisnya! Sungguh bukan sesuatu yang biasa, peran antagonis yang biasanya jahat dan bermusuhan dengan tokoh utama, dalam cerita ini justru dimainkan oleh orang dekat tokoh utama, yaitu Shu Huan, kekasih Yi Ping.

Pada dasarnya anggapan bahwa antagonis adalah tokoh jahat adalah salah. Secara konsep, antagonis adalah tokoh yang melawan tujuan dari tokoh utama. Yi Ping, yang dengan keras kemauan ingin membalas dendam ayah dan istri mudanya, harus berhadapan dengan Shu Huan, yang berusaha keras menanamkan kemampuan memaafkan dan perasaan kasih sayang pada diri Yi Ping.

Keren kan??? Mungkin untuk sebagian orang biasa saja, tapi saya benar-benar kagum karena antagonisnya ini pacar sendiri. Gak mainstream gituuu...

Nah, akhirnya Shu Huan berhasil meredamkan segala api yang membakar nurani Yi Ping. Justru Yi Ping berubah dan jadi sangat sayang pada ayahnya. Tapi kalau ke istri muda ayahnya sih nggak, karena sepanjang film dia emang nyebelin sih hahahaha. Perubahan pribadi ini membawa kita pada perubahan premis. Kita masuklah ke tahap dua yang sekarang Yi Ping memiliki tujuan untuk tetap bersama Shu Huan.

Kali ini, antagonisnya sama menariknya. Antagonis diperankan oleh Ru Ping, adik tiri Yi Ping. Ru Ping ini suka juga sama Shu Huan dari awal cerita. Yang bikin menarik adalah sifat Ru Ping supeeeeeeeeer baik, sangat penyabar, penuh pengertian, selalu memaafkan orang lain, selalu memperhatikan dan mengerti perasaan orang lain, rela berkorban, tidak mau menyimpan dendam, dan sebagainya. Benar-benar semua sifat yang ada di buku PPKN SD dikumpulkan. Beda banget sama Yi Ping yang orangnya ketus, keras kepala, dan emosian. Jarang kan ada cerita yang tokoh antagonisnya baik, bahkan secara karakter bisa dibilang lebih baik daripada tokoh utama?

Itu yang buat saya tertarik. Karena saya selalu ingin bisa buat cerita yang menarik.

Many Thoughts

Kalau ada semangkuk es serut lalu diisi dengan nangka, kolang-kaling, alpukat dipotong-potong, sirup, dan susu terkondensasi (susu kental manis maksudnya haha sok-sok ribet aja), kira-kira apa namanya? Es? Nangka? Alpukat? Tidak ada satu komponen di dalamnya yang berhak mewakili satu mangkuk itu. Makanya namanya Es Campur.

Sekarang pikiran saya sedang seperti itu. Bingung juga namanya apa. Sedih jelas nggak, senang juga biasa aja. Dibilang datar nggak juga, jadi apa ya? Campur aduk.

Yang jelas, saya harus membiasakan menulis lagi nih. Menulis menjaga saya tetap menjadi saya, namun tentu saja harus dengan versi yang selalu lebih baik. Harus dalam versi yang baik.

I don't know what to write.

Oh ya, ada dua pelajaran berharga yang saya dapat dari pengalaman sekitar dua tahun belakangan ini. Yang pertama, selalu pikirkan orang lain. Yang kedua, selalu pikirkan langkah berikutnya.

Ini pelajaran yang saya dapat dari seseorang yang suka ngomong, "Saya mah orangnya well prepared!"

Sebenarnya setiap saat adalah modal untuk masa depan. Orang yang selalu berhasil menjadikan setiap saatnya sebagai persiapan masa depan adalah orang yang super efektif dan efisien. Dia adalah orang yang tidak hidup di 'saat ini' terlalu lama.

Maksud saya seperti ini. Misalnya kita mau berjalan tiga meter ke depan. Kita harus melakukannya selangkah demi selangkah, kan? Dan di setiap langkah kita adalah persiapan untuk langkah berikutnya. Orang-orang yang hidup di 'saat ini' terlalu lama itu ibaratnya orang yang setiap melangkah, ayunan kaki setelahnya bukannya lebih maju, tapi malah sejajar dengan kaki satunya. Jalannya jadi lambat sekali.

Kebayang gak maksud saya? Kurang lebih begitulah hehe, sudah malam ikan bobo, Anka juga.

Refresh

Memang tulisan yang paling mudah itu tulisan ngalor-ngidul yang mengalir begitu saja dari otak menuju jari langsung ke keyboard. Bukan jenis tulisan yang harus diturunkan dari tema, buat alur dan kerangka pikir, dan seterusnya.
Kebetulan saya habis dapat tugas dari orangtua saya yang melibatkan komputer sehingga saya seperti tergelincir (atau sengaja meluncur ya hehe) menuju blog saya sendiri. Long lost blog.
Tapi rasanya luar biasa. Membaca tulisan saya di tahun 2011-2012, yang artinya membaca pikiran saya sendiri di kala itu, saya merasa diri ini begitu fresh pada masa-masa dulu.
Kalau sekarang apa, ya? Mumet sih nggak, tapi seperti ada yang menahan. Di setiap saluran otak saya seperti banyak polisi tidur. Rasanya otak saya meminta saya untuk slow down.
I think this is a part of being wiser. I was innocent back then, now I am wiser but still in progress.
***
Dan sekarang sudah bulan Juni ajaaaaa......... Sudah akhir Juni pula astaga. Perasaan kemarin baru saja 1 Januari, tiba-tiba sudah tiba di tengah tahun ini dan saya akan menghadapi banyak hal ke depan. Hal-hal baik tentu saja hehe, baik tapi besar. Dan apapun yang besar pasti butuh persiapan, baik mental maupun fisik. Pada dasarnya manusia itu tidak suka pada perubahan, manusia adalah budak dari kebiasaan. Maka, apapun itu ya saya harus siap-siap.

Saving The World

Menyelamatkan dunia ternyata tidak seheroik film-film superhero. Menyelamatkan dunia ternyata bukan merupakan kegiatan yang melibatkan otot, kekuatan super, darah, ataupun drama.

Mungkin kita perlu terkejut, menyelamatkan dunia sesungguhnya akan terdengar lebih pantas dilakukan oleh bapak-bapak buncit berjas di gedung-gedung ibukota daripada pria ganteng berdada bidang dalam kostum superhero superketat.

Ya, karena ternyata menyelamatkan dunia lebih pantas dikategorikan dalam bidang sosial politik dibandingkan bidang olahraga dan kepahlawanan. Menyelamatkan dunia bukanlah memberantas para villain. Justru menyelamatkan dunia adalah memberantas hal-hal yang membuat villain itu ada.

Kalau dalam kamus teknik industri, menyelamatkan dunia harus menyasar pada akar masalah. Kalau dalam kamus planologi, menyelamatkan dunia harus merujuk pada isu strategis. Kalau dalam kamus d*ktarin, menyelamatkan dunia itu harus mencabut sampai ke akar-akarnya (dah jamur!).

Kalau kita perhatikan pelajaran psikologi di kelas (emang ada? hehe, cuma ada di jurusannya kali), setiap perbuatan seseorang terjadi karena dua hal, yaitu dorongan dari dalam dan rangsangan dari luar. Maka, ketika seseorang melakukan kejahatan, misalnya mencuri, sebagian besar orang akan menyimpulkan bahwa dia imannya lemah dan dia butuh makan. Lihat kan? Imannya lemah, dorongan dari dalam. Serta dia butuh makan, rangsangan dari luar - tiadanya kesejahteraan baginya.
Seseorang tidak akan mencuri jika imannya kuat dan makanan tersedia baginya tiga kali sehari dengan gizi seimbang, apalagi dengan rasa yang menggoyang lidah. Maka dari itu, menyelamatkan dunia justru merupakan sebuah rancangan program untuk menanamkan karakter yang baik ke dalam hati setiap manusia dan membuat lingkungan yang memadai bagi seluruh penduduk.

Secara singkat saya bisa langsung menyimpulkan, untuk menyelamatkan dunia, kita tidak perlu mengumpulkan seluruh kekuatan angin, air, bumi, dan api dalam raga kita dan berubah menjadi Avatar. Juga tidak perlu melawan Negara Api yang terkenal kejam dan bengis. Tidak usah pula repot-repot mencari laba-laba yang akan menggigit dan menulari kita kekuatan super membuat sarang dari ujung tangan. Untuk menyelamatkan dunia, kita hanya perlu membangun sebuah pendidikan yang baik. Sebuah pendidikan yang menanamkan iman dan karakter yang kuat dalam diri manusia. Sebuah pendidikan yang menumbuhkan rasa takut hanya pada Sang Pencipta. Sebuah pendidikan yang membuahkan kesadaran bagi si terdidik bahwa Sang Pencipta Maha Melihat, bahkan sebutir debu sekali pun tak akan terbang tanpa izin-Nya.

Dengan pendidikan, kita telah menghapus dorongan jelek dari dalam diri manusia. Namun, tidak lupa kita juga harus mengeleminir rangsangan dari luar untuk berbuat kejahatan. Untuk meniadakan rangsangan dari luar itu, kita perlu membangun kesejahteraan bagi seluruh penduduk bumi secara merata. Jika hanya sebagian saja yang sejahtera, maka bagian yang beruntung itu harus selalu siaga dari serangan kejahatan sebagian lain yang kurang beruntung. Dan ingat, kesejahteraan itu meliputi seluruh aspek, mulai dari sandang, pangan, dan papan, hingga seluruh organ tubuh kita terpenuhi kebutuhannya. Apalagi alasan mereka untuk berbuat kriminal jika seluruh kebutuhan telah tercukupi?

Maka tidak heran kan, pastur-pastur di gereja selalu bilang “Salam sejahtera”? Dan juga perempuan-perempuan berjilbab dan pria-pria berjenggot selalu mengucap “assalamu’alaikum”, yang artinya keselamatan atas kamu?

Membangun Peradaban Bersih dari Sekolah

Tulisan ini adalah hasil buah pikiran dari Zahra Nur Asyifa, santri kelas X Pondok Pesantren Modern Al Umanaa, Sukabumi
****
Dua hari yang lalu, salah satu guru di sekolah saya memperlihatkan kondisi Sungai Citarum milik Indonesia kita ini. Sungguh, sungai itu sudah tidak cocok disebut sungai air! Lebih cocok disebut sungai sampah. Beberapa kali saya berkunjung ke Jakarta, dan hal yang selalu menarik mata hanyalah betapa banyaknya sampah berserakan tanpa mengenal estetika di jalanan, di selokan, dan tempat umum lainnya. Alhasil, bencanalah yang datang, seperti banjir, yang sering terjadi di negara kita ini, sampai-sampai ada longsor sampah, yang terkenal sebagai peristiwa Leuwi Gajah yang menewaskan ratusan orang, dan bencana lainnya.  Ini menunjukkan betapa kotornya negara kita ini, betapa buruknya sistem pengelolaan sampah yang dimiliki negeri ini!
Padahal, kebersihan adalah salah satu tolak ukur tingginya peradaban suatu bangsa. Maka keberhasilan pengelolaan sampah menjadi indikator keberhasilan suatu bangsa membangun peradabannya.  Sedangkan Indonesia belum memiliki sistem pengelolaan sampah yang baik. Oleh karena itu, saya sebagai calon pemimpin bangsa ingin mengubah kenyataan ini dengan mengajak para pembaca semua untuk membangun sistem pengelolaan sampah Indonesia dari sekarang.
Namun, ketika kita sudah memiliki sistem pengelolaan sampah yang baik, kesuksesan sistem itu bergantung pada kualitas sumber daya manusianya. Maka, Indonesia memerlukan rakyat yang mau dan mampu mengikuti sistem pengelolaan sampah tersebut. Sebenarnya Indonesia juga telah memiliki sistem pengelolaan sampahnya sendiri. Buktinya, banyak saya temui tempat sampah organik dan anorganik di beberapa kota yang pernah saya kunjungi. Namun, karena rendahnya kepedulian SDM-SDM Indonesia, pemilahan sederhana seperti itu saja tidak berjalan dengan baik. Jadi, Indonesia perlu sumber daya manusia yang memiliki kepedulian tinggi dan pastinya berintegritas.
Untuk merealisasikannya, sekolah adalah tempat yang paling tepat. Di sekolahlah pendidikan berlangsung, di sekolahlah orang-orang dikembangkan ilmunya, disempurnakan integritasnya. Sekolah memang tempat yang tepat untuk melahirkan SDM-SDM berkualitas, SDM-SDM yang memiliki kepedulian dan kepekaan terhadap lingkungan, SDM yang mau dan mampu mengelola sampahnya. Karenanya, sekolah pasti dapat menjadi solusi bagi permasalahan sampah Indonesia.
Pemilahan sampah di Al Umanaa
Pemilahan sampah di Al Umanaa
Contohnya sekolah saya sendiri, Al Umanaa, Sukabumi. Kami selalu ditanamkan pemahaman bahwa “Kebersihan itu Sebagian dari Iman”, sehingga siswa-siswi di sekolah saya takut jika membuang sampah sembarangan.  Sekolah saya telah memulai pengelolaan sampahnya sendiri. Sampah kami pilah menjadi enam jenis, compostable (sampah mudah terurai), recyclable (sampah yang dapat didaur ulang), sanitary waste (sampah medis), hazardous waste (sampah berbahaya), trash (sampah yang tidak dapat didaur ulang), dan paper (kertas). Sampah kertas selanjutnya kami olah menjadi kertas daur ulang (recycle paper). Sistem pemilahan enam jenis ini baru kami mulai Januari 2016. Sebelumnya kami hanya memilah sampah menjadi dua jenis, yaitu organik dan anorganik. Alhamdulillah, sistem ini berhasil dijalankan dengan sempurna oleh siswa-siswinya hanya dalam rentang waktu satu minggu. Ini disebabkan karena kami berada dalam sistem pendidikan yang baik. Setiap kesalahan pasti akan ditegur dan dievaluasi secara langsung. Hal ini menyebabkan kami terbiasa untuk membuang sampah dengan benar. Kami pun terdorong untuk memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan, seperti motto kami “Kami tinggal di bumi, dan kami mencintainya. Maka, mari menjaganya!”
Jadi, saya sangat yakin bahwa lembaga pendidikan adalah tempat yang benar-benar tepat untuk memulai sistem pengelolaan sampah yang baik. Insya Allah, jika semua sekolah di Indonesia telah melakukan pendidikan sampah pada siswanya, maka rumah-rumah, kantor-kantor, dan tempat-tempat umum pun akan mengelola sampahnya dengan baik. Karena sekolahlah yang menentukan kualitas masyarakat suatu bangsa. Alhasil, Indonesia dapat menjadi negara yang beradab! Negara yang maju dan bermartabat!

Benang Merah di Danone

Jumat kemarin, FOODLAP diundang oleh Danone Young Social Entrepreneur untuk sharing mengenai entrepreneur. Tentu saja itu pengalaman menarik yang bisa diceritakan, tapi di lain waktu. Karena, ada hal menarik lainnya yang saya alami secara personal: terlalu banyak benang merah.

Jadi, orang yang secara personal mengontak FOODLAP namanya Aldi. Dia menyambut kami saat kami tiba di sana, setelah agak sedikit berpeluh-peluh ria di jalanan ibukota. Perkenalan singkat membuat saya menemukan benang merah pertama. Dia anak TI ITB, juga. Setelah tergali lebih dalam lagi, ternyata dia temannya Yoan di 8eh, dan beberapa kali pernah mengantar Yoan ke kosan kami. Setelah sekian tahun berjarak beberapa meter dia di depan pagar kosan dari saya di kamar, ternyata pertemuan kami mengambil tempat di kantor Danone.

Orang kedua yang menyambut kami adalah seorang perempuan muda dengan baju berwarna biru muda. Hidungnya mancung, kulitnya putih, bibirnya tipis, dan menurut saya dia mirip sekali dengan Clorinda, teman saya. Dan ternyata, dia, Adis namanya, angkatan 2009 Fakultas Hukum UI. Dia temannya Jeanne dan dia kenal kakak saya ._.

Di tengah presentasi FOODLAP, muncul lagi satu laki-laki muda berbadan besar dan gelap. Ketika melihat wajahnya, saya langsung tahu dia siapa. Usai presentasi, saya langsung mendatanginya yang baru saja beres berbincang via telepon. Dia langsung menunjuk muka saya,"Elo!" sapanya. Sungguh sapaan yang aneh. Haha.

"Abi ya, pacarnya Atoy?" Saya mencoba menyebut nama.

"Elo," katanya lagi,"kayaknya nama panggilan lo biasanya bukan Anka, deh?"

Haha. Saya tidak menjawab.

***

Selain tiga pertemuan tadi, sebenarnya ada sebuah quote yang ingin saya kutip di sini. Kata-kata ini meluncur keluar dari mulut Adis, dan saya kemarin berjanji padanya,"kalau gue punya novel, gue kayaknya mau ngutip kata-kata lo deh."

Waktu itu kami sedang membicarakan abang ojek. Tiba-tiba, dengan berapi-api, Adis mengomel,"gue paling sebel ya sama abang ojek Jakarta. Pertama, mereka suka godain cewek. Neng, neng, ojek, neng. Kedua, kalau gue datengin, gue udah mau nih sama lo, eh dia malah jual mahal! Mending gue jalan kaki."

Saat dia ngomong begitu, rasanya lucu banget. Tapi pas ditulis kok biasa aja ya? Haha.

Kenapa Megapolitan?

Saya masih ingat film-film masa depan yang menggambarkan kehancuran dunia. Bumi sudah tidak mampu menopang kehidupan manusia. Demi uang, manusia-manusia pendahulunya membiarkan teknologi menghabisi alam, limbah kimia meracuninya, asap pabrik mengotorinya. Oksigen sudah seperti barang langka, air bersih perlu dicari dengan perjuangan.

Saya ingat, pada film-film itu, manusia digambarkan memakai masker setiap mereka pergi. Mereka mempunyai bunker bawah tanah di setiap rumahnya, khawatir bencana alam datang tiba-tiba menghabisi mereka. Pemerintah pun disibukkan dengan penelitian antariksa, mencoba mencari sebuah 'bumi' lain di antara kelip bintang di langit malam.

***
Rasanya kita sudah mulai menjajaki beberapa tahun sebelum film itu dimulai. Orang-orang bermasker, kini bukan khayalan lagi. Di ibukota Indonesia, udaranya seperti asap mobil. Hitam dan mengepul, membuat rakyatnya sesak napas.

sumber: http://cdn-media.viva.id/thumbs2/2011/08/08/119190_masker-polusi-udara_663_382.jpg

Jakarta, bagi saya, bukan lagi kota idaman. Kalau orang-orang lingkungan berkata 'Jakarta bukan kota yang sustainable', saya berpendapat bahwa Jakarta ini ibaratnya manusia pesakit.

Secara mudah, saya mendeskripsikan sustainability sebagai sebuah keadaan di mana kita bisa hidup selamanya. Tepatnya, bumi bisa hidup selamanya. Dan kehidupan itu bukan kehidupan yang artifisial, yaitu sebuah kehidupan di mana alat pembantulah yang menjadi nyawa.

Manusia yang sedang diberi cobaan dengan penyakit, yang kini hidup mereka bergantung pada alat, bagi saya itulah contoh kecil kehidupan yang tidak lagi sustainable. Dan Jakarta wujudnya kini seperti itu.

Seperti mereka yang butuh asupan oksigen untuk bernafas, Jakarta tidak bisa hidup bila tidak dipasok hasil pertanian dan peternakan dari daerah lain di Indonesia. Seperti mereka yang butuh alat demi jantung yang berdetak, rakyat Jakarta tidak bisa menjalani hari tanpa bantuan kendaraan. Semua sisi kota seperti dirancang hanya untuk automobile. Tidak pernah tampak jalur pedestrian yang pantas bagi para pejalan kaki.

Saya tidak pernah melihat arah pembangunan Jakarta menuju megapolitan ini berpihak kepada kehidupan yang baik. Dan masih ada tujuh daerah lainnya di Indonesia yang akan dikembangkan menjadi megapolitan. Parameter pembangunan hanya didasarkan pada satu ukuran dangkal: ekonomi, rupiah, uang.
***
Secara khusus, saya tidak pernah rela bahwa Bandung ini sedang dikembangkan menjadi megapolitan. Tapi secara umum, saya benar-benar setuju dengan peribahasa anonim ini.
"Ketika pohon terakhir telah ditebang, sungai terakhir telah tercemar, dan ikan terakhir telah ditangkap, barulah manusia sadar bahwa mereka tidak bisa memakan uang."

25,5 Jam di Al Umanaa

Akhirnya saya berhasil membawa teman-teman FOODLAP untuk ikut serta mengunjungi Al Umanaa. Kisah-kisah dari Al Umanaa sudah cukup sering saya dengar dari teman saya yang bermukim di sana, Mahdi. Dia pernah berbagi pada saya tentang konsep perencanaannya di sana, bagaimana dia sebagai seorang lulusan planologi akhirnya mulai merancang peradaban dari kanvas kosong. Menurut saya pengalaman dan kesempatannya sangat menarik, jarang lulusan S1 sekarang dapat kesempatan untuk memulai lukisannya sendiri di kanvas yang masih bersih.
Mahdi juga sering bercerita tentang murid-murid, alias santri-santri, di sana. Bagaimana prestasinya memukau dan bagaimana guru-gurunya juga totalitas berjuang untuk mengembangkan pribadi setiap siswanya. Dan prestasi itu saya lihat sendiri buktinya kurang lebih setahun yang lalu, ketika saya mengunjungi ‘embrio’ Al Umanaa di Cibinong.
Bermodalkan sepetak tanah kecil dan bangunan-bangunan kayu yang adem dan kokoh, para guru di sana mendidik anak-anaknya. Ketika saya berkunjung ke Cibinong, anak-anak menyuguhkan berbagai pertunjukan, yaitu drama, pidato, story telling, dan membaca puisi dalam berbagai bahasa, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, dan Bahasa Jepang. Begitu fasihnya mereka . Namun, kekaguman saya tidak hanya muncul dari banyaknya bahasa yang mereka gunakan. Lebih dari itu.
Dibandingkan dengan anak-anak SD dan SMP lainnya, mereka sungguh berbeda. Kalau anak-anak di luar sana membaca puisi dengan tampang datar dan tubuh kaku seperti batang pohon pisang (itu saya dulu begitu, sih), mereka semua memiliki kualitas public speaking yang luar biasa. Benar-benar di luar yang biasa.
Mereka mampu berekspresi tanpa malu-malu kucing. Mereka mampu memainkan ekspresi tubuhnya dengan kepercayaan diri yang keren. Mereka memainkan intonasi nadanya dengan tepat, mampu membuat orang tertawa mendengar humornya yang berkelas, dan di saat lain, mampu membakar semangat pendengarnya. Sepanjang pertunjukan, saya hanya bisa terpana melihat mereka yang berkembang demikian pesatnya, sangat signifikan berbeda dengan anak-anak pada umumnya.
***
Itu, saya sadari, hanyalah sebagian kecil dari seluruh kualitas siswa-siswa Al Umanaa ini. Yang mereka ‘pamerkan’ kala itu hanyalah kemampuan mereka dalam public speaking. Saya sungguh penasaran untuk bisa membuka lembaran-lembaran emas lainnya dari kehidupan mereka.
Akhirnya, tanggal 3 dan 4 April 2014, saya bersama Eva, Ridho, Rani, dan Rizan diberi kesempatan untuk bertandang ke sana. Kembali, kami disuguhkan pula berbagai penampilan dari para santri. Meski sudah pernah melihatnya, tapi pesona mereka tetap menyita perhatian saya. Namun, yang berbeda, kami mendapat waktu untuk mengenal Al Umanaa dan para muridnya dengan lebih dalam.
Kesantunan mereka sungguh terasa selama saya banyak berinteraksi dengan mereka. Dan mereka bukan hanya anak-anak pemalas yang mau main-main. Mereka ‘geregetan’ ingin terus berkarya dan belajar. Kalau ada lomba, bukannya malas dan menghindar, mereka justru berinisiatif untuk ikut berpartisipasi.
Program bahasanya juga sangat keren. Berganti-gantian setiap minggu, Bahasa Arab, Inggris, dan Jepang digilir untuk menjadi bahasa pengantar dan percakapan sehari-hari siswa. Selama 7 kali 24 jam, siswa hanya boleh berbicara dalam bahasa yang diizinkan.
Kalau melanggar? Bukan guru yang turun tangan, tapi di antara siswa-siswa itu sendiri pun ada sistem penjagaannya. Siswa yang melanggar akan disidang oleh teman-temannya sendiri, sambil dibimbing oleh para guru. Terdengar sepele dan remeh, tapi kebiasaan-kebiasaan seperti ini menimbulkan komunitas yang saling menjaga dalam kebaikan.
Para siswa sudah diajarkan untuk menegakkan aturan dan berani menegur temannya sendiri yang berbuat salah. Hal ini lah yang absen dari kehidupan anak-anak biasa. Melihat teman mencontek itu sudah biasa, kalau berani melaporkan itu adalah melanggar etika. Di tempat lain, seolah menjadi aturan tidak tertulis bahwa para siswa harus saling lindung-melindungi dalam contek-mencontek. Orang yang melaporkan kasus pencontekan, biasanya akan dijauhi dan dianggap ‘sok suci’. Seperti yang sering disampaikan oleh iklan layanan masyarakat, hal-hal seperti ini adalah bibit dari persekongkolan dalam hal yang lebih buruk: lindung-melindungi dalam korupsi.
***
Mahdi juga berbaik hati mengantarkan kami berkeliling Al Umanaa, memperlihatkan bangunan-bangunan yang telah ada sekaligus menceritakan bagaimana perencanaannya. Al Umanaa sunguh terasa asri, kami beberapa kali disuguhkan buah-buahan yang dipetik langsung dari sana, mulai dari durian, rambutan, manggis, pisang, sampai kelapa. Sempat saya, Eva, dan Rani duduk-duduk menikmati udara sore Sukabumi di gasibu yang beratapkan rambatan pohon markisa.
Di sana ada sebuah tanah lapang yang menjadi benang merah Al Umanaa dan FOODLAP. Tanah itu dimanfaatkan Al Umanaa sebagai laboraturium integrated farming, sebuah closed loop system yang utuh dan alami. Dimulai dari pintu dapur yang sering menggelontorkan sampah-sampah makanan, diikuti dengan kolam lele, kandang ayam, kandang lebah, kandang soang, dan… black soldier fly! Memang, sejak FOODLAP bertemu dengan black soldier fly, saya beberapa kali mendisksuikannya tentang itu dengan Mahdi. Sudah saya duga, Al Umanaa akan mendahului kami memulai pengolahan sampah kecil dengan BSF. Mereka sudah memiliki tiga reaktor pengolahan kecil, yang semuanya diurus oleh para santri.
***

Terlalu banyak pengalaman, penglihatan, dan percakapan menarik selama 25,5 jam di Al Umanaa. Masih banyak yang ingin saya ceritakan, tapi baterai laptop saya sudah tanda seru!