Partisipasi Perempuan Indonesia dalam Dunia Kerja, Memprihatinkan?


Tulisan ini dedikasikan untuk seluruh dunia pada umumnya, dan untuk Rasmita Yulia pada khususnya, yang pada suatu ketika, mungkin sudah terbilang satu hingga dua tahun lampau, mengepos instastory yang temanya menghantui pikiran saya hingga kini. Selalu berjanji dalam hati, ingin membuat tulisan dengan tema terkait, akhirnya baru terwujud sekarang. Entahlah, akan selesai hari ini juga atau tidak, karena saya berkejaran waktu dengan bangunnya si bayi dari nyenyak tidurnya. Kapan bangunnya? Tidak ada yang tahu, hehe.

Mita dulu mengepos tentang partisipasi wanita di dunia kerja. Bukannya saya tidak setuju atau setuju dengan tulisannya, tapi saya tergelitik akan topik ini secara umum: bagaimana hari ini dunia memandang makna ‘partisipasi wanita dalam dunia kerja’. Saya, sih, dalam pengertian umum, bisa disebut sebagai wanita pekerja. Jadi, topik ini menyetrum saya, bukan karena saya ibu rumah tangga yang ingin protes. Juga bukan karena saya gemas dengan rendahnya angka partisipasi wanita di dunia kerja Indonesia. Saya gemas pada hal yang lebih mendasar dari itu. Saya gemas pada tataran definisi.

Kembali ke Akar
Partisipasi perempuan dalam dunia kerja. Saya coba mengambil kata kuncinya dan membahasnya satu per satu. Partisipasi, perempuan, dan kerja. Partisipasi berasal dari kata participation yang dalam bahasa Inggris bermakna the action of taking part in something atau sebuah tindak untuk terlibat dalam sesuatu. Partisipasi secara pendek saya anggap sebagai sebuah keterlibatan. Tidak ada yang menggelitik ya dalam definisi ini.

Makna perempuan juga saya rasa hampir semua manusia berpandangan sama. Mengenai jenis kelamin, ya.

Nah, bagaimana dengan kata kunci yang ketiga? Kerja?

Secara umum, kata kerja pada frase ‘partisipasi perempuan dalam dunia kerja’ mengarah ke makna sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah; mata pencaharian. Ini adalah salah satu definisi kerja dalam KBBI. Definisi ini sesuai dengan bagaimana para pejabat atau para pembuat artikel mengungkap tentang rendahnya partisipasi perempuan di dunia kerja dibandingkan dengan laki-laki. Yang dikaitkan dalam tulisan-tulisan tersebut adalah masalah ekonomi, gaji, dan lainnya. Artinya, kerja di sini secara sempit diartikan sebagai mata pencaharian. ‘Kerja’ di sini lebih sebelas-dua belas dengan kata ‘job’ yang bermakna a paid position of regular employment.

Padahal, kerja juga bisa disandingkan dengan kata work yang memiliki arti activity involving mental or physical effort done in order to achieve a purpose or result – kegiatan yang melibatkan usaha mental atau fisik untuk mencapai tujuan atau hasil. Tujuan atau hasil tidak melulu harus diukur dengan uang dan gaji.

Saya ambil dari liputan6.com, pada Maret ini Srikandi Indonesia, Ibu Sri Mulyani, menyebutkan bahwa partisipasi angkatan kerja (labor participation) perempuan di Indonesia hanya 54%. Sudah sangat tersurat bahwa kerja yang dimaksud di sini terkait dengan mata pencaharian. Lalu, bagaimana dengan 46% perempuan lainnya? Selama ini, apakah mereka tidak dianggap bekerja?

Menyoroti masalah ini, saya memang bermaksud menggarisbawahi ‘pekerjaan’ ibu, khususnya ibu rumah tangga. Kalau ada orang yang berbicara, “ngapain sekolah tinggi-tinggi ujung-ujungnya jadi ibu rumah tangga”, “gak sayang sama gelarnya?”, atau pernyataan dengan nada serupa, saya dengan lantang menyimpulkan bahwa orang tersebut tidak memiliki mindset seorang negarawan.

Pendidikan adalah Bidang Strategis
Di bidang apapun, yang namanya menyiapkan penerus merupakan sebuah pekerjaan yang penting, mengingat manusia tidak ada yang hidup selamanya. Bahkan Voldemort pun akhirnya mati juga ya. Hahaha. Mulai dari himpunan mahasiswa dan BEM, pasti ada program kaderisasi. Menyiapkan penerus himpunan tersebut di kala kakak-kakaknya sudah wisuda. Bidang industri pun memiliki kaderisasinya sendiri. Menyiapkan pekerja-pekerja teknis baru dengan berbagai pelatihan. Mempersiapkan para calon manajer dan direktur dimulai dari program Manager Trainee. Divisi HRD (Human Resource Development) pun memiliki peran yang sangat penting bagi sebuah perusahaan.

Tak ketinggalan, lingkup yang paling luas, yaitu negara, memiliki alatnya sendiri untuk mengader penerus, yaitu SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Alias pendidikan. Jika kita mau berkaca pada negara yang disebut-sebut memiliki pendidikan terbaik, Finlandia, kita mungkin terperangah ketika mengetahui fakta-fakta pendidikan di sana, salah satunya adalah syarat menjadi guru SD minimal bergelar master (S2).

Memang pendidikan memiliki peran sangat penting dalam kemajuan negara. Ketika Jepang hampir lumpuh saat dua kotanya diterjang bom atom, Kaisar Jepang saat itu justru bertanya, ‘masih adakah guru?’. Yang ditanya bukan masalah ekonomi, bukan masalah politik, dan lainnya. Dengan pola pikir seperti itu, tak usah dibahas bagaimana hasilnya. Saat itu sama-sama Agustus 1945. Jepang dengan tragedi bom atomnya dan Indonesia yang baru bangkit melalui kemerdekaan. Kalau dibandingkan sekarang, signifikan sekali bukan, perbedaannya?

Pendidikan tidak bisa dianggap lalu. Pendidikan tidak bisa dianggap main-main. Pendidikan bukan sekedar transfer of knowledge, melainkan juga bagaimana membentuk kepribadian yang mantap, karakter yang hebat, akhlak yang baik, pada diri seseorang. Dan semua orang tahu, kepribadian harus dibentuk dari kecil. Banyak sekali ungkapan, ‘udah tua susah dikasih tau.’ Memang, yang lebih mudah dibentuk itu yang muda-muda.m Itu adalah bukti bahwa pendidikan karakter harus dimulai sejak dini.

Sejak dini, sejak kapan? Sejak dalam kandungan. Bahkan pada usia kehamilan 3 bulan, janin sudah dapat mendengar. Para ibu sangat disarankan untuk mengajak bicara janinnya. Lalu di masa-masa awal kehidupannya, anak memiliki kesempatan emas untuk belajar. Studi membuktikan bahwa seseorang paling lancar berkomunikasi dalam bahasa yang dia dengar dalam dua tahun pertama hidupnya (bukan berarti tidak bisa belajar bahasa asing ya). Yang saya garis bawahi adalah bahwa apapun yang diberikan di masa-masa awal kehidupan memiliki efek yang sangat besar kepada si bayi.

Ibu Juga Sebuah Pekerjaan
Jadi, dalam pandangan saya, ibu adalah sebuah profesi yang sangat penting dan patut mendapat perhatian dari pemerintah. Jika kita mengacu pada kata work yang bermakna kegiatan untuk mencapai tujuan atau hasil, maka ibu merupakan sebuah pekerjaan yang sangat penting. Tujuan atau hasil yang dicapai adalah anak-anak dengan fondasi karakter yang kuat, perkembangan yang optimal, dan sebagainya, dalam rangka membesarkan generasi penerus yang berdaya. Apa yang diberikan dan diajarkan seorang ibu pada bayi dan anak-anaknya akan sangat amat menentukan masa depan bangsa. Dengan kata lain, masa depan bangsa sangat ditentukan oleh kualitas para ibu.

Saya bisa mengatakan bahwa para pencetus ngapain-sekolah-kalau-cuma-ngurus-anak tak punya mindset negarawan karena apa yang ada dalam benak mereka ‘ngurus anak’ hanyalah perkara ibu rumah tangga yang berdiam di rumah, kerjanya bersih-bersih, lalu jam 10 nonton kartun bareng anak. Ya iyalah sayang sama gelar kalau kerjanya gitu doang. Padahal, ‘ngurus anak’ adalah sebuah perkara membangun masa depan bangsa, sebuah ruang kaderisasi untuk meneruskan kejayaan negara. Perkara besar seperti ini, yakin tidak membutuhkan ibu dengan 'sekolah yang tinggi-tinggi'? Perkara besar seperti ini, yakin mau diserahkan kepada orang tidak berpendidikan?

Perlu Ada Pendidikan Profesi
Hampir semua profesi memiliki jurusan sekolah formal. Ada jurusan kedokteran untuk mencetak dokter, ada sekolah kejuruan teknik untuk para praktisi di pabrik, ada sekolah farmasi untuk apoteker, dan lainnya. Pendidikan formal dimaksudkan untuk mempersiapkan manusia-manusianya ke dunia kerja yang sesungguhnya.

Namun, menjadi ibu, dan juga ayah, bukankah sebuah dunia kerja yang nyata juga? Apakah selama ini negara sudah mempersiapkan para perempuan untuk menjadi ibu, dan para lelaki untuk menjadi ayah? Apakah negara yakin kualitas orang tua Indonesia sudah baik? Pemerintah seharusnya memberikan perhatian yang besar kepada ‘sektor’ ini. Bukan sekedar kesejahteraan para ibu, tetapi juga bagaimana pemerintah meningkatkan terus kualitas ibu-ibu ini.

Sebagai gambaran, yang mungkin kurang ilmiah, saya saat ini mengikuti Instagram seorang dokter anak subspesialis nutrisi. Dari sekian banyaknya posting dan interaksi yang dilakukannya dengan para pengikutnya yang jumlahnya ratusan ribu, saya mendapatkan gambaran bahwa masih banyak ibu di Indonesia yang belum paham betul cara memberikan MPASI kepada bayi. Tidak heran, rapot kita saat ini di bidang pertumbuhan anak masih merah, yaitu 30% anak di Indonesia mengalami stunting. Jadi, sebagai seorang ibu, perempuan di Indonesia masih banyak yang belum teredukasi untuk menjalankan perannya dengan baik dan benar.

Btw, jangan anggap remeh stunting, ya. Hasil studi membuktikan stunting secara signifikan memiliki banyak pengaruh, di antaranya terhadap tinggi badan yang kurang, kecerdasan yang kurang, dan, percaya-gak-percaya, stunting memiliki korelasi terhadap tingkat penghasilan yang rendah di masa dewasanya. Secara kasar dan cepat, kita peroleh kesimpulan: cara ibu masak dan memberi makan menentukan GDP negara.

Ketika saya menjadi ibu, memang banyak sekali hal baru yang saya pelajari. Tadi kita baru membicarakan masalah gizi dan nutrisi untuk anak. Kita belum membicarakan hal-hal lain, seperti metode mengasuh anak, metode mendidik anak, cara belajar, bagaimana mengembangkan potensi anak, dan masih banyak lagi dimensi-dimensi yang perlu diperhatikan.

Saya sempat berpikir, alangkah membantunya jika saya dulu pernah kuliah atau sekolah menjadi ibu. (Gelarnya apa ya? S.Bun, Sarjana Bunda? Wkwk.) Atau, paling tidak ada ilmu-ilmu pengantar tentang anak dan keluarga yang diberikan di kelas 12 SMA. Atau, les yang diwajibkan pemerintah untuk diambil dalam rangka persiapan pranikah bagi pasangan yang berencana punya anak. Atau, kelas dari pemerintah untuk ibu-ibu hamil. Atau, ada ide kreatif lainnya?

Jadi…
Daripada terus-menerus menyoroti partisipasi perempuan dalam dunia kerja dan berharap partisipasinya terus meningkat, saya berpendapat lebih pantas untuk memasukkan ‘profesi’ Ibu Rumah Tangga (IRT) ini sebagai sebuah partisipasi kerja. Memang secara ekonomi, IRT tidak berkontribusi secara langsung. Namun di masa yang akan datang, kualitas kerja para IRT yang akan menentukan nasib bangsanya. Apakah pemimpin masa depan yang dididiknya ini berkualitas? Atau malah SDM Indonesia di masa yang akan datang hanya menjadi kuli bangsa lain?

Serta, pemerintah pun harus memerhatikan profesi ini, IRT maupun ibu bekerja. Peningkatan kualitas ibu amat sangat penting sebagai fondasi negara. Memerhatikan kesejahteraan ibu juga bermakna mempersiapkan kualitas terbaik generasi penerus. Bagi para ibu bekerja, harus diperhatikan kesempatannya berinteraksi dengan anak dalam rangka pendidikan. Profesi apapun dapat tergantikan, namun peran ibu tidak dapat sembarangan dioper-oper ke orang lain, apalagi berganti-ganti orang setiap hari tanpa ada program yang jelas bagi si anak.

Ibu adalah sekolah utama, bila engkau mempersiapkannya, maka engkau telah mempersiapkan generasi terbaik
(pepatah Arab)

Penyakit Hati, Datang dari Mana?

Mungkin saya memang sering merenung; saya penasaran mengapakah ada orang yang berpenyakit hati?

No, no. Saya tidak sedang membicarakan orang lain (saja). Saya juga sedang menganalisis diri sendiri. Saat rasa-rasa yang sering disebut 'penyakit', misal iri, dendam, benci (tanpa alasan yang jelas), rasa ingin riya', dan lain sebagainya, muncul dalam diri, saya selalu bertanya, kenapa perasaan ini ada dalam kalbu saya?

Pun kalau melihat orang lain dengan gejala-gejala penyakit itu, saya bertanya, mengapa ia diberikan penyakit sedang yang lain tidak? Apa yang salah? Apa yang menyebabkan itu?

Dan suatu hari saya teringat bahwa Allah selalu menjelaskan dengan perumpamaan dari kejadian di alam. Sebuah perumpamaan, tanaman yang disirami terlalu banyak air akan mati. Itu bisa jadi sebuah tanda untuk tidak membanjiri seseorang dengan 'air kasih sayang' yang berlebihan. Hal tersebut akan 'mematikan' orang tersebut. Sebutlah, anak yang 'terlalu' disayang malah menjadi manja dan tidak tough. Potensinya jadi mati, kan?

Jadi, saya yakin penyebab penyakit hati pastinya sama dengan penyebab penyakit fisik.

Ok, saya coba jabarkan ya apa sih penyebab penyakit fisik.

Yang pertama, yang paling mudah, tertular orang yang sedang sakit/ terinfeksi.

Yang kedua, karena makanan dan yang masuk ke dalam tubuh tidak beres. Makan yang kotor, ya diare. Keseringan makan manis-manis, ya resiko diabetes. Makannya banyak banget tidak terkontrol? Obesitas. Selain makanan, yang masuk ke dalam tubuh juga udara. Makan asap, alias ngerokok, ya siap-siap goodbye paru-paru. Hidup di daerah yang tingkat polusi udaranya tinggi pasti akan sangat berbahaya buat tubuh.

Berikutnya, hmm. Apalagi? Tidak menjaga kebersihan, sepakat? Malas mandi, hello panu. Malas menjaga kebersihan tangan, kuku sampe panjang dan hijau (hii~), berarti mau buka pemukiman cacing di usus, hehe. Tidak menjaga kebersihan rumah, macam-macam ya penyakitnya. Bisa sekedar gatal-gatal sampai parahnya kena penyakit pes.

Keempat, pola hidup. Sebenarnya makanan yang tadi sudah disebut, termasuk pola hidup, tetapi untuk tujuan analisis pribadi saya pisahkan. Pola hidup itu seperti kebiasaan membaca. Baca sambil tiduran, di tempat gelap, berarti matanya sebentar lagi ada empat. Malas olahraga, banyak juga sih penyakitnya. Imun jadi lemah, mudah terserang penyakit. Suka begadang, siap-siap sakit hati. Sakit hati yang organ ya, bukan Sakit Hati-nya Yovie & Nuno, heheh.

Aku sakiiit
Aku sakit hati
Kau terbangkanku ke awan
Lalu jatuhkan ke dasar jurang

Aw..

Oke, cukuplah menyanyinya.

Untuk sementara, saya rasa baru segitu saja. Apalagi penyebab penyakit? Genetis? Ya bolehlah kita masukkan dalam bab pembahasan (serius amat dikira bikin thesis).

Penyebab Penyakit Hati
Dari empat penyebab itu, pikiran saya mencoba mengonversinya ke dalam 'dimensi' hati. Yang pertama, tertular orang yang terinfeksi. Berarti, ini terkait dengan orang-orang yang ada di sekitar kita. Kalau kita dekat-dekat dengan orang yang lagi 'sakit hati', pasti kita akan mudah tertular. Dekat dengan orang yang suka ngomongin orang, julid, ghibah. Rasanya pengen ikutan juga gak sih? Haha. Kalau kita di lingkungan orang yang suka merokok dan menganggap itu keren, besar kemungkinan kita menjadi perokok aktif. Dekat dengan orang yang mengonsumsi narkoba, yang suka korupsi, bergaul dengan teman-teman yang suka menyontek, dan lainnya, penularannya sungguh besar.

Namun, ada saja orang yang tidak mudah tertular meskipun berdekatan dengan orang terinfeksi. Rahasianya ada di imun yang kuat. Kalau dalam konteks hati, berarti penularan-penularan ini dapat dicegah dengan aqidah yang kuat, antibodi utama kalbu manusia.

Kedua, segala yang kita telan dan hirup dapat menjadi sumber penyakit. Mungkinkah itu berarti, apa yang kita lihat, kita tonton, kita dengar, dan kita baca sehari-hari? Kalau keseringan scrolling di Instagram sampai jempol kapalan hanya untuk menyaksikan teman-teman yang asik travelling ke Eropa, wajar dong kalau kita jadi iri dan punya cita-cita tinggal di sana? Padahal, yang di-post oleh teman-teman kita itu hanya sisi indahnya saja. Kalau kita sering dengar ceramah yang mengajak menjadi ekstrimis teroris, bukan tidak mungkin kita terbawa arus. Sering dengar lagu-lagu cinta, nanti bawaannya jadi pengen punya pacar atau pengen cepat-cepat nikah, wkwk. Apa yang kita baca pun seringkali terpatri dalam otak dan menjadi mindset yang sangat memengaruhi pola pikir kita. Kalau bacaannya negatif, ya hasilnya pasti negatif.

Ketiga, tentang kebersihan. Kalau dalam kesehatan fisik, kebersihan yang dibicarakan juga mengenai kebersihan fisik. Namun, bagaimana konsep kebersihan dalam dimensi kalbu? Perbuatan kotor merupakan perbuatan yang menodai kebersihan dalam kalbu. Mungkin, tidak kita sadari, perbuatan itu menumpuk dan akhirnya menyebabkan penyakit. Merasa suka punya penyakit hati? Bisa jadi kita tidak menjaga kebersihan hati sehingga akhirnya menyulut penyakit.

Mungkin terdengar tidak nyambung dan tidak logis. Apa coba hubungannya timbulnya penyakit hasad dengan kebiasaan buruk kita malas puasa Ramadhan? Ya, sama halnya dengan penyakit fisik, kadang, kalau ditelaah dengan pikiran pendek, tidak akan masuk akal. Apa hubungannya telat makan dengan sakit kepala? Yang diabaikan perut, kok yang sakit kepalanya? Tapi, karena kita punya ilmunya tentang hubungan kedua hal tersebut, jadi terkesanlah logis. Sedangkan ilmu hati, yang tahu hanya Allah. Allah Yang Maha Membolak-balikkan Hati.

Terakhir, faktor genetis atau keturunan. Dalam pandangan saya, dalam dimensi hati, faktor ini berupa nilai-nilai yang diturunkan oleh orangtua. Nilai-nilai yang salah akan menimbulkan penyakit dalam hati. Kalau nilai yang dianut sama, ya sakitnya ya sehatnya akan sama juga.

Hehe.

Ini sedikit hasil perenungan saya yang panjang mengenai penyakit hati dan bagaimana cara menjauhinya. Dari dulu saya suka berpikir, penyakit hati tak pernah dijelaskan asal usulnya pun saya tak tahu bagaimana menangkalnya. Mudah-mudahan perenungan saya ini membawa hal bermakna pada diri saya juga :D

Keberterimaan pada Teguran adalah Koentji

Manusia pada umumnya tidak suka dengan hal-hal yang tidak mengenakkan. Lelah, bosan, sakit, dan sebagainya. Manusia pada umumnya memilih hal-hal menyenangkan seperti senang-senang, jalan-jalan, main-main, dan lain-lain. Salah satu hal 'menyebalkan' yang sering datang adalah teguran.

Teguran banyak wujudnya. Ada nasihat baik-baik dari guru kita yang jarang marah. Ada yang berupa sindiran nyinyir nan julid dari teman yang lagi super kesal. Ada juga teguran yang berupa cubitan keras dari ibu yang sudah gemas pada kelakuan anaknya. Sampai bentakan kasar pengendara motor kepada supir angkot yang ngetem sembarangan, itu pun teguran.

Pastinya, tidak semua teguran diniatkan untuk mendidik kita, ya, hehe. Pengendara motor yang memaki supir angkot karena ngetem sembarangan, saya yakin makian itu keluar hanya sebagai reaksi yang emosional, bukan karena si pengendara motor ingin supir angkot menjadi pribadi yang lebih baik. Berbeda dengan teguran dari guru ataupun dari orang tua, seringkali diiringi oleh nilai-nilai pendidikan dan harapan supaya kita menjadi lebih baik.

Tapi yang jelas, teguran itu muncul biasanya memang karena ada hal salah atau mengesalkan yang kita lakukan kepada orang lain.

Reaksi pada Teguran
Reaksi pada teguran juga wujudnya macam-macam. Ada yang masuk ke telinga, turun ke hati, dan diolah di otak. Ada yang begitu. Ada juga yang masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Yang lebih parah, ada yang masuk ke telinga, lalu berubah menjadi api dendam yang tersimpan di hati. "Apa sih, guru sok tau." Belum lagi kalau yang menegur lebih muda. "Songong amat sih jadi adik kelas." Atau teman sendiri. "Sok suci banget sih negur-negur. Sendirinya juga masih banyak salah."

Ea. Kapan kita ngambil hikmahnya kalau selalu bersikap defensif terhadap teguran?

Ada pepatah bahasa Arab yang berbunyi, unzhur maa qoola wa laa tanzhur man qoola. Perhatikan apa yang dibicarakan, dan jangan perhatikan siapa yang bicara. Tua muda, kawan lawan, adik kakak, siapa pun itu yang berbicara, harusnya cukup kita perhatikan apa yang dibicarakan. Sebuah teguran? Benarkah apa yang ia tegurkan pada saya? Bukan malah memperhatikan siapa-nya. Ah dia lebih muda, ah dia juga sama aja masih suka salah, dan lain-lain ribuan alasan akan keluar supaya kita tetap merasa benar.

Selain itu, saya juga selalu ingat pada sebuah ayat suci Al Quran, tentang teguran-teguran Allah melalui kerusakan alam, yaitu surat Ar Ruum ayat 41. Artinya, telah nampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.

Pada saat pertama saya baru benar-benar memahami kalimat itu, saya benar-benar takjub. Ternyata, tujuan Allah menegur manusia hanya satu. Yaitu, supaya manusia kembali ke jalan yang benar. Berarti, adanya banjir, longsor, kebakaran hutan, kekeringan, dan lain-lain, murni karena Allah begitu sayangnya sama manusia sehingga ingin kita semua sadar akan kesalahan dan kembali ke jalan yang lurus. Bukan karena Allah ingin menghukum kita.

Jadi, teguran, bagaimana pun bentuknya, sebenarnya memiliki efek yang baik bagi yang ditegur. Meski awalnya menyebalkan atau membuat kita malu, tapi jika kita mampu mengambil hikmah dari teguran, maka kita akan menjadi pribadi yang lebih baik. Sebaliknya, menutup hati pada teguran, tidak mau menerima kesalahan, hanya akan membuat kita berada di pusaran kebodohan yang sama.

Pegangan Pertama dalam Parenting

Sebuah notifikasi yang familiar memaksaku untuk mengecek si pintar telepon genggam. Aplikasi WhatsApp muncul. Kuintip, dan untuk kesekian kalinya kudapati sebuah informasi tentang parenting di grup ibu-ibu. Tidak boleh mengancam, katanya. Pikirku melayang pada sebuah teori lain yang saya pernah baca sebelumnya, katanya anak harus diberi konsekuensi untuk perbuatannya. Memberikan konsekuensi (baca: hukuman), sebelas-dua belas dengan mengancam, kan? Hmm, dilematis.

Dilema sebeumnya juga pernah muncul akibat kata 'jangan'. Anak tidak boleh dilarang, ganti dengan kalimat positif. Tapi bukan era milenial namanya kalau tidak ada artikel bertentangan: dianjurkan pakai kata jangan. Belum lagi segala simpang siur informasi tentang MPAS: puree buah, puree sayur, menu tunggal, atau empat kuadran? Hayo lho. Mau pilih yang mana?

Dari mana sumber informasi hal-hal tadi? Kebanyakan dari instagram. Sebagian dari artikel online. Sedikit dari buku. Hehe, sungguh kredibel sekali ya informasi ibu-ibu milenial.

Saya melirik Fatih dan berpikir akan masa depannya. Saya tidak sedang membesarkan seorang laki-laki yang hanya menumpang nafas di muka bumi. Saya sedang membesarkan seorang pejuang, seseorang yang membawa manfaat besar, seseorang yang patuh pada Penciptanya.

Tidak boleh sampai salah didik, pikir saya. Namun, di tengah simpang siur teori parenting seperti ini, saya harus pilih yang mana supaya tidak salah?

Lalu teringat saya pada Al Quran, sebuah solusi untuk setiap permasalahan hidup. Masa sih, tidak ada konsep-konsep parenting di dalam kitab suci? Harusnya, ada dong.

Akhirnya, dari WhatsApp, saya beralih mengklik aplikasi Al Quran digital. Dari dulu, kebiasaan saya tiap ada masalah, saya seringkali buka Al Quran, sembarang halaman. Pada 90% kejadian, saya selalu dapati ayat-ayat yang sesuai dengan permasalahan saya.

Cerita sedikit, hehe, OOT. Waktu kuliah dulu, pernah saya kalah tanding voli di semifinal. Selesai tanding, semua pemain kumpul. Wajah kami semuanya lesu dan hanya saling mengucap kata-kata menyemangati. Dari lapangan, saya pergi sendiri ke kamar mandi, berganti baju, kemudian menunaikan shalat ashar di Masjid Salman. Iya, shalat ashar. Kebayang kan, lombanya panas-panasan di bawah terik matahari siang bolong. Hehe. Dekil? Bisa jadi.

Sehabis shalat, hati saya masih terasa agak berat. Saya ambillah sebuah mushaf di dekat saya dan saya buka pada sembarang halaman.

Tebak, surat apakah yang menyapa mata saya?

Al Insyiroh.

Wow. Rasanya benar-benar... Hahaha waktu itu sih saya tersentuh banget, soalnya sekecewa itu gagal masuk final. Btw FYI, akhirnya saya berhasil menyabet juara tiga, yaa... Tepuk tangan, ya, buat saya. Wkwk.

OK, back to topic. Jadi, setelah bimbang dengan informasi yang saya baca, saya buka aplikasi Al Quran dan dengan asal saya ketikkan halaman 54. Benar-benar ngasal aja mengetik 54. Dan mau tahu apa isinya? Sok mangga buka sendiri biar afdhol, tapi saya post juga di sini yang mau saya highlight.

Di halaman itu, ada kisah tentang istrinya Imran yang lagi mengandung Maryam, lalu dia berjanji supaya anak dalam kandungannya menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat. Ayat terakhir, bercerita tentang Maryam yang dididik oleh Rabbnya dengan pendidikan yang baik. Tentang Maryam yang ditanya soal makanan yang ada di sisinya. Itu dari mana? Maryam menjawab, makanan itu dari sisi Allah.

Saya sesaat tercenung. Luar biasa bagaimana pesan ini bisa sampai kepada saya. Akhirnya, saya menyimpulkan:
1. Yang penting adalah niat. Niatkan dengan kuat, tekadkan bahwa anak ini harus jadi hamba yang saleh dan berkhidmat.
2. Kalau janji/ niatnya diterima, maka Allah akan memberikan sang anak pendidikan yang baik.
3. Salah satu indikatornya adalah keyakinan yang ada pada diri anak bahwa segala yang terjadi dalam hidupnya ini hanyalah semata dari sisi Allah.

Jadi, saya tidak khawatir dengan banyaknya informasi, tidak ambil pusing dengan pilihan metode parenting yang begitu banyak. Yang penting pertama-tama adalah niat untuk apa saya membesarkan anak ini. Sisanya, Allah yang akan membantu saya. Kalau memang niat saya betul, Allah pasti memberikan ilham yang benar, bukan ilham yang batil.

Siklus

Tidak jauh-jauh dari beberapa tulisan saya sebelumnya, tujuan saya menulis saat ini kembali untuk melenturkan jemari yang telah lama cuti dari menulis. Padahal, empat dari tujuh tulisan terakhir saya, semuanya berintikan: pemanasan jari. Ah, jadi siklus saya kemarin-kemarin saya cuma pemanasan, lalu menghilang lagi dari dunia persilatan, lalu pemanasan lagi, hilang lagi, daaaan gitu saja terus sampai kebakaran.

Namun, ada satu baris signifikan dalam daftar target terbaru saya: menulis setiap hari.

Bismillah.

Saya mulai hari ini.

Inspirasinya dari tokoh-tokoh terkenal, negarawan, dan para pemimpin, hampir semua dari mereka menulis buku. Pemikiran itu memang harus dituangkan.

Oke, intinya inilah langkah pertama saya. Tidak sempurna. Bahkan jauh dari sempurna. Sederhana, tidak terlalu berkonten, tapi perjalanan menuju sukses semuanya diawali dengan satu langkah pertama, ya kan? Hehe.

Oh ya, ngomong-ngomong, saya tuh buat blog baru. Tapi, rasanya kok sayang yaa untuk ditulisi? Rasanya kayak beli buku baru yang bagus gitu, jadi sayang buat ditulis-tulis :B pemikiran yang aneh.