Dibandingkan dengan negara-negara luar, Indonesia sepertinya
menjadi salah satu negara yang masih gagal mengelola sampah-sampahnya. Banyak yang
menyimpulkan, ini semua disebabkan oleh majunya teknologi tidak sebanding
dengan pendidikan kepada masyarakatnya.
Sedikit banyak, tampaknya pernyataan tadi cukup benar. Saya pernah
beberapa kali live in di pedesaan. Saya
tinggal di rumah seorang penduduk desa, bergaul dengan remaja-remaja sepantaran
saya, ikut membantu (atau justru gerecokin) tuan rumah bertani, menemani
belanja ke pasar, sampai main-main dengan anak-anak kecil ingusan. Di samping
pengalaman-pengalaman seru dan pemandangan indah di desa sana, ada sebuah hal
lain yang membekas di ingatan saya.
Pertama kali saya live
in, saya tinggal di daerah Sleman, di sekitar Yogyakarta. Hari pertama tiba
di sana, saya beramah tamah seharian dengan tuan rumah, cengangas-cengenges sama
teman serumah, sampai tibalah suatu sore hari di saat saya memegang sampah di
tangan saya. Saya keliling-keliling mencari tong sampah, tapi pencarian saya
sia-sia. Akhirnya, bertanyalah saya pada Ibu pemilik rumah, dan katanya, taruh
saja di sana. Di sana, di sebuah tumpukan dedaunan.
Baiklah, kebetulan sampah saya juga sisa makanan, jadi…
yasudahlah.
Beranjak malam, saya yang saat itu sedang datang bulan,
keluar dari kamar mandi menggenggam seonggok ‘sampah wanita’. Masa saya taruh
di tumpukan dedaunan? Kan, jijik… karena masih gagal menemukan tempat pembuangan
yang lebih layak, saya bertanya lagi di mana tempat sampah, mau buang pembalut.
Si Ibu kemudian menunjuk tungku memasak, taruh saja di
tungku, nanti dibakar.
Hah, gak apa-apa, Bu?
Beliau tersenyum.
…
***
Kali kedua, saya tinggal selama dua minggu di daerah Garut. Di
sana saya bertempat di sebuah rumah di tepi lembah. Di bawah lembah sana
mengalir sungai, dan sepanjang tembok landainya ramai ditumbuhi tanaman-tanaman
tropis dan liar. Kalau dibayangkan, mungkin tampaknya indah – hijau-hijauan
diiringi gemericik sungai. Tapi, sesungguhnya saya lupa untuk menyebutkan suatu
informasi yang spontan menepis bayangan-bayangan indah tadi.
Jurang itu ternyata menjadi tempat pembuangan akhir sampah bagi
mereka. Banyak sampah-sampah plastik, sebagian besar bungkus makanan ringan, bertebaran
bagai bintang di malam hari. Saya cukup kaget melihat penduduk desa yang
terbiasa membuang sampah langsung ke sana.
Saya langsung berpikir.
Satu, sarana, prasarana, dan fasilitas persampahan dari
pemerintah tidak menyentuh langsung ke sana. Tidak ada petugas sampah dari
pemerintah yang datang ke desa tersebut, mengambil sampah-sampah dan
sebagainya. Tidak ada satupun tong sampah terlihat di sana. Mungkin, kalau dari
sudut pandang makro, dengan data-data statistik sebagai bahan analisisnya, desa
di bilangan Garut ini bisa saja mendapat penghargaan “Desa Zero Waste” saking tidak adanya sampah yang keluar dari sana
membebani pemerintah. Padahal justru di sana tidak ada pengelolaan sampah sama
sekali. Sampah secara langsung membebani alam.
Dua, bayangkan desa itu masih tertutup dari perkembangan
teknologi terkini (bungkus plastik untuk makanan kecil itu teknologi, setuju
kan?). Mereka hidup mandiri dari sumber daya mereka sendiri. Mereka membeli
makanan kecil di warung-warung penduduk mereka sendiri. Pemilik warung membuat
lemper, odading, ataupun kelepon, kemudian dibungkus dengan daun pisang. Akhirnya,
sampah yang mereka hasilkan pun organik.
Mungkin, nenek moyang mereka dulu, yang sampahnya hanya
sebatas daun pisang, memang terbiasa membuang apapun ke lembah itu. Kini,
penduduk sekarang, yang sudah kedatangan bungkus plastik, tetap membuang sampah
ke lembah, karena tidak adanya pemahaman bahwa bungkus plastik tidak bisa
diperlakukan sama seperti daun pisang.
Warung-warung bergeser dari menjual lemper ke ciki-cikian. Mereka
sangat terbuka untuk teknologi, perusahaan-perusahaan makanan ringan mampu
melesat dan memasuki desa. Namun, sayangnya, pendidikan dan pengetahuan tidak
turut menyerap ke dalam desa tersebut. Mereka terisolasi dari perkembangan
pengetahuan dan pendidikan.
***
Di ITB, terdapat wadah berkumpulnya mahasiswa yang satu
jurusan untuk berkegiatan bersama. Wadah tersebut biasa disebut himpunan. Himpunan
mahasiswa di ITB memiliki sebuah sekre, suatu tempat untuk berkumpul bersama. Kadang
rapat, kadang bikin tugas, kadang main gitar sampai pagi, kadang main pingpong,
dan kadang-kadang jadi tempat bakar dan makan jagung.
Penuhnya sekre oleh mahasiswa kadang-kadang membuat penuhnya
sekre oleh sampah ketika mahasiswa-mahasiswa itu pulang. Mungkin sesuai dengan
peribahasa gajah dan macan. Gajah mati meninggalkan gading, macan mati
meninggalkan belang, mahasiswa pulang meninggalkan sampah. Tentu saja hal ini
membuat geram sebagian mahasiswa-mahasiswa nan apik dan resik. Tidak jarang,
sekre-sekre himpunan ditempeli tulisan-tulisan yang kurang lebih berbunyi “tanggung
jawab akan sampahmu”.
Kurang lebih, para penjaga sekre mengharapkan para ‘produsen’
sampah itu bertanggung jawab akan sampahnya masing-masing dan membuangnya
sendiri ke tong sampah agar tidak mengotori sekre. Kalau dalam konteks
himpunan, produsennya itu mahasiswa dan sampahnya itu adalah botol-botol air
mineral yang mereka beli, bungkus plastik bekas makanan, dan sebagainya.
Nah,
kira-kira bisa gak ya konsep ini diterapkan dalam lingkup yang lebih luas?
Dalam lingkup yang lebih luas, produsennya adalah pabrik
atau toko-toko. Coba bayangkan sebuah air kemasan. Ketika airnya habis, yang
tersisa hanya sampah botol plastik, kan? Jadi sebenarnya, perusahaan-perusahaan
itu, selain mencetak minuman, dia juga mencetak ribuan sampah botol setiap
harinya.
Mengadopsi prinsip ketua divisi badan rumah tangga himpunan-himpunan
di ITB, harusnya para perusahaan itu harus bertanggung jawab atas sampah yang
mereka hasilkan. Program CSR perusahaan harusnya sesuai dan sebanding dengan
kerusakan yang mereka buat. Kalau ada perusahaan yang menghasilkan 2 ton sampah
plastik setiap harinya, maka program CSR mereka pun harusnya mengelola 2 ton
sampah plastik setiap harinya pula. Atau, jika perusahaan tersebut menghasilkan
produk yang pemakaiannya mengakibatkan pencemaran air, seharusnya mereka
membantu pemerintah dalam pengelolaan air bersih sebagai program CSRnya.