Sarjana, Toga, dan Wisdom

Hari ini adalah hari kelima di bulan Agustus tahun ini. Sebagai mahasiswa yang (seharusnya) tingkat akhir, saya sudah dua kali mencicip wisuda teman-teman seangkatan saya. Yang pertama wisuda ITB Juli kemarin, dan yang kedua wisuda Unpar, Juli juga.

Saya kemarin-kemarin heboh membeli kartu ucapan, lalu dituliskan "SELAMAT Siapakek, S.T.!". Di angkatan sendiri mulai terdengar 'gelar-gelar' ST1, ST12, sampai ST berapapun, yang menandakan urutan kelulusan sidang di angkatannya.

Sarjana.

Sarjana Teknik, Sarjana Sosial, Sarjana Hukum, Sarjana Seni, apalagi?

Kalau dipikir-pikir, memang, sarjana itu apaan ya?
Ahli? Ahli sosial, ahli psikologi?
Atau bahkan, jangan-jangan sarjana artinya sekedar... lulusan.
Lulusan teknik, lulusan sosial, lulusan hukum. Kalau benar artinya sekedar lulusan, beeeuh, capek-capek kuliah, ternyata cuma jadi seorang lulusan yang nobody guarantees you will do great or even be an expert there.

Saya masih belum paham makna sarjana sekarang, tapi kalau ditilik dari sejarahnya, sarjana, yang berasal dari Bahasa Sansekerta ini, ternyata bermakna orang yang pandai atau berilmu. Sarjana adalah orang yang dianggap ahli di kalangannya. Padahal, sekarang seorang sarjana S-1 masih banyak yang jadi pengangguran. Kalau sarjana adalah seorang ahli, seharusnya pekerjaan yang mencari beliau, bukan beliau yang mencari pekerjaan.

Makanya, saya masih belum menemukan makna sarjana yang diakui di masa sekarang selain sebagai seorang lulusan S1.

Guru pelajaran Bahasa Indonesia saya waktu SMA mengkategorikan kasus sarjana ini sebagai penyempitan makna. Mari kita bayangkan diagram Venn, kalau memang menyempit, artinya lulusan S1 merupakan himpunan bagian dari kelompok ahli, yang artinya lulusan S1 pasti ahli dalam bidangnya. Melihat kenyataan sekarang, saya justru menganggap kasus sarjana ini sebagai pergeseran makna. Haha, gak penting sih, ya sudah lupakan.

Selain itu, seremonial wisuda sekarang di seluruh dunia, sepertinya sudah diseragamkan dengan fashion  yang sama; toga dan mortarboard. Kalau dari sejarahnya lagi, toga ternyata adalah pakaian laki-laki pada masa Romawi Kuno (wanitanya memakai pakaian yang disebut dengan stola). Kurang lebih kayak gini:

Toga terbuat dari kain sepanjang enam meter yang dililit-lilit dan tidak dijahit. Ada yang menyebutkan bahwa toga merupakan satu-satunya pakaian yang layak dipakai di luar ruangan, tapi ada juga yang bilang bahwa toga merupakan pakaian yang biasa dipakai kalangan intelektual pada masa itu.

Tapi kayaknya benar dua-duanya deh. Jadi urutannya, toga pakaian sehari-hari di luar ruangan. Karena ribet, lama-lama pakaian ini ditinggalkan orang, tapi tetap digunakan di seremonial khusus (jadi kesannya intelektual). Haha tapi ini dugaan saya doang sih, kalau salah ya mohon maaf lahir batin, saya  kan lahir tahun 90an, bukan tahun Romawi Kuno haha. Intinya, ini pakaian orang Romawi. Dan yang jelas memang toga ini lama kelamaan ditinggalkan orang, tapi malah jadi dimodifikasi menjadi jubah seperti sekarang ini, dan 'naik derajat' jadi pakaian khusus acara penting, salah satunya wisuda.

Sementara itu, mortarboard, nama asli topi toga yang kotak itu, diduga asalnya terinspirasi dari biretta. Biretta adalah topi yang biasa dikenakan pendeta Katolik Roma. Biretta sendiri merupakan modifikasi dari berretto (nah loh mirip amat namanya) yang merupakan topi yang biasa digunakan kaum akademisi, seniman, dan humanis Romawi sekitar abad 12 hingga 14.

Si talinya sendiri entahlah melambangkan apa. Namun, dalam prosesi wisuda, katanya (saya belum diwisuda :') haha), sang rektor memindahkan tali ini dari kiri ke kanan. Ada yang bilang, prosesi itu melambangkan bahwa si sarjana, yang selama ini diolah otak kirinya di bangku kuliah, sekarang sudah lulus dan harus bisa menggunakan otak kanannya dalam pekerjaannya nanti. Otak kanan; perasaan, imajinasi, intuisi...

Setelah lulus kuliah, banyak sekali lambang-lambang yang akan diatributkan pada diri kita. Tapi, kadang, apa gunanya bahasa kalau tidak ada yang paham, apa gunanya lambang kalau tidak ada yang mengerti. Gelar sarjana itu kayaknya berat banget deh. Coba saja, dari seratusan SKS yang sudah saya ambil ini, berapa banyak nilai yang kurang dari baik? Okelah, nilai bukan segalanya, tapi, kalau saya renungi lagi, sudah berapa banyak SKS yang telah saya lupakan ilmunya? Inikah, saya, si calon sarjana berilmu pandai lagi ahli itu?

Anyway, kalau dipikir-pikir, toga tidak ada hubungannya dengan kelulusan dan kepandaian ya? Hahaha. Itu ibaratnya 1000 tahun lagi orang-orang diwisuda pakai kaos (men, apa yang sakral dari kaos? haha). Kalau menurut saya pribadi, perlambang yang paling tepat dipasang di sarjana adalah:
PADI!
hihi
lebih Indonesia, lebih lokal, dan orang-orang juga lebih paham; semakin berisi semakin merunduk.

Gelar jadi terasa tidak penting. Haha. Apalagi, setelah saya paham betapa arti sarjana sudah bergeser jauh dari makna aslinya yang begitu sabi. Sama saja seperti kata 'cantik' sudah bergeser jadi bermakna 'seenggaknya lo punya muka', ketika saya disebut cantik pada saat itu, tentu kebanggaannya sudah hilang.

Mari jadi sarjana sesungguhnya!!! Hiaaat!

:D

1 comments:

Unknown said...

Like this post lah Jap!
Hahahaha

Check this out!
http://24.media.tumblr.com/631e7f0bbf6685a1dc17b2356d1f7cc4/tumblr_mq014hxQPJ1rzlgoko2_1280.jpg