widya kelana

So, I'm having this summer school in KAIST, South Korea. I'm taking Project Management class. After about 4 days being the only Indonesian, I started to think in English. You know, it's like my brain talking to me in English. (dan itu menyedihkan.) Now, I'm already used to listen in English. I think my listening skill improves a lot.

Tapi gue pengen tetep ngomong Indonesia. Hahaha. Dua hari pertama, lidah gua gatel bet rasanya pengen ngomong Indonesia. Yang cukup menekan juga, kebanyakan yang datang ke KAIST ini sebagai international student adalah orang-orang Singapur yang rasnya adalah Cina dan bahasanya adalah Mandarin. Jadi, kadang-kadang mereka bicara dalam bahasa Mandarin -_- Rasanya seperti menjadi tuli dan tidak terlibat dalam pembicaraan :|

wo bu che dao ni shuo shen me laaaa, wo bu ming pai.

haha.

that's the only sentence I can talk to them whenever they get deep in their Mandarin conversation.

Banyak sekali cerita menarik di sini. Semua rasanya berhenti di ujung lidah saking ga ada orang yang bisa diajak cerita hahaha. Kemarin oke sih, akhirnya gua videocall si Abay yang lagi rame-ramean di HMP dan gua pun bisa melepas kegatelan lidah gue yang udah kebelet banget pengen ngomong endonesa. Tadi juga  ujung-ujungnya gue ngehubungin sekre HMP yang selalu ramai pengunjung kayak dufan.

Tapi ya tetep aja, gak cerita-cerita banyak juga. Kayaknya, bercerita adalah salah satu kebutuhan hidup primer gue deh hahahahaha, rasanya gak bisa aja hal-hal seru dan menarik kayak gini disimpan sendirian.

Jadi yah, salah satu kisahnya akan gua ceritakan di sini.

(mari bicara dalam kata ganti saya)

Tadi profesor saya memberikan dua buah artikel di kelas. Kedua-duanya berkaitan dengan dunia teknologi informasi. Saya baru baca salah satunya. Menurut saya, ini adalah artikel yang menarik. Judulnya adalah:

IT Doesn't Matter, by Nicholas G. Carr

Intinya, yang penulis coba katakan di sini adalah, penemuan IT itu sangat berguna. Orang-orang menyangka, IT adalah faktor besar penentu kesuksesan perusahaan. Namun, penulis berpendapat bahwa IT adalah sesuatu yang sudah tidak terlalu berpengaruh.

Coba pikirkan keadaan zaman dulu ketika listrik masih jarang. Perusahaan/pabrik yang bisa mendapatkan sumber listrik itu akan mengalami banyak keuntungan dan kemajuan dibanding perusahaan lain. Tapi, ketika infrastruktur tenaga listrik sudah menyebar merata dan bisa diakses semua orang, kepemilikan akan listrik menjadi tidak terlalu berpengaruh. Listrik bukan lagi barang langka, tapi justru menjadi komoditas.

Sama halnya dengan IT, sekarang internet sudah bisa diakses semua orang. Karena itu, IT bukan lagi hal yang bisa membuat sebuah perusahaan lebih unggul daripada perusahaan lain, tapi IT adalah sebuah infrastruktur umum, standar.

Sedikit saya kutip dari sana,

"That's not to say that infrastructural technologies don't continue to influence competition. They do, but their influence is felt at the macroeconomic level, not at the level of the individual company. If particular country, for instance, lags in installing the technology - whether it's a national rail network, a power grid, or a communication infrastructure - its domestic industries will suffer heavily."
Dapat poinnya, kan? IT bukan lagi faktor yang terlalu berpengaruh dalam kesuksesan sebuah perusahaan. Tapi, pengaruhnya hanya akan terasa di level makro. Kalau teknologi, infrastruktur maupun informasi, belum menunjang dengan baik di suatu negara, maka industri lokalnya akan sangat menderita.

Mungkin penulis tidak bermaksud begitu, tapi saya langsung merasa negara saya sedang ditunjuk oleh si penulis.

Dalam artikel ini juga disebutkan sejarah-sejarah mengenai perkembangan infrastruktur (penulis menggunakannya untuk membuktikan bahwa IT sudah berada di siklus akhirnya). Contoh-contoh yang penulis berikan antara lain penemuan jalan raya, pembangunannya, betapa langkanya jalan raya saat itu sehingga memiliki akses menuju jalan raya merupakan daya saing yang sangat besar, sampai kini menjadi komoditas umum, yang sudah tidak terlalu berpengaruh pada kesuksesan perusahaan secara individual. Pola yang sama diikuti oleh rel kereta api, pembangkit tenaga listrik, dan, menurut penulis, sekarang diikuti juga oleh teknologi informasi.

Saya tidak akan membahas mengenai poin tadi, tapi, saya langsung, yah sedih juga, saat menyadari, semua yang ada di 'sejarah' mereka itu, listrik, rel kereta, bahkan jalan raya, saat ini belum cukup baik di Indonesia. Berapa orang yang protes mengenai jalan di Tamansari, Bandung, yang bocel-bocel kayak bulan? Berapa orang berusaha melakukan pengabdian masyarakat dengan memasukkan listrik ke daerah Indonesia yang belum tersentuh lampu sama sekali?

Bahkan, ketika negara maju sudah hampir sempurna infrastruktur teknologi informasinya, Indonesia sepertinya masih terus mengembangkan infrastruktur yang pembangunannya sudah jadi 'sejarah' negara-negara maju tadi.

Hmm.

Pantas saja, banyak yang mengatakan kita belum siap untuk globalisasi. (jadi teringat isu yang pernah diangkat Kajian Strategis KM-ITB: ACFTA, MP3EI, dll. mungkin bisa digugel kalau mau lebih ngerti?)

PR banyak nih buat kita :D hihi, ya gapapa lah, kalau kata dosen saya, dan saya suka kalimat ini,

"Masalah adalah peluang perbaikan."
kita seperti dihadapkan pada ribuan proyek untuk dikerjakan :D seru juga kan hahahahaha daripada ga ada kerjaan samsek ntar tiap hari malah nonton doraemon doang. Doraemon juga munculnya seminggu sekali doang kali, jam 8 pagi hari Minggu di RCTI *loh kok ngiklan*.

Sedikit ingin mengaitkan dengan yang selama ini saya kerjakan di acara Pasar Malam ITB; UMKM sangat terkait dengan masalah infrastruktur ini. Dulu saya sempat berdiskusi dengan beberapa orang di ITB, dan tanggapan mereka adalah keilmuan di ITB, kecuali beberapa jurusan, kurang terkait dengan UMKM. Saya, awalnya, setuju dengan pernyataan tadi. Tetapi, setelah dipikir-pikir, yang akan dikerjakan teknik sipil, lingkungan, penerbangan, kelautan, geodesi, arsitektur, planologi, elektro, informatika, daaaaaaaan lain-lain, kan infrastruktur juga!

haiya! :D

0 comments: