Dj Akarta!

Sebuah pusat perbelanjaan kembali dibangun di suatu jalan yang sering saya lewati. Agak heran juga karena selama ini kemacetan sudah menjadi kegiatan rutin di daerah tersebut, ibaratnya seperti buka puasa di bulan Ramadhan, pasti terjadi. Ahaha. Padahal kan, adanya pusat kegiatan ekonomi seperti itu akan menambah bangkitan transportasi menuju daerah tersebut, yang artinya bertambahnya volume kendaraan atau penumpang transjakarta, tanpa adanya penambahan lebar jalan ataupun jumlah bus transjakarta yang signifikan. Eh, gak tau sih, siapa tahu bus transjakartanya mau ditambah. Semoga.

Iseng, coba saya cari berapa jumlah mall yang menjadi warga ibukota ini. Ternyata, menurut vivaNews, sudah terdapat lebih dari 170 pusat perbelanjaan di DKI ini!

Mungkin, ini semua ada hubungannya dengan desain kota Jakarta yang sudah tidak nikmat bila dihayati dengan jalan kaki.

Mataharinya panas sih.

Eits, jangan salahin matahari, kalau matahari disuruh jadi dingin, nanti kita kembali ke jaman es (ngomong-ngomong, saya belum menonton Ice Age 4 nih HIKS HIKS).

Salahkan kita yang membuang pohon, semak, dan rumput, menggantinya dengan kongkrit dan aspal. Dengan kongkrit dan aspal dan semen dan lain-lain, gelombang cahaya matahari akan terpantul, tidak terserap seperti pada pepohonan rindang, jadi, ya, makin panas, coy. Belum lagi polusi udara dari kendaraan yang berjibun di kota ini. Dan copet. Dan jambret. Dan bencong. Makin tidak nyaman lah dunia kita ini, masberooooo.

Memang, Jakarta tampak seperti didesain bagi kehidupan mobil, saja.

Tidak aneh jika ruang publik Jakarta sebagian besar berada di dalam mall, gedung besar ber-AC, yang hampir tidak ada spot gratis untuk sekedar duduk.

Tapi, sebenarnya, yang dibutuhkan orang-orang di sini apaan sih.

Kalau saya pribadi, agak keberatan dengan sedikitnya ruang publik yang bisa dihinggapi dengan gratis. Meskipun, di dunia ini tidak ada yang gratis, jadi ya ruang publik itu mungkin saja dibiayai dengan pajak dari orang tua kita, tapi setidaknya gratis, yang, yah tahulah ya maksud saya.

Ceritanya kan saya mahasiswa nih, waktu itu pernah membuat suatu janji bersama teman-teman di Jakarta, untuk membuat tugas, dan kami berpikir keras tempat mana yang enak buat membuat tugas tanpa harus beli minum atau camilan.

Atau, di kesempatan lain saya pernah sekadar janji bertemu teman SMA, dan susah juga mencari tempat nangkring gratisan. Yang terus menerus muncul di kepala hanyalah Starbucks (kan mahal :/ ), McD, dan tempat-tempat sejenis. Intinya mesti beli minum, kalau tidak beli dipelototi mbak-mbaknya. :p

Oh iya, di dekat rumah saya ada BKT (Banjir Kanal Timur), tahu kan? Sungai, yang saya pikir, telah menyelamatkan Cipinang Indah dari banjir tahunan. Hihi. Nah, di pinggir kanal tersebut, dibangun juga dua jalur jalan untuk keperluan inspeksi. Jadi, sejatinya, sesungguhnya, dan sejujur-jujurnya jujur bisa jujur, jalanan itu sebenarnya tidak boleh digunakan untuk keperluan umum. Tapi, sekarang, jalanan di samping sungai itu sudah penuh dengan pasar kaget dan ramai dikunjungi muda-mudi bermotor, pacaran di pinggir sungai sambil menikmati pemandangan air mengalir riuh rendah.

Yah, mungkin fitrah manusia memang senang menikmati alam tanpa terkungkung dalam tembok-tembok berbentuk kotak itu. Pengennya melihat langit, bukan langit-langit.

Selain itu, di dekat rumah saya ada yang disebut Pasar Gembrong. Doski adalah sebuah pasar tumpah yang isinya mainan anak-anak semua. Ada karpet juga sih, sedikit. Pasar itu selalu membuat kemacetan di Jalan Baru. Sama macetnya dengan yang diakibatkan oleh Pasar Jatinegara. Dan Pasar Senen.

Yang saya tekankan di sini bukan macetnya, tapi kemacetan itu adalah bukti bahwa pasar itu selalu ramai pengunjung. Banyak warga Jakarta yang punya kepentingan untuk membeli kebutuhan, dan tentu saja membuka peluang mencari nafkah.

Tambahan lagi, berapa banyak warteg-warteg tidak legal yang ramai tumbuh di trotoar-trotoar jalanan? Subur dan banyaknya jumlah mereka, bagi saya, menunjukkan besarnya peluang dalam usaha tersebut, yang artinya banyaknya konsumen, alias warga Jakarta, yang mengantri makan-murah-tapi-enak-di-pinggir-jalan-jorok-dikit-bodo-amat-asal-nikmat.

(Kadang-kadang, sate di restoran mahal kalah enak sama sate abang-abang. Kalau dari asumsi saya dan ibu saya sih, itu karena sate mahal tidak ada keringat abangnya :p)

Dilihat dari fakta-fakta umum tadi (maaf ya, tanpa data), apakah benar pembangunan mall masih jadi kebutuhan warga Jakarta?

Kalau di mata saya sih, warteg pinggir jalan, pasar tradisional, dan ruang terbuka hijau masih tetap menjadi kebutuhan warga sini, harusnya sama difasilitasinya dengan kebutuhan untuk jalan-jalan di mall.

Mungkin kurang adil jika saya tidak menyebutkan fakta tentang mall. Tumbuhnya mall di Jakarta seperti jamur di musim hujan ini rasanya cukup membuktikan juga bahwa peluang ekonomi dalam mall cukup besar.

Tapi, ya kalau bangun mall pasti memainkan nominal uang yang lebih besar daripada Pasar Gembrong lah ya.   Maksudnya, secara jumlah, bukan persentase ya, kalau persentase saya tidak paham, hampir pasti mall menghasilkan nominal untung yang lebih besar daripada si pasar. Bandingkan saja jualan satu tas di Prada dengan selembar karpet di Pasar Gembrong. Kalau harganya sama sih, antara yang di Prada pasti saya beli, atau yang di Pasar Gembrong yang kurang ajar mahalnya :p

Ehehe.

Oh iya, sekedar trivia singkat, pada tahun 2010, ruang terbuka hijau di Jakarta masih kurang dari 10% loh, padahal harusnya minimal 30%.

1 comments:

dinar said...

kongkrit itu semacam trotoar? *maap miskin kosa kata, hahaha*