Angkot Penuh Cerita


Juni 2009
Saya dan Dimba duduk diam-diaman di mikrolet. Segerombolan anak SMP (mereka kecil sekali, mungkin pas SD cuma segede Detective Conan) berdiri di pinggir jalan saling berteriak pada satu sama lain. Mikrolet menepi, menawarkan diri untuk ditumpangi.

Dua orang cewek naik sambil berteriak,"DADAAAH."

Dadah-nya mereka dibalas dengan berlebihan oleh gerombolan itu sementara mikrolet lanjut pergi. Dua anak itu lalu saling berbincang dengan riang dan heboh diiringi tawa-tawa cekikikan. Tiba-tiba mikrolet ini melewati tiga anak cowok, kecil juga, dan berseragam SMP. Dua orang meneriakkan sebuah nama ke mikrolet dan satu orang lagi memalingkan muka.

Tidak saya sangka-sangka, hal ini menimbulkan reaksi cekikikan dari satu anak cewek ini.

Sambil melotot kekanakan, dia berkata,"iiiiih, si Putra kan suka sama elo tauuuuu~"

Saya langsung menangkap tatapan Dimba dan kami berdua langsung memalingkan muka dan tertawa sendiri tanpa suara.

***

Suatu hari di tahun 2011
Angkot agak penuh dan saya duduk dengan sesak di dalam. Namun, dua anak perempuan di ujung sana tidak terlalu peduli dan ribut-ribut sendiri sementara ibunya duduk diam kelelahan. Yang satu berumur sekitar 7 tahun dan satu lagi sekitar 5 tahun. Yang tua sibuk mengomentari mobil-mobil di sekitarnya sementara yang kecil menebak-nebak nama warnanya.

"Ih mobilnya ijoooo!"kata yang kecil.

"Caheum-ledeng,"si kakak menyebut trayek angkotnya.

"IJO MULUUUT!"

***

10 Januari 2012
Dua orang anak SMP duduk di pojok mikrolet, berhadap-hadapan. Yang satu cewek, satu lagi cowok.

Sementara saya asik membenarkan  rambut yang terus menerus tertiup angin, mereka bercakap-cakap sesekali. Percakapan didominasi oleh si cewek. Saya tidak terlalu memperhatikan, angin menyerbu wajah saya, membawa serta partikel-partikel debu dan benih polusi lainnya sehingga saya harus menyipit jadi mirip orang Jepang (eh, nggak deng, kan kata s*nzhui orang Jepang itu putih hahahaha).

"...baru putus katanya," dengung si cewek.

Saya menoleh, jadi tertarik pada yang baru saya dengar, percakapan anak SMP.

Cowok mengangguk tidak peduli.

"Iya,"lanjut Cewek,"Nia putus. Lo tau Rama ga? (cowok menggeleng) Itu yang ketua ----- (motor lewat, saya tidak dengar kata-katanya) ... dia mantannya Nia, tapi masih sayang sama Nia. Jadi dia gak rela ngelihat Nia diduain, makanya deh sekarang jadi kayak gini."

Cowok menggumamkan sesuatu. Cewek melanjutkan,"gue juga masih sama Adam. Dia tau gue masih sama Adam. Gue juga tau dia masih sama si itu. Makanya, ah, ribet deh."

Mikrolet melaju kencang, saya menyiapkan uang dan,"kiri, Bang."

***

Kisah Si Pek


Hai. Nama saya Pek. Ibu saya orang Thailand, Ayah saya orang Indonesia, tapi mereka sudah bukan suami istri - paham maksud saya?

Bulan lalu Ibu saya menikah dan saya memutuskan untuk pindah ke Indonesia, bersama Ayah saya. Jangan pikir selama ini saya jarang bertemu Ayah. Dia itu orang penting katanya, makanya banyak duit dan bisa bolak-balik Jakarta-Pattaya atau sekedar mengirimkan saya tiket Garuda ke Jakarta.

Saya sekarang kuliah di suatu universitas terkenal di Indonesia. Meskipun ayah saya orang Sunda dan saya bisa berbahasa Indonesia, tapi logat saya masih aneh. Tidak, saya tidak menganggap diri saya beserta logat saya itu aneh. Tetapi, anak-anak Indonesia itu, memang tidak di depan saya tapi saya tahu, berkata demikian.

Saya tidak peduli, sampai suatu saat saya menyadari mereka menganggap nama saya aneh. Padahal, justru nama mereka yang aneh. Bunga. Apa itu? Mawar, Bimo, Nadila, Putri.

Aneh semua.

Tahu tidak, nama saya itu bagus.

Tanpa saya, ekspektasi hanyalah sebuah ekstasi.

Teknologi

iPad murah banget atau gimana, saya gak ngerti, tapi kenapa banyak banget ya yang punya iPad di dunia ini. Bukan iPad doang deh, semua benda elektronik yang disentuh sedikit saja sudah bisa bereaksi dengan canggih, kayaknya di mana-mana ada (termasuk di rumah saya - punya kakak saya itu).

Rasanya, di mana-mana juga, saya lihat mereka (kecuali kakak saya) memainkan potong-potongan buah -- yang buahnya loncat-loncat dan kita harus memotongnya ala ninja, seolah-olah kita pakai pedang padahal cuma nyentuhin jari ke monitor. Saya juga pernah memainkan permainan itu dan memang seru. Bukan seru sih, tapi gravitasi gamenya semacam besar gitu. Adiktif. Selain itu, ada juga si burung marah alias angry birds yang diluncurkan membunuh babi-babi hijau. Padahal babinya mukanya lucu loh, kenapa harus dibunuh? Hmm, mungkin karena mereka haram (asal). Hahaha.

Oh iya, ngomong-ngomong soal Angry Birds, waktu itu saya pernah melihat post di 9gag yang agak nyinyir. Haha, ini dia:
Hmm, gak tau sih apakah benar computing power HP-HP kita sekarang lebih besar daripada milik NASA waktu itu, tapi yang jelas, yah, kita sudah berada di zaman yang... kalau orang-orang bilang, 'lebih mudah'.

Saya kurang setuju sih kalau hidup sekarang dibilang lebih mudah. Menurut saya, setiap hal yang dianggap positif dan memudahkan umat manusia, pasti diiringi kesulitan juga.

Eits. Negatif benar pikiran barusan. Hahaha.

Gini deh, setiap manusia diberi kesulitan, pasti Tuhan memberi kemudahan juga di situ (sama saja sih, cuma kata 'kesulitan'nya didahuluin daripada 'kemudahan' biar kesannya lebih positif thinking). Mungkin, teknologi-teknologi yang diberikan Tuhan pada kita sekarang karena adanya cobaan-cobaan lain yang lebih - lebih apa, ya? bukan lebih berat, hmm, mungkin, lebih berbeda dibanding zaman dulu.

Dan akibat kemudahan itu juga, tuntutan bukannya makin diberatkan ya? Yaudah, langsung pakai contoh konkret; dosen saya bilang waktu zaman beliau kuliah, beliau ada tugas besar menggambar teknik part mesin di kertas dan itu membuat dia begadang berhari-hari. Tapi, tugas kami sekarang lebih ribet; harus membongkar mesinnya, membuat gambar per part di komputer (yang nyatanya lebih mudah dan cepat dan praktis daripada gambar tangan), lalu menggabungkan part-part itu menjadi model mesin di komputer. Dosen saya bilang, kalau dulu saya disuruh begitu juga, bisa-bisa saya begadang berminggu-minggu, tapi kalian kan sudah mudah, ada software, jadi ya kalian bisa disuruh begitu.

Intinya: jaman dulu sama jaman sekarang sama saja susahnya (atau mudahnya). Cuma berbeda saja.

Balik lagi ke si NASA tadi, memang benar sih, kesannya kita insignificant banget dibanding orang jaman dulu. Dan, inilah hal yang benar-benar saya perhatikan:

Alat-alat elektronik menarik dan keren dan praktis itu sudah merajalela di rumah-rumah tiap orang, dan anak-anak juga sudah mulai menyentuhnya. Dan, mungkin, permainan-permainan di situ, yang dirancang dengan baik dan dengan grafis yang keren pula, lebih menarik daripada kerjaan-kerjaan kita waktu kecil pas lagi luang.

Waktu saya kecil, ada game juga sih; SEGA, Nintendo, terus pas gedean dikit ada PS. Tapi itu kan lebih gak praktis dibanding tablet-tablet sekarang. Dan tablet sekarang portable pula. Terus, kalau main PS bakal ketauan satu rumah karena harus di TV rumah. Jadi, intinya, saya terbatas dalam main game. Lebih terbatas dibanding mainin tablet.

Waktu kecil, kalau saya lagi ada waktu luang (sebenarnya selalu luang gak sih? hahaha) saya biasanya gambar-gambar. Itu waktu TK sampai SD awal. Begitu sudah bisa menulis, saya mulai sering menulis-menulis cerita tidak bermutu di kertas bekas yang sudah disiapkan ibu saya. Saya juga sering menggambar di tembok kamar saya, gunting-gunting kerajinan dari majalah, membuat cap dari kentang dan wortel, main masak-masakan, ngupasin bawang saat ibu saya sedang masak, naik sepeda, main PS (tentu saja hahahaha), menjahit baju buat boneka saya, baca buku cerita, nonton Amigos (bahaha), daaan masih banyak lagi.

Itu sih saya. Kalau anak kecil sekarang??

Saya tidak tahu sih, saya belum punya anak. Tapi, waktu itu saya makan malam bersama keluarga saya di restoran sushi di daerah Tebet sana dan di samping saya ada dua orang ibu-ibu dengan dua orang anak SD. Saat ibu-ibu itu asik makan dan bercengkerama, satu anak ini main potong-potong buah yang tadi saya bilang itu.

Kalau bahasa 9gagnya: dafuq? -__- (hahaha, semalam saya mimpi buka 9gag loh, tetoot)

Di restoran saja main ai-fad (iPad behehe), gimana di rumah? Maaf, menyimpulkan sendiri, tapi itu yang muncul di pikiran saya.

Lagian, sepupu-sepupu saya yang masih kecil-kecil juga sudah bergaul dengan gadget-gadget itu. Dan blackberry jugaaaa. Seolah-olah, semua kegiatan saya waktu kecil itu... (muncul flashback dalam warna sephia) menggambar, menulis, menari, menyanyi, bersajak... (bahkan saya tidak menari menyanyi dan bersajak hahaha) tergantikan oleh gadget itu!!

Ah!

Tidak!

Bukannya saya anti teknologi, justru saya sekolah di institut teknologi, tapi saya tidak rela kalau teknologi malah jadi penyebab masalah-masalah baru. Sering kan, dengar kata-kata ini: mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat.

Dan sekarang seolah-olah teknologi itu menjadi penumpul kreativitas anak-anak. Aaaah. *menangis menjerit berlari di tengah hujan*

Padahal, teknologi dalam iPad, blackberry, dan produl-produk lainnya sebenarnya ditujukan, saya yakin, untuk yang baik. Misalnya untuk e-book, sangat hijau sekali ya. Memudahkan komunikasi, apalagi untuk pebisnis-pebisnis, orang kantoran, dan siapapun lah yang butuh komunikasi cepat lancar dan butuh menggenggam dunia dalam tangan. Saya pribadi berpendapat, anak SD belum butuh laaah, mau ngapain dia sama akses google yang tidak terbatas di handphonenya? Bisa buat searching-searching pelajaran sih, tapi kan tidak seurgent si orang kantoran tadi, yang sedetik lewat saja mungkin berpengaruh pada investasinya atau kliennya atau apalah (hahahaha saya jadi mahasiswa sok tau).

Yaaah, marilah bersama-sama kita manfaatkan teknologi sebaik-baiknya, dan mengantisipasi buruk-buruknya. Supaya hidup ini indah seperti sajadah (maksa). Senang seperti benang. Lucu seperti pikachu.

-____-

Selamat liburan atau selamat SP atau selamat ujian lagi! Bye