Tempo Dulu

Aku sudah lupa bagaimana rasanya menjadi anak kecil
Saat aku rasakan besarnya dunia
Semua orang dewasa tersenyum melihatku
Di bawah dagu mereka aku mendongak
Dengan proporsi pipiku yang melebihi setengah wajah

Ketika mataku sama tingginya dengan freezer
Tanpa perlu merunduk mencari makanan-makanan dalam kulkas
Serta dashboard mobil yang menghalangi pandangan

Semua peristiwa adalah petualangan
Imajinasi liar mengiringi setiap perjalanan
Pohon itu bisa jadi sebuah musuh jika kumau
atau menjadi sebuah rumah di tengah dusun terpencil
bahkan teman setia yang bisa bermain bersama

Petualangan terhebatku bisa menemukan gang terpencil ke komplek sebelah
Aku bisa menangis ketika pekerjaan rumah seperti hantaman kereta
Pakaian terculunku adalah rok merah yang sudah pudar
Dan aku merasa tampil keren dengan jeans baru dari Ibu

Aku bisa berlari kemanapun
Seolah energiku tiada pernah habis
Semua pohon adalah tebing tinggi yang menantang
Semua atap adalah gunung raksasa yang siap kutaklukkan

Aku bisa menciptakan lautan di atas kasur dengan selimutku
Bahkan sebuah rumah mewah dengan sofa buluk di rumahku
Lantai rumah kulihat seperti sebuah papan besar ular tangga
Dan langit-langit adalah kanvas besar yang menunggu dihiasi

Tiada yang aneh melihatku menari sendiri
Bergerak sendiri dalam fantasi
Aku bisa bangga setengah mati dengan rangking sekolahku
dan aku tidak perlu tersenyum sopan kepada semua orang dewasa

Aku memang lupa rasanya jadi anak kecil
Tapi toh ternyata aku ingat juga
Telaga kenangan yang enggan menguap dari memori
Menebalkan rindu suasana tempo itu
Pekatnya ingatan membebani berat hidupku hari ini
Karena sejak dulu juga, aku tidak pernah mau cepat-cepat besar.

Tauge

Saya punya teman baru. Tidak terlalu baru sih, kami sudah saling tahu sejak agak lama. Secara teknis kami satu himpunan. Namun, saya baru berinteraksi dengan beliau, lumayan intensif, dalam dua pekan kemarin di Cihurip, Garut.

Kami sama-sama ikut KKN Tematik dari ITB! Yuhu, kuliah hepi-hepi, meskipun diwarnai dengan rapat dan pekerjaan di setiap harinya, tapi capsa, kartu nyamuk, langit berbintang, sawah membentang, dan gemericik sungai juga ikut berkontribusi dalam kehepian kami.

Tapi bukan itu yang kali ini saya mau ceritakan. Saya mau cerita tentang teman baru saya itu.

Jenis kelaminnya perempuan. Memakai kacamata yang biasa-biasa saja, alias tidak gaul. Wajahnya datar, lembut, dan serius. Suaranya pelan, digunakan hanya untuk saat-saat penting saja. Setahu saya, dia salah satu tim senator di himpunan.

Disangka anaknya serius macam apa gitu.


Tak dinyana, percakapan aneh mengalir juga dari sela bibir beliau.


Ckck, geleng kepala saya.


Akrab dipanggil Dinar, bahkan dia pernah menirukan ekspresi senyum-tiga-jari seorang cheerleader. Tak terhindarkan, ledaklah tawa satu kelompok. Dinar Ramadhani ini rupanya... sebelas-duabelas sama Aming kah?

Ini dia quote yang, dengan bangga, saya kutip dari Sang Mata Uang Iraq ini, nyaeta:

Saya: (asik merajut) eh Nar, tapi kalau ngerajut gini suka bikin galau sendiri tau. Abisnya kalo lagi ngerajut, pikiran bisa kemana-mana terus jadi galau.
Dinar: Iya, iya, kalo ngerjain sesuatu yang rutin dan monoton, otak bisa mikir macem-macem. misalnya kayak lagi nyabutin toge.

nyabutin toge

nyabutin toge


nyabutin toge




whaaaat???

hahaha, gapapa sih tauge juga gapapa, tapi baru pertama kali aja denger perumpamaan cem kitu hahaha.

Dalam Redam

Mutakhir yang terakhir
Cepat, seperti besi mengkarat
Rekat kita walau tak dekat
Sekotak cinta dan benci aku genggam
Intip, di situ dunia mendurja berpesta

Dunianya jauh duniaku
Jauhkah, jauh?
Inikah sulit tembus hutan berbelit
Lumut menyatu, tanah berteman
Binatang di mana-mana!
Alam meraja

Itukah susah dalam kisah?
Lama, lebih dari henti dalam koma
Lambat, waktu putar bagai sahabat

Tuhan, dunianya jauh duniaku
Tidak mutakhir ini redam
Panjang waktuku tersita untukMu

Inikah susah?
Ketika cepat terkisah tepat
Bila apa salahnya
Saat lambat, tertambatkah aku padaMu?

Published with Blogger-droid v2.0.4