Kini, Nanti, Kini dan Nanti

 Dina menatap jadwal yang tertempel di hadapannya. Papan butut yang selalu menghalangi anak-anak masuk ke kantin itu kini dikerumuni oleh para mahasiswa layaknya lampu dan laron. Dengan teliti, Dina mencatat satu per satu jadwal ujian yang sudah dirancang oleh bagian tata usaha.

"Seandainya para asisten lab yang merancang," pikir Dina.

Para staff tata usaha tidak mengetahui penderitaan para mahasiswa. Dan, ya, tentu saja para asisten lab pernah menempuh tahun yang ditempuh Dina. Mereka akan mengerti bahwa ujian Statistika II dicampur dengan ujian mata kuliah Riset Operasional itu bagaikan magnesium dicampur dengan air.

Terbakar.

Tidak sanggup membayangkan Dina akan otaknya yang kebakaran di Selasa malam. Ah, semoga ujian cepat berlalu.

Selepas dari sana, Dina berjalan masuk ke kantin untuk membeli jus tomat, favoritnya, sementara ia menenangkan diri sebelum maraton ujian dimulai. Terasa handphonenya bergetar dan segera ia ambil untuk melihat.

Dari Kinan dan Nanda. Biasa, minta dikirimkan jadwal ujian dari Dina sementara mereka malas ke kampus, pasti sedang asik bergumul di dalam selimut sambil menonton drama korea.

***

"Gile, hari Rabu," komentar Nanda terkejut.

Kinan mengeluarkan emoticon menangis.

Dina cuma membalas, "iya, heboh ya Rabu."

Setelah itu, Dina langsung mengeluarkan agendanya dan menganalisa lebih jauh susunan ujian mata kuliah seminggu ke depan.

Oke, Senin ada cuma psikologi industri, gampil lah. Kalau begitu, besok pagi perlu belajar psikologi industri, siangnya istirahat dulu, sore cicil Statistika II.

Dina larut dalam pikirannya, sibuk mengatur jadwal selama seminggu ke depan, sampai-sampai dia tidak menyadari lalat sudah hinggap di sedotannya.

***

Hari Minggu sudah tiba dan semua anak jurusannya sedang mempersiapkan ujian. Atau paling tidak, hampir semua.

Karena Kinan malah sudah berseragam olahraga lengkap dengan headset menyantol di telinganya. Dina dan Nanda sedang bergelimpangan di kamar Nanda untuk belajar sampai Kinan lewat dan menyapa,"oy."

"Woi, mau ke mana Nan?" Nanda kaget melihat penampilan Kinan.

"Olahraga dulu, hehehe. Mumet gue lihat jadwal ujian."

"Statistika Naaan bentar lagi," Dina mengingatkan, "bareng sama Riset Operasi!"

"Besok Psikologi Industri kan?" balas Kinan sambil mengikat tali sepatu,"belajar sore nanti lah, sambil nyicil dikit-dikit buat Riset Operasi."

Dina dan Nanda saling berpandangan.

"Bye," Kinan berlalu.

***

Setelah shalat zhuhur, Dina memakai bergonya dan mengambil dompet. "Yuk makan," ajak Dina kepada Nanda, "ayam penyet yuk."

Nanda melipat mukenanya, lalu kembali membuka buku. "Nanti aja, Din. Lo duluan aja, gue nanggung belajarnya."

Dina mengangkat bahu, lalu memutuskan mengajak Kinan. Ia mengeluarkan handphonenya dan mengirimkan pesan pada Kinan.

Tak disangka, inilah balasan Kinan.

Yah gue lagi di PVJ, Din. Tadi pas jogging ketemu Ratih, terus ngajakin makan-makan dulu sama Fika, Rara.

Dina mengangkat bahu lebih heran lagi. Ratih, Fika, dan Rara, mereka bertiga jurusan Biologi yang sudah menyelesaikan ujiannya minggu lalu. Ya wajarlah kalau mereka sudah bebas.

Terserahlah.

***

Begitulah berlalu selama beberapa hari. Dina mengikuti jadwal belajar yang sudah dibuatnya, tiap hari ada cicilan untuk Statistika II dan Riset Operasi. Sementara Nanda, lebih panik lagi, terlihat belajar tanpa henti. Sarapan sampai dia skip, makan siang terlambat, tidur larut sekali. Ketika Dina sudah mengusaikan belajarnya, Nanda masih lanjut sampai tengah malam.

Kinan, berbalik 180 derajat dari Nanda. Hampir tiap hari ia tergoda oleh panggilan-panggilan teman-teman. Tiba-tiba nonton bioskop, tiba-tiba latihan basket, tiba-tiba ke salon, Dina dan Nanda sampai cenat-cenut melihatnya pergi dari kosan setiap hari. Malam Kinan datang, dan mulai belajar, tapi tidurnya berbarengan dengan Dina atau bahkan lebih awal.

***

Dan... apa yang terjadi ketika ujian Statistika II dan Riset Operasi tiba?

Dina, mungkin sesuai yang kita tebak, dapat menjalankannya dengan mulus, tapi karena dia bukan Einstein ya ada salah sedikit-sedikit. Kinan, sesuai tebakan juga, blank saat ujian. Rumus lupa, kalaupun ingat, ia tidak bisa mengerjakannya karena kita semua tahu soal hitungan butuh latihan.

Nanda, mungkin di luar dugaan kita, hasilnya malah jeblok! Pada hari ujian, kepala Nanda sangat pusing dan perutnya perih. Asam lambungnya sepertinya mengamuk. Ia tidak bisa berkonsentrasi saat ujian. Hasilnya, mungkin sama dengan Kinan yang belajarnya sangat minimal.

***

Ini hanyalah sebuah perumpamaan.

Teaching, Marketing, and Leading

Berbeda dengan kakak saya yang senang berbincang dengan orang baru, saya cenderung nyaman dengan orang-orang yang sudah saya kenal saja. Alkisah saya agak kaget juga, ketika itu kami sekeluarga sedang menyebrang jalan di luar negeri. Ketika tiba di ujung zebra cross, ternyata kakak saya sudah dapat kenalan baru (mereka mengobrol di sepanjang penyeberangan yang singkat tadi), lalu mereka bertukar kartu nama.

"Suka nyari-nyari topik pembicaraan," komentar saya.

Kontan bapak saya tertawa mendengar celetukan saya. Namun, di satu sisi beliau membenarkan tindakan kakak saya dan memotivasi saya untuk melakukan hal yang sama; berkenalan dengan orang baru.

Saya tak ambil pusing nasihat itu dan tetap hidup sebagai Anka yang sama setelahnya.

Dengan sifat saya yang dulu itu, bukan aneh kalau dulu saya tidak berminat dengan kegiatan sales and marketing. Sebuah rangkaian kegiatan yang memiliki konsekuensi untuk PDKT dengan orang-orang baru. Tampaknya saya sekaku kanebo kering kalau berhadapan dengan orang baru.

Dulu juga, saya mendengar sebuah panduan tentang leadership. Sang pemateri menyampaikan keterampilan apa saja yang dibutuhkan seorang leader. Dari A sampai Z dia sebutkan. Lalu, dengan dramatis, dia menambahkan satu keterampilan terakhir yang harus dimiliki.

"Marketing," katanya dalam bisikan yang misterius.

Sekali lagi, karena saya sama sekali tidak menaruh minat pada marketing, nasihat itu terabaikan bagai batu kerikil di tengah jalan.

***

Aliran waktu pun membawa saya tiba di dunia pendidikan. Kali ini, bukan sebagai siswa, tapi sebagai pendidik. Tahun-tahun pertama merupakan tahun yang sangat berat bagi saya. Rasanya seperti orang yang pas-pasan dalam skill berenang, tiba-tiba dijeburin ke laut dalam. Terbayang ya, ngos-ngosannya seperti apa ketika berenang? Ketika ombak datang menyerang, berkali-kali hampir tenggelam.

Hehe.

Namun, bukan saya kalau tidak jalan terus di tempat yang saya yakini. Pun motivasi datang silih berganti, salah satunya motivasi dari pendidik tersenior di tempat ini.

Katanya, "banyak pemimpin lahir dari profesi guru." Lalu beliau memberi contoh tokohnya. "cintai pekerjaan ini, lakukan dengan sepenuh hati dan ikhlas, insya Allah kalian semua akan jadi leader."

Mulailah muncul pertanyaan dalam benak saya, why? Apa hubungannya menjadi pendidik dengan berkembang jadi pemimpin?

***

Aliran waktu juga yang melabuhkan saya di dunia marketing. Selama kuliah, saya dapat banyak pintu kesempatan terbuka di jurusan saya untuk mendalami marketing. Tentu bisa ditebak, selalu saya tutup pintu itu. Saya memilih untuk mendalami sisi lain dalam jurusan saya. Tidak sih, saya tidak menyesal karena saya benar-benar enjoy dengan yang saya dalami. Namun, kalau saja saya sedikit mendalami marketing, tentu saya memulai dunia baru saya ini dengan clue yang lebih jelas.

Sebelumnya, saya berkutat di dunia produksi. Dunia itu saya awali dengan pengetahuan yang sudah saya miliki. Memang, teori di kuliah tidak semudah itu dipraktikkan. Tapi setidaknya, teori itu mengarahkan saya dalam koridor yang tepat. Ketika saya mulai pindah ke dunia marketing, oh no. Seperti pergi ke kota baru tanpa peta. Tepatnya, rasanya seperti waktu saya pertukaran pelajar ke Korea Selatan, lalu tersesat (salah mengambil bus), sendirian, tidak punya peta, tidak lancar baca tulisan Hangul, dan tidak mengerti bahasa Korea. Rasanya begitu, hehe.

Namun ya saya tetap menjalani dengan sabar. Coba ini coba itu, benar-benar trial and error. Waktu kuliah, tahunya cuma teori STP dan Marketing Mix. Itu pun sebenarnya belum paham-paham amat (justru sekarang jadi paham sekali karena sudah menjalani. Memang, yang penting praktik ya). Dan saya merasa, bagi saya marketing lebih sulit daripada produksi (ini pendapat pribadi, bukannya saya menganggap produksi mudah ya. Di bagian produksi pun saya masih kelimpungan dan harus banyak belajar hihi).

Statement otak saya itu membangkitkan jiwa analisis saya.

Why?

Setelah saya pikirkan, marketing lebih sulit daripada produksi karena indikator kesuksesan kita sangat tergantung pihak eksternal (orang lain). Sedangkan dalam produksi, kesuksesan kita banyak ditentukan dengan kita memperbaiki diri sendiri.

Misal, dalam produksi targetnya adalah jumlah produk per bulannya. Itu dapat dilakukan dengan kita mengontrol internal divisi produksi, seperti jumlah SDM yang harus ada (kalau kurang, cari tambahan), jumlah alat dan mesin (cukupkah untuk mengejar target produksi?), jadwal produksi, pembelian bahan, dan sebagainya. Sedangkan untuk marketing, targetnya adalah banyaknya penjualan. Barang kita tentu saja dibeli oleh orang lain. Artinya, untuk mencapai target marketing, kita harus mengontrol pihak eksternal, memengaruhi orang lain.

Lalu si jiwa analisis itu tiba-tiba teringat pada sepotong info di masa lampau: keterampilan yang harus dimiliki pemimpin adalah marketing.

Benar juga. Pemimpin tugasnya mengontrol, mengatur, dan memengaruhi orang lain. Itulah yang dilakukan oleh bagian marketing. Itulah mengapa, marketing berhubungan erat dengan kepemimpinan. Pun sebagai pendidik, tugas mereka adalah mengontrol, mengatur, memotivasi, dan mengubah karakter (menjadi lebih baik tentu saja) orang lain. Itu pula yang dilakukan oleh pemimpin. Itulah mengapa, keterampilan dalam mendidik berhubungan erat dengan kepemimpinan.

***

Kebetulan, saat ini saya sedang diamanahkan dalam kedua posisi tadi. Tugas saya hanya melakukan yang sebaik-baiknya. Ini semua kan ujian, untuk dilihat siapa yang amalnya lebih baik.

😉