Ilham

Hari ini saya menunda lagi.

Tapi, biarlah saya memulai menulis kembali. Mencoba mengalirkan inspirasi, ilham, melalui jari-jari saya menuju layar komputer. Setelah berdiskusi dengan seorang teman, ternyata terdapat dua bagian besar dalam komunikasi. Yang pertama adalah bagian konten, di mana otak-otak komunikatornya perlu dipenuhi dengan inspirasi, ilham, pesan, renungan, atau motivasi, yang akan disampaikan. Sedangkan, bagian keduanya adalah bagian teknis, yaitu bagian pelaksanaan komunikasinya, baik dalam bentuk presentasi, orasi, pidato, menggambar, maupun menulis. Jadi, saya simpulkan, komunikasi yang baik itu memerlukan dua keterampilan, yaitu keterampilan berpikir untuk mendapat pesan, makna, dan ilham dari kejadian, serta keterampilan teknis menulis, berbicara, dan sebagainya.

Ngomong-ngomong soal ilham, kali ini dia tidak muncul dengan deras di otak saya. Mungkin hari ini saya kurang berpikir dan kurang merenung. Tapi, saya jadi penasaran dengan kata ilham sendiri. Saya jadi curiga, jangan-jangan ‘ilham’ berasal dari Bahasa Arab.

Ternyata benar. Menurut suatu sumber di internet, ilham berasal dari kata yang berarti menelan. Sedangkan, menurut KBBI, ilham adalah (1) petunjuk Tuhan yang timbul di hati, (2) pikiran yang timbul dari hati, (3) sesuatu yang menggerakkan hati untuk mencipta. KBBI pun mensinonimkan ilham dengan inspirasi. Sementara itu, menurut Cambridge dictionary, inspiration berarti (1) someone or something that gives you ideas for doing something, (2) a sudden good idea, (3) someone that people admire and want to be like.

Arti asli ilham harus ditilik dari asal katanya juga. Disebutkan bahwa asal kata ilham adalah menelan. Maka, ilham apapun yang muncul, bukanlah sekedar a sudden good idea seperti arti dari inspirasi. Namun, ilham harusnya merupakan proses aktif dalam menerima input (menelan), yang melalui proses pemikiran dan pemaknaan, dan akhirnya menimbulkan keinginan untuk berbuat.

Kalau begitu, memang benar peribahasa,”you are what you eat.”

Saya harus menjaga ‘makanan’ saya agar ilham yang saya dapatkan merupakan ilham yang baik. Saya harus bisa mengambil masukan-masukan baik dari lingkungan saya. Sedangkan proses pemikiran dan pemaknaannya harus selalu saya kawal dengan frame yang baik pula. Harus ada prinsip-prinsip jelas yang saya pegang sehingga hasil yang saya peroleh juga terjaga kebaikannya.

29 Agustus 2014 (diedit, ditambahkan tiga kalimat baru, dan diposkan pada pagi hari 30 Agustus 2014)

Evaluasi di akhir minggu

Tiba di akhir minggu pertama sejak saya mengumandangkan janji saya kepada diri saya sendiri: satu hari satu tulisan. Setelah menjalaninya satu minggu, saya akhirnya melihat dengan jelas kekurangan diri saya yang sangat menonjol. Saya suka menunda sampai batas-batas penghabisan.

Sama seperti hari-hari sebelumnya, saya mulai menulis untuk tanggal 24 Agustus pada jam 11.30an malam. Dan itupun saya banyak teralihkan oleh hal-hal lain di sekitar saya sehingga sekarang waktu sudah menunjukkan 25 Agustus 2014 kurang tujuh menit.

Ah tidak saya harus bergegas.

Disiplin saya kurang sekali, bahkan untuk solat fardhu sekalipun. Saya belum seniat itu untuk mengamalkannya di awal waktu. Baiklah, minggu depan tidak boleh menulis di akhir hari lagi.

Selain itu, pada hari ini harusnya saya sudah memiliki tujuh tulisan. Pada nyatanya, hanya terdapat tiga file dalam komputer saya plus satu tulisan di blog. Ada beberapa tulisan yang membutuhkan dua hari untuk selesai. Kalau begitu, saya benar-benar telah melanggar janji saya sendiri. Janji saya kan satu hari satu tulisan. Bukan sekedar setiap hari menulis. Baiklah, minggu depan tulisannya tidak boleh sampai bersambung-sambung seperti kemarin.

Tiga menit lagi menuju 25 Agustus!

Dengan adanya kewajiban satu tulisan setiap hari ini, I really need to be inspired everyday saya benar-benar butuh untuk terinspirasi terilhami setiap hari. Atau, lebih pasnya, saya harus mampu menemukan ilham dari setiap benda, kejadian, dan lingkungan yang saya alami sehari-hari. Dan, sejauh ini saya masih lebih sering menulis artikel dibandingkan dengan cerpen. Padahal, sepertinya cerpen lebih menantang karena sama-sama harus menemukan ilham dengan tambahan menuliskannya semua pesan-pesan yang ingin saya sampaikan dalam suatu imajinasi dan kreasi baru lagi.

Sudah jam 00.00, sudah tanggal 25 Agustus.

Bye.

(meski dipos pada tanggal 25 Agustus dini hari, tapi tulisan ini sesungguhnya rampung pada pk. 00.00 25 Agustus 2014, jadi dapat diakui bahwa tulisan ini adalah karya saya di tanggal 24 Agustus)

18 Agustus 2014

Welcoming birthday, again.

Birthday is getting less special when you grow old. Maybe I'm already bored with birthday celebrations. I have already faced them for 22 times!

So, this is me, in my 23rd. Nothing has changed since the last time I was 22 (21 minutes ago), except my hair getting more oily because I left it unwashed.

I am a grown up; birthday is not a special celebration; birthday is just another day.
I am a grown up; there's nothing special about birthday; what's so special is just life.
I am a grown up; I need to walk in the right path, in that special path, so I will leave bright and shiny traces in this world.

And yesterday an idea popped out in my brain. It suggests me to make a commitment to my self, one writing everyday and one painting every week, since today until the next time I find myself getting older a year.

Hmm, pinky swear?

...

Hahaha, why this feels so hard?

(Breath heavily)

Okay, one writing everyday! Pinky swear!

And this is my first article in my twenty-three.

Tanggung jawab!

Dibandingkan dengan negara-negara luar, Indonesia sepertinya menjadi salah satu negara yang masih gagal mengelola sampah-sampahnya. Banyak yang menyimpulkan, ini semua disebabkan oleh majunya teknologi tidak sebanding dengan pendidikan kepada masyarakatnya.

Sedikit banyak, tampaknya pernyataan tadi cukup benar. Saya pernah beberapa kali live in di pedesaan. Saya tinggal di rumah seorang penduduk desa, bergaul dengan remaja-remaja sepantaran saya, ikut membantu (atau justru gerecokin) tuan rumah bertani, menemani belanja ke pasar, sampai main-main dengan anak-anak kecil ingusan. Di samping pengalaman-pengalaman seru dan pemandangan indah di desa sana, ada sebuah hal lain yang membekas di ingatan saya.

Pertama kali saya live in, saya tinggal di daerah Sleman, di sekitar Yogyakarta. Hari pertama tiba di sana, saya beramah tamah seharian dengan tuan rumah, cengangas-cengenges sama teman serumah, sampai tibalah suatu sore hari di saat saya memegang sampah di tangan saya. Saya keliling-keliling mencari tong sampah, tapi pencarian saya sia-sia. Akhirnya, bertanyalah saya pada Ibu pemilik rumah, dan katanya, taruh saja di sana. Di sana, di sebuah tumpukan dedaunan.

Baiklah, kebetulan sampah saya juga sisa makanan, jadi… yasudahlah.

Beranjak malam, saya yang saat itu sedang datang bulan, keluar dari kamar mandi menggenggam seonggok ‘sampah wanita’. Masa saya taruh di tumpukan dedaunan? Kan, jijik… karena masih gagal menemukan tempat pembuangan yang lebih layak, saya bertanya lagi di mana tempat sampah, mau buang pembalut.
Si Ibu kemudian menunjuk tungku memasak, taruh saja di tungku, nanti dibakar.

Hah, gak apa-apa, Bu?

Beliau tersenyum.


***

Kali kedua, saya tinggal selama dua minggu di daerah Garut. Di sana saya bertempat di sebuah rumah di tepi lembah. Di bawah lembah sana mengalir sungai, dan sepanjang tembok landainya ramai ditumbuhi tanaman-tanaman tropis dan liar. Kalau dibayangkan, mungkin tampaknya indah – hijau-hijauan diiringi gemericik sungai. Tapi, sesungguhnya saya lupa untuk menyebutkan suatu informasi yang spontan menepis bayangan-bayangan indah tadi.

Jurang itu ternyata menjadi tempat pembuangan akhir sampah bagi mereka. Banyak sampah-sampah plastik, sebagian besar bungkus makanan ringan, bertebaran bagai bintang di malam hari. Saya cukup kaget melihat penduduk desa yang terbiasa membuang sampah langsung ke sana.

Saya langsung berpikir.

Satu, sarana, prasarana, dan fasilitas persampahan dari pemerintah tidak menyentuh langsung ke sana. Tidak ada petugas sampah dari pemerintah yang datang ke desa tersebut, mengambil sampah-sampah dan sebagainya. Tidak ada satupun tong sampah terlihat di sana. Mungkin, kalau dari sudut pandang makro, dengan data-data statistik sebagai bahan analisisnya, desa di bilangan Garut ini bisa saja mendapat penghargaan “Desa Zero Waste” saking tidak adanya sampah yang keluar dari sana membebani pemerintah. Padahal justru di sana tidak ada pengelolaan sampah sama sekali. Sampah secara langsung membebani alam.

Dua, bayangkan desa itu masih tertutup dari perkembangan teknologi terkini (bungkus plastik untuk makanan kecil itu teknologi, setuju kan?). Mereka hidup mandiri dari sumber daya mereka sendiri. Mereka membeli makanan kecil di warung-warung penduduk mereka sendiri. Pemilik warung membuat lemper, odading, ataupun kelepon, kemudian dibungkus dengan daun pisang. Akhirnya, sampah yang mereka hasilkan pun organik.

Mungkin, nenek moyang mereka dulu, yang sampahnya hanya sebatas daun pisang, memang terbiasa membuang apapun ke lembah itu. Kini, penduduk sekarang, yang sudah kedatangan bungkus plastik, tetap membuang sampah ke lembah, karena tidak adanya pemahaman bahwa bungkus plastik tidak bisa diperlakukan sama seperti daun pisang.

Warung-warung bergeser dari menjual lemper ke ciki-cikian. Mereka sangat terbuka untuk teknologi, perusahaan-perusahaan makanan ringan mampu melesat dan memasuki desa. Namun, sayangnya, pendidikan dan pengetahuan tidak turut menyerap ke dalam desa tersebut. Mereka terisolasi dari perkembangan pengetahuan dan pendidikan.

***

Di ITB, terdapat wadah berkumpulnya mahasiswa yang satu jurusan untuk berkegiatan bersama. Wadah tersebut biasa disebut himpunan. Himpunan mahasiswa di ITB memiliki sebuah sekre, suatu tempat untuk berkumpul bersama. Kadang rapat, kadang bikin tugas, kadang main gitar sampai pagi, kadang main pingpong, dan kadang-kadang jadi tempat bakar dan makan jagung.

Penuhnya sekre oleh mahasiswa kadang-kadang membuat penuhnya sekre oleh sampah ketika mahasiswa-mahasiswa itu pulang. Mungkin sesuai dengan peribahasa gajah dan macan. Gajah mati meninggalkan gading, macan mati meninggalkan belang, mahasiswa pulang meninggalkan sampah. Tentu saja hal ini membuat geram sebagian mahasiswa-mahasiswa nan apik dan resik. Tidak jarang, sekre-sekre himpunan ditempeli tulisan-tulisan yang kurang lebih berbunyi “tanggung jawab akan sampahmu”.

Kurang lebih, para penjaga sekre mengharapkan para ‘produsen’ sampah itu bertanggung jawab akan sampahnya masing-masing dan membuangnya sendiri ke tong sampah agar tidak mengotori sekre. Kalau dalam konteks himpunan, produsennya itu mahasiswa dan sampahnya itu adalah botol-botol air mineral yang mereka beli, bungkus plastik bekas makanan, dan sebagainya.

Nah, kira-kira bisa gak ya konsep ini diterapkan dalam lingkup yang lebih luas?

Dalam lingkup yang lebih luas, produsennya adalah pabrik atau toko-toko. Coba bayangkan sebuah air kemasan. Ketika airnya habis, yang tersisa hanya sampah botol plastik, kan? Jadi sebenarnya, perusahaan-perusahaan itu, selain mencetak minuman, dia juga mencetak ribuan sampah botol setiap harinya.

Mengadopsi prinsip ketua divisi badan rumah tangga himpunan-himpunan di ITB, harusnya para perusahaan itu harus bertanggung jawab atas sampah yang mereka hasilkan. Program CSR perusahaan harusnya sesuai dan sebanding dengan kerusakan yang mereka buat. Kalau ada perusahaan yang menghasilkan 2 ton sampah plastik setiap harinya, maka program CSR mereka pun harusnya mengelola 2 ton sampah plastik setiap harinya pula. Atau, jika perusahaan tersebut menghasilkan produk yang pemakaiannya mengakibatkan pencemaran air, seharusnya mereka membantu pemerintah dalam pengelolaan air bersih sebagai program CSRnya.