Benang Merah di Danone

Jumat kemarin, FOODLAP diundang oleh Danone Young Social Entrepreneur untuk sharing mengenai entrepreneur. Tentu saja itu pengalaman menarik yang bisa diceritakan, tapi di lain waktu. Karena, ada hal menarik lainnya yang saya alami secara personal: terlalu banyak benang merah.

Jadi, orang yang secara personal mengontak FOODLAP namanya Aldi. Dia menyambut kami saat kami tiba di sana, setelah agak sedikit berpeluh-peluh ria di jalanan ibukota. Perkenalan singkat membuat saya menemukan benang merah pertama. Dia anak TI ITB, juga. Setelah tergali lebih dalam lagi, ternyata dia temannya Yoan di 8eh, dan beberapa kali pernah mengantar Yoan ke kosan kami. Setelah sekian tahun berjarak beberapa meter dia di depan pagar kosan dari saya di kamar, ternyata pertemuan kami mengambil tempat di kantor Danone.

Orang kedua yang menyambut kami adalah seorang perempuan muda dengan baju berwarna biru muda. Hidungnya mancung, kulitnya putih, bibirnya tipis, dan menurut saya dia mirip sekali dengan Clorinda, teman saya. Dan ternyata, dia, Adis namanya, angkatan 2009 Fakultas Hukum UI. Dia temannya Jeanne dan dia kenal kakak saya ._.

Di tengah presentasi FOODLAP, muncul lagi satu laki-laki muda berbadan besar dan gelap. Ketika melihat wajahnya, saya langsung tahu dia siapa. Usai presentasi, saya langsung mendatanginya yang baru saja beres berbincang via telepon. Dia langsung menunjuk muka saya,"Elo!" sapanya. Sungguh sapaan yang aneh. Haha.

"Abi ya, pacarnya Atoy?" Saya mencoba menyebut nama.

"Elo," katanya lagi,"kayaknya nama panggilan lo biasanya bukan Anka, deh?"

Haha. Saya tidak menjawab.

***

Selain tiga pertemuan tadi, sebenarnya ada sebuah quote yang ingin saya kutip di sini. Kata-kata ini meluncur keluar dari mulut Adis, dan saya kemarin berjanji padanya,"kalau gue punya novel, gue kayaknya mau ngutip kata-kata lo deh."

Waktu itu kami sedang membicarakan abang ojek. Tiba-tiba, dengan berapi-api, Adis mengomel,"gue paling sebel ya sama abang ojek Jakarta. Pertama, mereka suka godain cewek. Neng, neng, ojek, neng. Kedua, kalau gue datengin, gue udah mau nih sama lo, eh dia malah jual mahal! Mending gue jalan kaki."

Saat dia ngomong begitu, rasanya lucu banget. Tapi pas ditulis kok biasa aja ya? Haha.

Kenapa Megapolitan?

Saya masih ingat film-film masa depan yang menggambarkan kehancuran dunia. Bumi sudah tidak mampu menopang kehidupan manusia. Demi uang, manusia-manusia pendahulunya membiarkan teknologi menghabisi alam, limbah kimia meracuninya, asap pabrik mengotorinya. Oksigen sudah seperti barang langka, air bersih perlu dicari dengan perjuangan.

Saya ingat, pada film-film itu, manusia digambarkan memakai masker setiap mereka pergi. Mereka mempunyai bunker bawah tanah di setiap rumahnya, khawatir bencana alam datang tiba-tiba menghabisi mereka. Pemerintah pun disibukkan dengan penelitian antariksa, mencoba mencari sebuah 'bumi' lain di antara kelip bintang di langit malam.

***
Rasanya kita sudah mulai menjajaki beberapa tahun sebelum film itu dimulai. Orang-orang bermasker, kini bukan khayalan lagi. Di ibukota Indonesia, udaranya seperti asap mobil. Hitam dan mengepul, membuat rakyatnya sesak napas.

sumber: http://cdn-media.viva.id/thumbs2/2011/08/08/119190_masker-polusi-udara_663_382.jpg

Jakarta, bagi saya, bukan lagi kota idaman. Kalau orang-orang lingkungan berkata 'Jakarta bukan kota yang sustainable', saya berpendapat bahwa Jakarta ini ibaratnya manusia pesakit.

Secara mudah, saya mendeskripsikan sustainability sebagai sebuah keadaan di mana kita bisa hidup selamanya. Tepatnya, bumi bisa hidup selamanya. Dan kehidupan itu bukan kehidupan yang artifisial, yaitu sebuah kehidupan di mana alat pembantulah yang menjadi nyawa.

Manusia yang sedang diberi cobaan dengan penyakit, yang kini hidup mereka bergantung pada alat, bagi saya itulah contoh kecil kehidupan yang tidak lagi sustainable. Dan Jakarta wujudnya kini seperti itu.

Seperti mereka yang butuh asupan oksigen untuk bernafas, Jakarta tidak bisa hidup bila tidak dipasok hasil pertanian dan peternakan dari daerah lain di Indonesia. Seperti mereka yang butuh alat demi jantung yang berdetak, rakyat Jakarta tidak bisa menjalani hari tanpa bantuan kendaraan. Semua sisi kota seperti dirancang hanya untuk automobile. Tidak pernah tampak jalur pedestrian yang pantas bagi para pejalan kaki.

Saya tidak pernah melihat arah pembangunan Jakarta menuju megapolitan ini berpihak kepada kehidupan yang baik. Dan masih ada tujuh daerah lainnya di Indonesia yang akan dikembangkan menjadi megapolitan. Parameter pembangunan hanya didasarkan pada satu ukuran dangkal: ekonomi, rupiah, uang.
***
Secara khusus, saya tidak pernah rela bahwa Bandung ini sedang dikembangkan menjadi megapolitan. Tapi secara umum, saya benar-benar setuju dengan peribahasa anonim ini.
"Ketika pohon terakhir telah ditebang, sungai terakhir telah tercemar, dan ikan terakhir telah ditangkap, barulah manusia sadar bahwa mereka tidak bisa memakan uang."