Dinar. Ramadhani.

#1 Konteks yang terlalu sempit
"Kalau ke Thailand, mau liat karambanya ah,"kata Dinar.
"Jalan-jalan yuk!"
"Yuk, akhirnya..."
"Pengen ke Malang nih."
"Hah?"Dinar kaget.
"Loh,"saya ikut kaget,"emang pengen ke Thailand?"
"Ngga, kirain jalan-jalan itu mau keluar rumah."
-___-

#2 Gak lucu
"Adek kan juga gak jelas,"mulai Dinar,"terus kita suka gak jelas berdua gitu. Akhirnya kita bikin quote."
"Apaan?"
Dinar ketawa terpingkal-pingkal sendiri,"aduh, ga kuat. Ditulis aja ya. Hahahahahaha"
Wah, lucu banget nih kayaknya. "Hahaha, apa Nar, tulis aja."
"Hahahahahaha, jadi sama adek bikin quote gitu,'orang yang mentertawakan ketidakjelasan lebih tidak jelas daripada ketidakjelasan itu sendiri."
...
"HAHAHAHA GAK LUCU."
"HAHAHAHAHA IYAA MAKANYA ITU KARENA GAK LUCU JADI KETAWA"

Hahaha, what @#$%^&*?! gak logis

Sarjana, Toga, dan Wisdom

Hari ini adalah hari kelima di bulan Agustus tahun ini. Sebagai mahasiswa yang (seharusnya) tingkat akhir, saya sudah dua kali mencicip wisuda teman-teman seangkatan saya. Yang pertama wisuda ITB Juli kemarin, dan yang kedua wisuda Unpar, Juli juga.

Saya kemarin-kemarin heboh membeli kartu ucapan, lalu dituliskan "SELAMAT Siapakek, S.T.!". Di angkatan sendiri mulai terdengar 'gelar-gelar' ST1, ST12, sampai ST berapapun, yang menandakan urutan kelulusan sidang di angkatannya.

Sarjana.

Sarjana Teknik, Sarjana Sosial, Sarjana Hukum, Sarjana Seni, apalagi?

Kalau dipikir-pikir, memang, sarjana itu apaan ya?
Ahli? Ahli sosial, ahli psikologi?
Atau bahkan, jangan-jangan sarjana artinya sekedar... lulusan.
Lulusan teknik, lulusan sosial, lulusan hukum. Kalau benar artinya sekedar lulusan, beeeuh, capek-capek kuliah, ternyata cuma jadi seorang lulusan yang nobody guarantees you will do great or even be an expert there.

Saya masih belum paham makna sarjana sekarang, tapi kalau ditilik dari sejarahnya, sarjana, yang berasal dari Bahasa Sansekerta ini, ternyata bermakna orang yang pandai atau berilmu. Sarjana adalah orang yang dianggap ahli di kalangannya. Padahal, sekarang seorang sarjana S-1 masih banyak yang jadi pengangguran. Kalau sarjana adalah seorang ahli, seharusnya pekerjaan yang mencari beliau, bukan beliau yang mencari pekerjaan.

Makanya, saya masih belum menemukan makna sarjana yang diakui di masa sekarang selain sebagai seorang lulusan S1.

Guru pelajaran Bahasa Indonesia saya waktu SMA mengkategorikan kasus sarjana ini sebagai penyempitan makna. Mari kita bayangkan diagram Venn, kalau memang menyempit, artinya lulusan S1 merupakan himpunan bagian dari kelompok ahli, yang artinya lulusan S1 pasti ahli dalam bidangnya. Melihat kenyataan sekarang, saya justru menganggap kasus sarjana ini sebagai pergeseran makna. Haha, gak penting sih, ya sudah lupakan.

Selain itu, seremonial wisuda sekarang di seluruh dunia, sepertinya sudah diseragamkan dengan fashion  yang sama; toga dan mortarboard. Kalau dari sejarahnya lagi, toga ternyata adalah pakaian laki-laki pada masa Romawi Kuno (wanitanya memakai pakaian yang disebut dengan stola). Kurang lebih kayak gini:

Toga terbuat dari kain sepanjang enam meter yang dililit-lilit dan tidak dijahit. Ada yang menyebutkan bahwa toga merupakan satu-satunya pakaian yang layak dipakai di luar ruangan, tapi ada juga yang bilang bahwa toga merupakan pakaian yang biasa dipakai kalangan intelektual pada masa itu.

Tapi kayaknya benar dua-duanya deh. Jadi urutannya, toga pakaian sehari-hari di luar ruangan. Karena ribet, lama-lama pakaian ini ditinggalkan orang, tapi tetap digunakan di seremonial khusus (jadi kesannya intelektual). Haha tapi ini dugaan saya doang sih, kalau salah ya mohon maaf lahir batin, saya  kan lahir tahun 90an, bukan tahun Romawi Kuno haha. Intinya, ini pakaian orang Romawi. Dan yang jelas memang toga ini lama kelamaan ditinggalkan orang, tapi malah jadi dimodifikasi menjadi jubah seperti sekarang ini, dan 'naik derajat' jadi pakaian khusus acara penting, salah satunya wisuda.

Sementara itu, mortarboard, nama asli topi toga yang kotak itu, diduga asalnya terinspirasi dari biretta. Biretta adalah topi yang biasa dikenakan pendeta Katolik Roma. Biretta sendiri merupakan modifikasi dari berretto (nah loh mirip amat namanya) yang merupakan topi yang biasa digunakan kaum akademisi, seniman, dan humanis Romawi sekitar abad 12 hingga 14.

Si talinya sendiri entahlah melambangkan apa. Namun, dalam prosesi wisuda, katanya (saya belum diwisuda :') haha), sang rektor memindahkan tali ini dari kiri ke kanan. Ada yang bilang, prosesi itu melambangkan bahwa si sarjana, yang selama ini diolah otak kirinya di bangku kuliah, sekarang sudah lulus dan harus bisa menggunakan otak kanannya dalam pekerjaannya nanti. Otak kanan; perasaan, imajinasi, intuisi...

Setelah lulus kuliah, banyak sekali lambang-lambang yang akan diatributkan pada diri kita. Tapi, kadang, apa gunanya bahasa kalau tidak ada yang paham, apa gunanya lambang kalau tidak ada yang mengerti. Gelar sarjana itu kayaknya berat banget deh. Coba saja, dari seratusan SKS yang sudah saya ambil ini, berapa banyak nilai yang kurang dari baik? Okelah, nilai bukan segalanya, tapi, kalau saya renungi lagi, sudah berapa banyak SKS yang telah saya lupakan ilmunya? Inikah, saya, si calon sarjana berilmu pandai lagi ahli itu?

Anyway, kalau dipikir-pikir, toga tidak ada hubungannya dengan kelulusan dan kepandaian ya? Hahaha. Itu ibaratnya 1000 tahun lagi orang-orang diwisuda pakai kaos (men, apa yang sakral dari kaos? haha). Kalau menurut saya pribadi, perlambang yang paling tepat dipasang di sarjana adalah:
PADI!
hihi
lebih Indonesia, lebih lokal, dan orang-orang juga lebih paham; semakin berisi semakin merunduk.

Gelar jadi terasa tidak penting. Haha. Apalagi, setelah saya paham betapa arti sarjana sudah bergeser jauh dari makna aslinya yang begitu sabi. Sama saja seperti kata 'cantik' sudah bergeser jadi bermakna 'seenggaknya lo punya muka', ketika saya disebut cantik pada saat itu, tentu kebanggaannya sudah hilang.

Mari jadi sarjana sesungguhnya!!! Hiaaat!

:D

what is wrong

what is wrong with me
as the queen raises
i always feel under the stairs
looking up on those who smile

what is wrong with me
as the lions pass
i am just lying here on the grass
blaming on the time who fly

social media

mampir ke rumah eyang, buat nugas dan internetan, memberi dampak sampingan juga, saya jadi nonton tv. saluran yang dipasang saat ini saluran berita, dan sekarang banget nih, sedang ada pembahasan tentang anas, tepatnya pembahasan twitter-nya anas.

si pengamat politik yang diwawancara membicarakan apa saja tweet-nya anas, bagaimana reaksi masyarakat; retweet-kah, komenkah, dan sebagainya.

beliau bahkan menyebutkan,"... saya pantau akunnya anas..."

saya pantau.

saya pantau, men.

kalau orang awam yang ngomong, itu sama saja dengan "...saya stalk akunnya anas..." ga sih?

haha.

dunia memang berubah cepat ya, perasaan waktu SMA, twitter buat saya adalah sebuah social media baru yang tombol sign up-nya nempel di browser pilihan saya, sebuah social media iseng yang warna birunya lucu dan bagus, sampai akhirnya saya memutuskan untuk klik tombol itu dan sign up. sekarang, social media bahkan bisa jadi alasan sebuah masalah ("gua gak suka deh sama si itu, bacot banget twitternya"), bisa jadi penyebaran informasi yang efektif, iklan yang menarik, kuis online yang heboh, dan sekarang bahkan bisa jadi alat untuk analisis politik.

benar-benar, ini adalah era informasi.

yang sesungguhnya merantau hanyalah informasi, dan kita, beserta otot dan tulang-belulang kita, terduduk diam dan statis di suatu tempat di depan laptop.

rasanya kita seperti sudah berjalan di muka bumi ini, padahal hanya kode-kode biner program itu yang mengirimkannya ke muka kita!

huff, makanya, saya mau jalan-jalan.
jalan-jalan sungguhan.
ke phuket? :p

Harapan Palsu


Dina terbangun dari tidur siangnya yang damai. Kepalanya agak sakit, rasanya seperti otaknya yang lunak itu menjadi tempat ibu-ibu penjahit menancapkan jarum-jarum pentul. Kelopak matanya berat sekali. Dia melirik jam dinding berwarna kuning yang tergantung rapi di dinding kamar kosannya.

Gelap, tidak terlihat apapun.

Dina menyalakan lampu di meja sebelah kasurnya. Tampaklah jarum-jarum jam dindingnya meneriakkan kenyataan bahwa sekarang sudah jam 1 siang.

Dina mengerang sunyi.

Pelan-pelan, otaknya menghitung sudah berapa lama dirinya terlelap. Dia baru pulang dari kampus jam 7 tadi pagi. Tugas kelompoknya baru selesai jam 6. Segera, dengan semangat asik-tugas-gua-berkurang-satu, Dina dan Cinta beranjak ke tempat print pinggir jalan sekitar kampus. Jam setengah 7 mereka berhasil tiba di tata usaha untuk mengumpulkan tugas, dengan muka riang dan kantung mata yang membengkak. Sialnya, tata usaha masih tutup.

“Haha, hebat amat kita, bangun lebih pagi dari tata usaha,” Cinta tertawa frustasi.

Dina melengos,”sok-sokan bangun pagi ah lo, Cin, kita kan belum tidur.”

Cinta terkekeh lelah lalu mengajak Dina menunggu ibu-ibu tata usaha di kursi-kursi di sepanjang lorong gedung kuliahnya. Mereka menjatuhkan tubuh mereka di kursi yang keras, lalu bersandar mengantuk, memejamkan mata.

Sekitar 7 kurang 15, Ibu Tia datang dan membuka pintu ruangan tata usaha. Bergegas, Dina dan Cinta merapat pada Ibu Tia sambil membawa laporan tebal. Ibu Tia menolak mereka dengan alasan,”TU-nya belum buka, Neng. Sebentar lagi jam 7 aja.”

Dina segera menguap, memasang muka lelah dan mata sepet. Cinta berpura-pura kelelahan, meskipun memang benar-benar lelah, dan bersender pada pintu tata usaha, kemudian merayu Bu Tia dengan balada sedihnya dia dan Dina, betapa lelahnya mereka semalam suntuk begadang, belum lagi prahara laptop ngehang, tempat printer yang agak jauh (dan nanjak!) serta mahal, bahwa mereka akan kuliah pagi (meskipun mereka sudah meyakinkan diri untuk bolos), dan betapa sakitnya kepala mereka sekarang.

Akting mereka teruji kualitasnya sampai-sampai Bu Tia mengiyakan mereka untuk mengumpulkan tugas, lebih cepat dari waktunya. Dengan sepercik muka iba yang tulus dari Bu Tia, yang membuahkan rasa bersalah pada Cinta yang telah memberi alasan super hiperbola, beliau menyemangati anak-anak kuliahan ini dengan sungguh-sungguh.

Sambil berjalan pulang, Cinta meluapkan rasa tidak enaknya, yang menurut Dina berlebihan.

“Ya udah, sih, toh kita kan gak benar-benar berbohong dan berakting. Laptop Toni memang ngehang semalam dan Kika sampai harus minum panadol saking pusingnya. Kita memang capek, kok.”

Akhirnya, jam setengah delapan pagi, Dina tiba di kosannya – di kasurnya. Dina membanting tubuhnya ke kasur, lalu berguling menyamping menghadap tembok. Sekarang, dia sedang memandangi list tugas yang dia tempel di dinding samping tempat tidur. Dina mengambil bolpen, yang, entah bagaimana, tergeletak di samping bantalnya, lalu mencoret satu buah tugas.

“Laporan struktur bangunan… Rabu. Tugas manajemen konstruksi, tugas…”

Dina mendaftarkan tugasnya yang belum rampung satu persatu dalam hati. Masih ada 5 lagi. Dari tujuh tugas yang diberikan bertubi-tubi di dua minggu terakhir kuliah. Dina dan teman-temannya harus menyelesaikan 60% dari total tugas mereka dalam waktu 25% dari total kuliah! Salahkan dosen.

Hey, dosen tidak bersalah. Mereka sedang berbagi ilmu melalui… tugas.

Salahkan… salahkan diri sendiri berani-beraninya masuk universitas. Haha. Dina tersenyum sendiri. 

Kemudian terlelap.

Ketika jam satu siang akhirnya terbangun, Dina sudah beristirahat selama lima setengah jam. Cukup, sih, seharusnya. Dengan kepala yang agak sakit dan badan yang malas bergerak, dia memejamkan matanya sebentar.

Lima menit saja kok.

Suara hujan terdengar samar-samar, menenangkan. Lima menit kemudian, dia membuka matanya dan langsung beranjak keluar kamar. Entah bagaimana, ruangan di luar kamar kosannya tampak berbeda. Masa sih selama Dina tidur tadi ada renovasi besar-besaran di balik pintu kamarnya?

Ruangan ini tampak menyenangkan bagi Dina. Besar dan diterangi cahaya matahari yang agak redup, cerahnya termakan awan-awan mendung di atas sana. Jendela-jendela besar menghiasi sebagian besar dinding ruangan. Ruangan ini dipenuhi rak-rak buku yang terbuat dari kayu berwarna gelap. Sebuah karpet berwarna marun terbentang di tengahnya, memberi aksen yang menarik dari ruangan.

Dina pergi ke satu sudut ruangan dan duduk di sebuah kursi di samping jendela besar. Di depan kursinya terdapat meja kayu bundar dan di atasnya sudah disiapkan secangkir milo, untuknya. Butiran-butiran air sibuk berdempet-dempetan di kaca jendela.

Dina menyeruput Milonya dan mengambil HPnya. Sebuah SMS dari Cinta muncul. Bukan main gembiranya, semua sisa-sisa tugasnya diundur pengumpulannya jadi bulan depan. Dina sangat menikmati waktu istirahat ini, tanpa ada beban moril tugas menggantung di benaknya. Dia menyeruput Milonya lagi sambil memejamkan mata.

Kemudian dia buka matanya.

Dina masih ada di atas kasurnya. Dengan lampu di sampingnya menyala. Selimut yang berantakan. Serta jam dinding yang menunjukkan pukul 2 siang. Dina menelan ludahnya, merasa hidup ini pahit. Dina berdiri, duduk di meja belajarnya, mengambil laptopnya, kemudian mulai membuka Microsoft Word dengan wajah datar. Ditemani sisa-sisa mimpi yang mulai tertelan kembali ke pusaran ingatannya, Dina mulai mengetikkan kata, L-A-P-O-R-A-N …