(Ikut) Heboh RUU Pilkada

Belakangan, Indonesia, atau facebookers pada khususnya, tengah ramai dengan RUU Pilkada; langsung atau tidak langsung (saya, melalui blog ini, mau ikut serta dalam keramaian itu ah). Sebagian besar berbelasungkawa atas ‘matinya’ demokrasi di Indonesia dengan disahkannya RUU Pilkada tidak langsung. Tidak saya temukan sedikitpun yang mendukung RUU Pilkada tidak langsung di media sosial, tapi ada segelintir yang menyatakan ‘ah, sama saja’.

Kebetulan, saya termasuk di dalam yang segelintir itu.

Historikal
Secara faktual, sejarah bangsa ini tidak melulu indah dengan dilangsungkannya sistem pilkada langsung. Nyatanya, pilkada langsung juga menghasilkan banyak kepala daerah yang dibenci dan dinyatakan tidak becus, korup, dan sebagainya, oleh para rakyat. Sebut saja, Fauzi Bowo yang bahkan tidak mampu mengambil hati rakyat pada pilkada keduanya, Dada Rosada, yang sudah divonis penjara, dipersalahkan untuk berbagai macam kemunduran di Kota Bandung, dan tentu tidak lupa kan dengan kasus heboh Ibu Ratu Atut Chosiyah? Ratu Atut Chosiyah yang asik bermain dengan suap-menyuap dalam urusan Pilkada. Mereka semua produk Pilkada langsung, bung.

Seolah kita semua lupa dengan kasus-kasus itu. Memang, kepala daerah yang lovely juga ada yang dihasilkan dari proses Pilkada langsung. Sebut saja Ridwan Kamil, Jokowi, Ahok, Nurdin Abdullah, dan sebagainya. Tapi, sejujurnya, berapa sih yang baik itu dibandingkan ratusan kepala daerah lainnya di Indonesia? Apakah dari situ kita mau menyimpulkan bahwa Pilkada langsung memang superior dan jauh lebih baik daripada Pilkada tidak langsung?

Menang dengan Hati
Pilkada langsung, apakah semewah itu sampai harus benar-benar dipertahankan? Penyelenggaraan Pilkada langsung sebenarnya sangat mahal. Dan buang-buang kertas, kecuali rakyat Indonesia mau kertas votingnya menggunakan daun pisang hahaha.

Selain itu, kebobrokan pilkada langsung yang membuat saya jijik dari dulu adalah: sistem marketing.
Dalam pilkada langsung, para calon harus mampu merebut hati rakyat. Apalagi di tengah masyarakat postmodern ini, yang direbut secara harafiah benar-benar perasaan rakyat, bukan lagi logika rakyat. Rakyat memilih tidak lagi dengan pertimbangan rasional, tapi menggunakan insting dan perasaannya,
Dengan kenyataan demikian, untuk menghemat kampanye, untuk apakah calon tersebut mempromosikan program-programnya? Toh rakyat tidak terlalu peduli. Rakyat maunya calon yang dapat menyentuh hati mereka.

Dan hati yang tersentuh bisa diperoleh dengan senyum yang ramah. Hati dapat disentuh dengan kisah yang mengharu biru. Lihat saja, banyak kontes pemilihan idola yang dimenangi oleh para finalis yang memiliki kisah hidup serba sedih. Hati mudah simpati oleh orang yang unik, yang tampak beda, yang tampak terzalimi, yang tampak membumi, yang tampak membela rakyat, bahkan yang penampilannya tampak baik (dalam buku Psikologi Komunikasi karya Jalalludin Rahmat, salah satu aspek yang menimbulkan simpati seseorang adalah aspek atraksi personal, dan aspek atraksi personal ini salah satunya dipengaruhi oleh kecantikan atau ketampanan). Bahkan, bagi sebagian rakyat Indonesia, hati dapat disentuh oleh pribadi yang dermawan, yang mau berbagi, yang sayangnya, menurut KPU, kedermawanan ini disebut sebagai money politic.

Hati tidak dapat tersentuh dengan logika dan rasional dan konten pemikiran. Perhatikan saja debat cawapres kemarin. Banyak yang berpendapat bahwa Hatta Rajasa secara konten lebih unggul dalam debat dibandingkan Pak Jusuf Kalla. Tapi toh simpati sebagian besar rakyat tetap setia pada pasangan Jokowi-JK. Hehe.

Kalau kondisinya begini, tim pemenangan atau tim marketing calon tidak perlu repot-repot mengedukasi masyarakat tentang konten yang akan dibawa calon; yaitu analisis mengenai apa permasalahan bangsa ini, apa akar masalahnya, dan apa solusi yang ditawarkannya. Yang penting, desain bagus, citra sesuai yang diinginkan rakyat, dan sosok yang mengayomi.

Jadi, saya bisa ambil kesimpulan kasar bahwa hati rakyat disentuhnya dengan pencitraan dan orang yang menyosok. Tanpa bermaksud menyinggung, Jokowi sudah memiliki banyak pendukung bahkan sebelum dia mengajukan diri sebagai capres. Artinya, para “awwalun” pendukung tersebut mendukung karena sosoknya, tanpa perlu mengetahui konten apa yang akan dibawa Jokowi saat mencalonkan diri nanti.

Padahal, kalau pakai analisis yang logis, Jokowi kan sevisi dengan Bu Megawati. Bahkan Ibu Mega tidak berhasil maju lagi sebagai presiden pada tahun 2004 silam. Saya yakin, kalau kemarin yang maju sebagai pilpres dari PDI-P adalah Ibu Mega, pemilihnya tidak akan sebanyak Jokowi, meski mereka berada di bawah payung visi yang sama.

Bahkan, kelompok masyarakat sekelas mahasiswa ITB, yang katanya putra-putri terbaik bangsa dan terbiasa melakukan analisis dalam tugas-tugas kuliah, masih lebih melihat sosok daripada konten, alias lebih memakai perasaan daripada rasio. Kesimpulan ini saya ambil dengan sampling asal dan seadanya pada kasus pemilu calon ketua kabinet keluarga mahasiswa ITB pada tahun 2013 kemarin. Teman-teman di sekitar saya banyak yang memilih calon x karena sosoknya yang keren dan rupawan. Bahkan, ada pernyataan,”gue ga tau sih isu yang dia bawa, tapi gue milih dia abis keren sih.

Yang jelas, saya langsung berpendapat,”wah PR banget buat dia kalau sampai kepilih, soalnya dia dipilih oleh orang-orang yang secara umum tidak peduli tentang apa yang dia bawa.”


*
Padahal, tahu dari mana bahwa calon yang kita dukung benar-benar merakyat, baik, dan keren, seperti yang kita duga, selain dari media kampanye mereka? Namanya juga media kampanye, pasti iklannya yang bagus-bagus dong hehe.
Lagian, kata Rasul, kalau mau mengenal pribadi seseorang, kita harus tinggal tiga hari sama beliau.
*

Anggota Dewan yang Terhormat
Bagi saya, banyaknya protes yang dituai RUU Pilkada tidak langsung menunjukkan ketidakpercayaan rakyat pada wakil-wakilnya di kursi DPR. Padahal, RUU Pilkada tidak langsung ini, sebenarnya, sesuai-sesuai saja dengan sila terpanjang dari Pancasila. Bahkan lebih sesuai daripada Pilkada langsung yang menggunakan sistem voting.

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan

Teringat waktu SD, guru saya menjelaskan perbedaan demokrasi liberal dengan demokrasi Pancasila. Katanya, demokrasi liberal dijalankan dengan sistem voting alias suara terbanyak yang menang, sedangkan dalam demokrasi Pancasila, pengambilan keputusan dilakukan dengan musyawarah. Dalam musyawarah, yang menang adalah pendapat dengan argument yang terkuat, meskipun yang menyuarakan hanya sebagian kecil.

Ya mana bisa gak pakai sistem voting, orang rakyat Indonesia kan banyak, masa disuruh musyawarah buat nentuin Kepala Daerah?
Ya makanya ada DPR. Seperti kata pelajaran PPKn waktu SMA, sejarah dibentuknya perwakilan rakyat pada zaman Yunani dahulu disebabkan makin bertambahnya jumlah manusia sehingga pengambilan keputusan tidak lagi dapat melibatkan seluruh warga negara. 

(Tapi, katanya sih DPR kita sekarang pakai sistem voting, bukan musyawarah lagi.)

Meski demikian, saya, secara jujur dan subjektif, juga kurang percaya sih sama wakil saya. Hehe. Saya  agak beranggapan bahwa pencetusan RUU Pilkada tidak langsung ini berbau ‘mempertahankan kekuasaan’. Jadi, seperti orang banyak, ternyata saya sama halnya dengan kebanyakan orang, kurang percaya dengan wakil-wakil saya di DPR. Dan, dengan demikian, saya menyimpulkan bahwa akar permasalahannya sebenarnya ada pada DPRnya. Kalau kita semua percaya sama orang-orang yang kita pilih untuk duduk di kursi DPR, Pilkada tidak langsung tidak akan menjadi masalah lagi, kan?

Ngomong-ngomong, anggota DPR itu dipilih langsung oleh kita, loh. Lihat kan bahwa pemilihan langsung ternyata bisa menghasilkan orang-orang yang tidak kita percaya? Pemilihan langsung DPR ternyata menghasilkan UU yang ditentang sebagian besar rakyatnya; UU Pilkada tidak langsung.

Manusianya
Money politic dan kasus suap pilkada tidak akan terjadi kalau manusianya berakhlak. Pemilihan kepala daerah dengan tujuan mempertahankan kekuasaan golongan, memenangkan yang bayar, dan sebagainya, tidak akan terjadi kalau manusianya berakhlak. Pilkada langsung maupun tidak langsung akan sama-sama menghasilkan produk yang baik apabila manusia-manusianya berakhlak dan cerdas.

Jadi, akar permasalahan dari semua ini sebenarnya manusianya; pendidikan bagi manusianya. Sampai kapanpun, kalau permasalahan pendidikan tidak dibenahi, mau sistem langsung kek, tidak langsung kek, setengah langsung kek, ya sama saja lah hasilnya.

Sekedar informasi, Nabi Muhammad, Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khatab,  dan beberapa khalifah lainnya, ternyata tidak dipilih dengan sistem Pemilu langsung, loh. Memang deh, semua  tergantung manusianya.

Musikal

Mendengar adzan maghrib berkumandang, saya bergegas menutup semua program di laptop saya. Mirip burung, saya terpanggil untuk pulang ke sangkar saat senja beranjak. Mulai malam, mulai gelap, nanti saya mulai rabun berbahaya katanya.

Setelah membayar kopi yang terlalu kuat mengocok lambung saya, saya keluar dari kafe kecil itu dan mulai menunggu angkot di tepian Jalan Dago. Udara terasa sejuk menyenangkan. Teriknya matahari sudah berganti dengan semburat kemerahan di langit abu-abu Bandung. Anginnya berhembus sedap, tidak terlalu kencang, tapi cukup untuk menyegarkan pikiran.

Saya dicuekin dua angkot sampai akhirnya sebuah angkot yang sama bututnya menawarkan tumpangannya pada saya. Saya segera masuk dan duduk di pojok kanan depan. Di dalam angkot telah duduk dua orang remaja cantik, salah satunya merokok, yang sedang bergosip dengan suara melengking. Seorang laki-laki rapi, sepertinya beberapa tahun lebih tua dari saya, duduk di sudut kiri belakang. Pakaiannya monokrom; abu-abu dan hitam. Dia membawa sebuah gitar yang disenderkan di pahanya.

Saya terlalu asik menikmati udara Bandung, tak terganggu sama sekali dengan lengkingan gosip neng-neng geulis. Langit semakin pekat dengan biru tua. Lampu-lampu kendaraan, bangunan, dan lampu jalanan membuat suasana temaram syahdu. Mungkin di Lembang sana mulai penuh pengunjung yang menikmati lampu-lampu di sekitar saya ini dari ketinggian sana.

Di Simpang Dago, barudak geulis tadi turun dari angkot. Angkot ini melaju lagi dengan kecepatan santai. Langit semakin pekat dan cahaya terasa semakin kuning, hangat. Saya terhanyut dalam suasana, seolah Bandung bersenandung dalam dentingan gitar. Diiringi suara berat yang merdu, bernyanyi dalam akustik.

Dan ternyata, Bandung memang sedang bermusik. Laki-laki di ujung sana ternyata benar-benar sedang memainkan gitarnya dalam volume yang sungguh tepat. Nyanyinya juga merdu, suara bariton itu mengisi angkot ini. Saya agak terperangah sambil menahan diri untuk tidak menengok kepada laki-laki tadi.

Saya tersenyum sendiri di dalam angkot.

Lucunya hidup saya, menyenangkan sekali.

Di tengah temaram Bandung yang hangat dan udaranya yang sejuk, saya duduk di sini seperti seorang aktris dalam film. Soundtrack mengiringi perjalanan pulang. Semuanya terpadu dengan sempurna. Harmonis.

Saya tersenyum lebar.

Saya selalu ingin hidup dalam film musikal; tiba-tiba alunan musik terdengar, entah dari mana, mengiringi hidup sang aktris dengan melodi yang tepat.

Dan saya sudah merasakannya!


Yeay!

Tempaan Kasih Sayang

Ada sebersit rasa kecewa menggores hatinya. Faldi masih lesu tak bergerak di depan laptop bututnya. Matanya sedari tadi menelusuri daftar nama-nama calon mahasiswa yang mendapat beasiswa. Pencariannya untuk Muhammad Rifaldi: nihil. Padahal ini adalah harapan terakhirnya. Tiga beasiswa lainnya menolak Faldi mentah-mentah. Sebenarnya ada satu beasiswa yang menerimanya, tapi di jurusan teknik universitas lain.

Menguap sudah dari otaknya impian dan khayalan menjadi dokter.

***

Bang Adi duduk di sofa ruang tamu. Di hadapannya tergeletak secangkir teh panas, terlalu panas, hingga sepupu jauhnya ini enggan menyentuh cangkirnya.

“Eh, Bang Adi,”sapa Faldi, mencoba bersemangat demi sopan santun.

“Wa’alaikumsalam!”Bang Adi antusias langsung berdiri menyambut Faldi. Dia menjabat tangan Faldi sambil tersenyum sangat senang.

Disindir begitu, Faldi hanya tertawa,”menjawab salam hukumnya wajib ya, Bang. Tapi memberi salam kan nggak.”

“Hahaha, bisa saja kamu, Fal. Kamu biasakan memberi salam, lah. Kita kan sesama muslim.”

“Iya, Bang. Kapan-kapan,”Faldi menjawab asal sambil mempersilakan Bang Adi duduk kembali.

Bunda semalam menyampaikan Bang Adi akan datang hari ini. Bang Adi datang jauh-jauh dari Bandung ke Cirebon untuk survey tugas akhirnya. Setelah surveynya selesai, Bang Adi menyempatkan mengunjungi keluarga Faldi yang tinggal di tengah Kota Cirebon.

“Gimana kuliah? Sudah dapat?”

Luka Faldi yang belum kering seolah ditetesi air garam.

 “Sudah, Bang,”jawab Faldi sambil tersenyum getir,”di kampus Abang.”

“Waaaaaah, keren dong,”timpal Bang Adi sumringah. Bang Adi menepuk-nepuk pundak Faldi sambil tersenyum,”bangga banget sama adik sepupu Bang Adi yang satu ini.”

“Yah, keberuntungan saja, Bang. Hahaha.”

“Tapi kok gak jadi kedokteran? Bang Adi pikir kamu keterima di FK?”

“Iya, Bang, aku jadi malas sama kedokteran,”kata Faldi yang disambut tatapan kaget Bang Adi.
Faldi menghela nafas,”habis, suksesnya lama.”

Namun, kalimat keduanya bukanlah sebuah kebohongan. Faldi memang beberapa kali sudah diterpa kebimbangan akan impiannya menjadi dokter. Lima tahun kuliah, menjadi ko-as, merangkak dari bawah… Banyak yang bilang jadi dokter itu suksesnya lama. Meskipun Faldi bisa lihat jelas bahwa dokter-dokter tua selalu berlimpah uangnya, namun curam dan jauhnya pendakian menuju kesuksesan tersebut menjadi momok juga bagi Faldi. Setelah resmi ditolak beasiswa untuk melanjutkan studinya di bidang kedokteran, Faldi mulai meyakinkan dirinya bahwa kedokteran itu menyebalkan. Pelajarannya susah, ujiannya gila-gilaan, dan yang terpenting; suksesnya lama.

Mendengar jawaban Faldi, Bang Adi tersenyum dikulum. Dia melipat tangannya, dagunya mendongak, matanya memandang lurus ke depan, dan tatapannya tiba-tiba berbinar. Itu tatapan yang sering sekali Faldi lihat dari Bang Adi, dari mereka kecil hingga sekarang. Gestur itu selalu Bang Adi perankan dikala Faldi melontarkan istilah-istilah, kalimat, dan pendapatnya yang menurut Bang Adi, Faldi tidak mengetahui apapun tentangnya. Seluruh gerak tubuh Bang Adi seolah-olah mengucap,”ah tahu apa kamu. Kamu gak tahu apa-apa, Bang Adi tahu semua.

Melihat Bang Adi demikian, Faldi langsung menciut kesal. Dia mendengus,”ah, tuh kan Bang Adi pasti begini.”

Bang Adi tertawa melihat adik sepupunya memandangnya sebal. Lalu dia melanjutkan,”memangnya, sukses itu apa, Fal?”

Faldi tahu, Bang Adi pasti akan melontarkan pertanyaan yang membuatnya gelagapan. Pertanyaan yang tidak akan disangka-sangkanya, tapi memang benar perlu dipertanyakan. Faldi pun terdiam, memikirkan bagaimana sukses yang selama ini dia bayang-bayangkan, dia impi-impikan.

“Gimana hayo,”tuntut Bang Adi. Teh mendidihnya sudah berubah menjadi teh hangat. Bang Adi menyeruputnya pelan.

“Kaya, sih Bang,”jawab Faldi setelah jeda yang agak lama.

“Udah saya duga,”senyumnya merekah meremehkan. Lalu dengan cekatan, Bang Adi mencari sesuatu di smart phone-nya dan memberikannya pada Faldi,”baca ini deh, Fal.”

Surah Al-Baqarah: 247

Mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?” Nabi berkata: “Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.”

***

Bang Adi ini memang berbeda di antara sepupu-sepupu lainnya. Imannya mantap sekali dan pengetahuan akan agamanya pun melimpah. Tak hanya rajin sholat dan tadarus, tapi dia pun tahu banyak tentang hal-hal agama yang fundamental dan filosif, yang tidak semua orang tahu. Sementara sepupu-sepupu lainnya sama bejatnya dengan Faldi.

Waktu itu Faldi masih SMP kelas 2 dan Bang Adi sudah duduk di bangku kelas 3 SMA. Faldi menatap dahi Bang Adi yang semakin hitam. Tidak kuasa, Faldi melontarkan cie-cie yang membuat Bang Adi kesal.

“Cie Bang Adi rajin solat. Jejak sujudnya nempel bener, Bang.”

“Apaan sih,”ujar Bang Adi gusar,”jejak sujud itu bukan yang di dahi, tau. Jejak sujud itu karya nyata yang manfaatnya membekas di bumi, kayak Madinah; jejak sujud Rasul.”

Faldi saat itu tidak peduli,”yang penting jidatnya hitam,”dia menjulurkan lidahnya, lalu kabur meninggalkan Bang Adi yang gatal tangannya ingin menjitak Faldi.

***

Ruang tamu bergema dengan sebuah ayat Al-Quran. Namun, Faldi tidak mampu memahami maksud Bang Adi. Dia hanya memberi tatapan bertanya.

Sedang diapun tidak diberi kekayaan yang banyak,”ulang Bang Adi,”Allah sudah tahu ada orang-orang kayak kamu, Fal. Ada orang-orang yang berpikir bahwa kekuasaan bisa dicapai dengan kekayaan dan kesuksesan diukur dengan material.”

Faldi mulai paham arahnya.

“Allah sudah tahu ada kamu, Fal. Dan dari dulu pun memang manusia banyak yang berpikir seperti itu. Makanya Allah, dalam Kitab-Nya, menjawab, bahwa kesuksesan itu adalah ilmu yang luas. Tidak cukup itu, tubuh yang sehat juga sangat diperlukan supaya manusia bisa tetap kuat untuk bekerja keras mengamalkan ilmunya. Memangnya, jadi dokter itu cuma perlu belajar doang? Kalau badannya lemah, gak bakalan kuat dia begadang-begadang menangani pasien yang membutuhkan.”

Faldi mangut-mangut. Dia sendiri baru sadar bahwa selama ini dia mengukur kesuksesan dari uang, penghasilan, gaji, dan kemewahan hidup seseorang. Padahal, memang benar abangnya yang satu ini, memang benar kitab suci agamanya ini, bahwa kesuksesan itu adalah sebuah keberhasilan menggunakan ilmunya untuk kebermanfaatan. Toh, banyak di dunia ini orang kaya, yang diujung umurnya, merasa hidupnya tidak bernilai, tidak berguna, karena selama ini dia hanya terus memperkaya dirinya sendiri. Atau, lihatlah Angelina Jolie yang gila-gilaan melakukan pengabdian di Afrika, mengadopsi banyak anak untuk dihidupi. Itu adalah bukti nyata bahwa pada akhirnya manusia akan tetap merasa kosong apabila dia hanya terus mengisi dirinya sendiri. Kehampaan hati hanya dapat terobati jika manusia itu membagi manfaatnya kepada seisi dunia.

***

Tetap saja, kekecewaan itu membara dalam nadinya. Membakar semua kebaikan-kebaikan, yang mungkin hanya sedikit, namun ada di hati Faldi. Amarahnya entah ditumpahkan pada siapa. Dendamnya pun disalurkan kepada Allah.

Dia yang membuat Faldi miskin, dan Dia pula yang tidak memberinya beasiswa. Padahal, dengan jadi dokter, dia kan bisa memberi manfaat kepada orang lain, kenapa tidak Allah izinkan?

“Fal, lo gak dapat beasiswanya ya?”tanya Boy, temannya.

“Nggak,”jawab Faldi sambil membuka sepatunya. Mereka hendak berwudhu di masjid, Faldi memenuhi keinginan Boy untuk sholat berjamaah di masjid, padahal panas hatinya masih membuatnya malas beribadah.

“Sabar, bro.”

“Iya, Boy. Kurang miskin deh kayaknya gue. Gue bakar apa ya rumah gue?”

“Woy, ngaco, ucapan itu doa.”

Betul juga, ya. Hati Faldi bergetar takut,”eh iya, naudzubillah min zalik…”

“Bersyukur saja lah, udah bagus dapat beasiswa lain di universitas yang bagus juga, Fal. Gue masih belum dapat manapun.”

Faldi hanya diam. Sindiran Allah pun berlanjut dari mulut Boy menuju mulut imam sholat. Surah yang dibacakan pada rakaat pertama adalah Ar-Rahman.

Fabiayyi alaa irobbikumaa tukadzdzibaan 33 kali bergaung di langit-langit masjid. Perasaan Faldi jadi semakin kacau. Maka nikmat mana lagi yang saya dustakan? Luka di hatinya semakin besar. Kali ini oleh kekecewaannya pada diri sendiri.

Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?

***

Missed call dari Tanri, mantan ketua osis angkatannya, bertubi-tubi menyerang handphone-nya. Faldi segera menelponnya balik.

 “Faldi! Jadi mau kedokteran?”

Apa lagi sih ini?

“Kenapa emangnya, Tan?” Faldi balik bertanya.

“Beasiswa yang kemarin gak dapet ya Fal?”

“Nggak,”jawab Faldi gusar. Ini cewek ngomongnya santai amat, dasar gak sensitif.

“Donatur SMA kita datang, Fal! Katanya mau bayarin anak yang nggak dapat beasiswa tapi mau sekolah di kedokteran. Tinggal kamu aja nih calon anak kedokteran yang belum dapat beasiswa.”

Subhanallaah. Faldi langsung menghapus bayangan-bayangan akan kehidupan mewah di depannya. Luka hatinya seakan disiram air yang sangat sejuk. Ternyata penolakan beasiswanya, pertemuannya dengan Bang Adi, dan shalatnya bersama Boy, adalah suatu tempaan yang Allah sediakan untuk Faldi. Untuk Faldi meluruskan niatnya. Agar kuliahnya, gelarnya, dan dokternya, semua suci di mata Allah, dan menjadi suatu amal sholeh yang bisa Faldi persembahkan kepada Allah.


***