Ada sebersit rasa kecewa
menggores hatinya. Faldi masih lesu tak bergerak di depan laptop bututnya.
Matanya sedari tadi menelusuri daftar nama-nama calon mahasiswa yang mendapat
beasiswa. Pencariannya untuk Muhammad Rifaldi: nihil. Padahal ini adalah harapan
terakhirnya. Tiga beasiswa lainnya menolak Faldi mentah-mentah. Sebenarnya ada
satu beasiswa yang menerimanya, tapi di jurusan teknik universitas lain.
Menguap sudah dari otaknya impian
dan khayalan menjadi dokter.
***
Bang Adi duduk di sofa ruang tamu.
Di hadapannya tergeletak secangkir teh panas, terlalu panas, hingga sepupu
jauhnya ini enggan menyentuh cangkirnya.
“Eh, Bang Adi,”sapa Faldi,
mencoba bersemangat demi sopan santun.
“Wa’alaikumsalam!”Bang Adi
antusias langsung berdiri menyambut Faldi. Dia menjabat tangan Faldi sambil
tersenyum sangat senang.
Disindir begitu, Faldi hanya
tertawa,”menjawab salam hukumnya wajib ya, Bang. Tapi memberi salam kan nggak.”
“Hahaha, bisa saja kamu, Fal.
Kamu biasakan memberi salam, lah. Kita kan sesama muslim.”
“Iya, Bang. Kapan-kapan,”Faldi
menjawab asal sambil mempersilakan Bang Adi duduk kembali.
Bunda semalam menyampaikan Bang
Adi akan datang hari ini. Bang Adi datang jauh-jauh dari Bandung ke Cirebon
untuk survey tugas akhirnya. Setelah surveynya selesai, Bang Adi menyempatkan mengunjungi
keluarga Faldi yang tinggal di tengah Kota Cirebon.
“Gimana kuliah? Sudah dapat?”
Luka Faldi yang belum kering
seolah ditetesi air garam.
“Sudah, Bang,”jawab Faldi sambil tersenyum
getir,”di kampus Abang.”
“Waaaaaah, keren dong,”timpal
Bang Adi sumringah. Bang Adi menepuk-nepuk pundak Faldi sambil
tersenyum,”bangga banget sama adik sepupu Bang Adi yang satu ini.”
“Yah, keberuntungan saja, Bang.
Hahaha.”
“Tapi kok gak jadi kedokteran?
Bang Adi pikir kamu keterima di FK?”
“Iya, Bang, aku jadi malas sama
kedokteran,”kata Faldi yang disambut tatapan kaget Bang Adi.
Faldi menghela nafas,”habis,
suksesnya lama.”
Namun, kalimat keduanya bukanlah
sebuah kebohongan. Faldi memang beberapa kali sudah diterpa kebimbangan akan
impiannya menjadi dokter. Lima tahun kuliah, menjadi ko-as, merangkak dari
bawah… Banyak yang bilang jadi dokter itu suksesnya lama. Meskipun Faldi bisa
lihat jelas bahwa dokter-dokter tua selalu berlimpah uangnya, namun curam dan
jauhnya pendakian menuju kesuksesan tersebut menjadi momok juga bagi Faldi.
Setelah resmi ditolak beasiswa untuk melanjutkan studinya di bidang kedokteran,
Faldi mulai meyakinkan dirinya bahwa kedokteran itu menyebalkan. Pelajarannya
susah, ujiannya gila-gilaan, dan yang terpenting; suksesnya lama.
Mendengar jawaban Faldi, Bang Adi
tersenyum dikulum. Dia melipat tangannya, dagunya mendongak, matanya memandang
lurus ke depan, dan tatapannya tiba-tiba berbinar. Itu tatapan yang sering
sekali Faldi lihat dari Bang Adi, dari mereka kecil hingga sekarang. Gestur itu
selalu Bang Adi perankan dikala Faldi melontarkan istilah-istilah, kalimat, dan
pendapatnya yang menurut Bang Adi,
Faldi tidak mengetahui apapun tentangnya. Seluruh gerak tubuh Bang Adi
seolah-olah mengucap,”ah tahu apa kamu.
Kamu gak tahu apa-apa, Bang Adi tahu semua.”
Melihat Bang Adi demikian, Faldi
langsung menciut kesal. Dia mendengus,”ah, tuh kan Bang Adi pasti begini.”
Bang Adi tertawa melihat adik
sepupunya memandangnya sebal. Lalu dia melanjutkan,”memangnya, sukses itu apa,
Fal?”
Faldi tahu, Bang Adi pasti akan
melontarkan pertanyaan yang membuatnya gelagapan. Pertanyaan yang tidak akan
disangka-sangkanya, tapi memang benar perlu dipertanyakan. Faldi pun terdiam,
memikirkan bagaimana sukses yang selama ini dia bayang-bayangkan, dia
impi-impikan.
“Gimana hayo,”tuntut Bang Adi.
Teh mendidihnya sudah berubah menjadi teh hangat. Bang Adi menyeruputnya pelan.
“Kaya, sih Bang,”jawab Faldi
setelah jeda yang agak lama.
“Udah saya duga,”senyumnya merekah
meremehkan. Lalu dengan cekatan, Bang Adi mencari sesuatu di smart phone-nya dan memberikannya pada
Faldi,”baca ini deh, Fal.”
Surah Al-Baqarah: 247
Mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih
berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi
kekayaan yang cukup banyak?” Nabi berkata: “Sesungguhnya Allah telah memilih
rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.”
***
Bang Adi ini memang berbeda di
antara sepupu-sepupu lainnya. Imannya mantap sekali dan pengetahuan akan
agamanya pun melimpah. Tak hanya rajin sholat dan tadarus, tapi dia pun tahu
banyak tentang hal-hal agama yang fundamental dan filosif, yang tidak semua
orang tahu. Sementara sepupu-sepupu lainnya sama bejatnya dengan Faldi.
Waktu itu Faldi masih SMP kelas 2
dan Bang Adi sudah duduk di bangku kelas 3 SMA. Faldi menatap dahi Bang Adi
yang semakin hitam. Tidak kuasa, Faldi melontarkan cie-cie yang membuat Bang
Adi kesal.
“Cie Bang Adi rajin solat. Jejak
sujudnya nempel bener, Bang.”
“Apaan sih,”ujar Bang Adi
gusar,”jejak sujud itu bukan yang di dahi, tau. Jejak sujud itu karya nyata
yang manfaatnya membekas di bumi, kayak Madinah; jejak sujud Rasul.”
Faldi saat itu tidak peduli,”yang
penting jidatnya hitam,”dia menjulurkan lidahnya, lalu kabur meninggalkan Bang
Adi yang gatal tangannya ingin menjitak Faldi.
***
Ruang tamu bergema dengan sebuah
ayat Al-Quran. Namun, Faldi tidak mampu memahami maksud Bang Adi. Dia hanya
memberi tatapan bertanya.
“Sedang diapun tidak diberi kekayaan yang banyak,”ulang Bang
Adi,”Allah sudah tahu ada orang-orang kayak kamu, Fal. Ada orang-orang yang
berpikir bahwa kekuasaan bisa dicapai dengan kekayaan dan kesuksesan diukur
dengan material.”
Faldi mulai paham arahnya.
“Allah sudah tahu ada kamu, Fal.
Dan dari dulu pun memang manusia banyak yang berpikir seperti itu. Makanya
Allah, dalam Kitab-Nya, menjawab, bahwa kesuksesan itu adalah ilmu yang luas.
Tidak cukup itu, tubuh yang sehat juga sangat diperlukan supaya manusia bisa tetap
kuat untuk bekerja keras mengamalkan ilmunya. Memangnya, jadi dokter itu cuma
perlu belajar doang? Kalau badannya lemah, gak bakalan kuat dia
begadang-begadang menangani pasien yang membutuhkan.”
Faldi mangut-mangut. Dia sendiri
baru sadar bahwa selama ini dia mengukur kesuksesan dari uang, penghasilan,
gaji, dan kemewahan hidup seseorang. Padahal, memang benar abangnya yang satu
ini, memang benar kitab suci agamanya ini, bahwa kesuksesan itu adalah sebuah
keberhasilan menggunakan ilmunya untuk kebermanfaatan. Toh, banyak di dunia ini
orang kaya, yang diujung umurnya, merasa hidupnya tidak bernilai, tidak
berguna, karena selama ini dia hanya terus memperkaya dirinya sendiri. Atau,
lihatlah Angelina Jolie yang gila-gilaan melakukan pengabdian di Afrika,
mengadopsi banyak anak untuk dihidupi. Itu adalah bukti nyata bahwa pada
akhirnya manusia akan tetap merasa kosong apabila dia hanya terus mengisi
dirinya sendiri. Kehampaan hati hanya dapat terobati jika manusia itu membagi
manfaatnya kepada seisi dunia.
***
Tetap saja, kekecewaan itu
membara dalam nadinya. Membakar semua kebaikan-kebaikan, yang mungkin hanya
sedikit, namun ada di hati Faldi. Amarahnya entah ditumpahkan pada siapa.
Dendamnya pun disalurkan kepada Allah.
Dia yang membuat Faldi miskin,
dan Dia pula yang tidak memberinya beasiswa. Padahal, dengan jadi dokter, dia
kan bisa memberi manfaat kepada orang lain, kenapa tidak Allah izinkan?
“Fal, lo gak dapat beasiswanya
ya?”tanya Boy, temannya.
“Nggak,”jawab Faldi sambil
membuka sepatunya. Mereka hendak berwudhu di masjid, Faldi memenuhi keinginan
Boy untuk sholat berjamaah di masjid, padahal panas hatinya masih membuatnya
malas beribadah.
“Sabar, bro.”
“Iya, Boy. Kurang miskin deh
kayaknya gue. Gue bakar apa ya rumah gue?”
“Woy, ngaco, ucapan itu doa.”
Betul juga, ya. Hati Faldi
bergetar takut,”eh iya, naudzubillah min
zalik…”
“Bersyukur saja lah, udah bagus
dapat beasiswa lain di universitas yang bagus juga, Fal. Gue masih belum dapat
manapun.”
Faldi hanya diam. Sindiran Allah
pun berlanjut dari mulut Boy menuju mulut imam sholat. Surah yang dibacakan
pada rakaat pertama adalah Ar-Rahman.
Fabiayyi alaa irobbikumaa tukadzdzibaan 33 kali bergaung di
langit-langit masjid. Perasaan Faldi jadi semakin kacau. Maka nikmat mana lagi
yang saya dustakan? Luka di hatinya semakin besar. Kali ini oleh kekecewaannya
pada diri sendiri.
Maka nikmat Tuhan kamu yang
manakah yang kamu dustakan?
***
Missed call dari Tanri, mantan ketua osis angkatannya, bertubi-tubi
menyerang handphone-nya. Faldi segera
menelponnya balik.
“Faldi! Jadi mau kedokteran?”
Apa lagi sih ini?
“Kenapa emangnya, Tan?” Faldi balik
bertanya.
“Beasiswa yang kemarin gak dapet
ya Fal?”
“Nggak,”jawab Faldi gusar. Ini
cewek ngomongnya santai amat, dasar gak
sensitif.
“Donatur SMA kita datang, Fal!
Katanya mau bayarin anak yang nggak dapat beasiswa tapi mau sekolah di
kedokteran. Tinggal kamu aja nih calon anak kedokteran yang belum dapat
beasiswa.”
Subhanallaah. Faldi langsung menghapus bayangan-bayangan akan
kehidupan mewah di depannya. Luka hatinya seakan disiram air yang sangat sejuk.
Ternyata penolakan beasiswanya, pertemuannya dengan Bang Adi, dan shalatnya
bersama Boy, adalah suatu tempaan yang Allah sediakan untuk Faldi. Untuk Faldi
meluruskan niatnya. Agar kuliahnya, gelarnya, dan dokternya, semua suci di mata
Allah, dan menjadi suatu amal sholeh yang bisa Faldi persembahkan kepada Allah.
***
0 comments:
Post a Comment