Benang Merah di Danone

Jumat kemarin, FOODLAP diundang oleh Danone Young Social Entrepreneur untuk sharing mengenai entrepreneur. Tentu saja itu pengalaman menarik yang bisa diceritakan, tapi di lain waktu. Karena, ada hal menarik lainnya yang saya alami secara personal: terlalu banyak benang merah.

Jadi, orang yang secara personal mengontak FOODLAP namanya Aldi. Dia menyambut kami saat kami tiba di sana, setelah agak sedikit berpeluh-peluh ria di jalanan ibukota. Perkenalan singkat membuat saya menemukan benang merah pertama. Dia anak TI ITB, juga. Setelah tergali lebih dalam lagi, ternyata dia temannya Yoan di 8eh, dan beberapa kali pernah mengantar Yoan ke kosan kami. Setelah sekian tahun berjarak beberapa meter dia di depan pagar kosan dari saya di kamar, ternyata pertemuan kami mengambil tempat di kantor Danone.

Orang kedua yang menyambut kami adalah seorang perempuan muda dengan baju berwarna biru muda. Hidungnya mancung, kulitnya putih, bibirnya tipis, dan menurut saya dia mirip sekali dengan Clorinda, teman saya. Dan ternyata, dia, Adis namanya, angkatan 2009 Fakultas Hukum UI. Dia temannya Jeanne dan dia kenal kakak saya ._.

Di tengah presentasi FOODLAP, muncul lagi satu laki-laki muda berbadan besar dan gelap. Ketika melihat wajahnya, saya langsung tahu dia siapa. Usai presentasi, saya langsung mendatanginya yang baru saja beres berbincang via telepon. Dia langsung menunjuk muka saya,"Elo!" sapanya. Sungguh sapaan yang aneh. Haha.

"Abi ya, pacarnya Atoy?" Saya mencoba menyebut nama.

"Elo," katanya lagi,"kayaknya nama panggilan lo biasanya bukan Anka, deh?"

Haha. Saya tidak menjawab.

***

Selain tiga pertemuan tadi, sebenarnya ada sebuah quote yang ingin saya kutip di sini. Kata-kata ini meluncur keluar dari mulut Adis, dan saya kemarin berjanji padanya,"kalau gue punya novel, gue kayaknya mau ngutip kata-kata lo deh."

Waktu itu kami sedang membicarakan abang ojek. Tiba-tiba, dengan berapi-api, Adis mengomel,"gue paling sebel ya sama abang ojek Jakarta. Pertama, mereka suka godain cewek. Neng, neng, ojek, neng. Kedua, kalau gue datengin, gue udah mau nih sama lo, eh dia malah jual mahal! Mending gue jalan kaki."

Saat dia ngomong begitu, rasanya lucu banget. Tapi pas ditulis kok biasa aja ya? Haha.

Kenapa Megapolitan?

Saya masih ingat film-film masa depan yang menggambarkan kehancuran dunia. Bumi sudah tidak mampu menopang kehidupan manusia. Demi uang, manusia-manusia pendahulunya membiarkan teknologi menghabisi alam, limbah kimia meracuninya, asap pabrik mengotorinya. Oksigen sudah seperti barang langka, air bersih perlu dicari dengan perjuangan.

Saya ingat, pada film-film itu, manusia digambarkan memakai masker setiap mereka pergi. Mereka mempunyai bunker bawah tanah di setiap rumahnya, khawatir bencana alam datang tiba-tiba menghabisi mereka. Pemerintah pun disibukkan dengan penelitian antariksa, mencoba mencari sebuah 'bumi' lain di antara kelip bintang di langit malam.

***
Rasanya kita sudah mulai menjajaki beberapa tahun sebelum film itu dimulai. Orang-orang bermasker, kini bukan khayalan lagi. Di ibukota Indonesia, udaranya seperti asap mobil. Hitam dan mengepul, membuat rakyatnya sesak napas.

sumber: http://cdn-media.viva.id/thumbs2/2011/08/08/119190_masker-polusi-udara_663_382.jpg

Jakarta, bagi saya, bukan lagi kota idaman. Kalau orang-orang lingkungan berkata 'Jakarta bukan kota yang sustainable', saya berpendapat bahwa Jakarta ini ibaratnya manusia pesakit.

Secara mudah, saya mendeskripsikan sustainability sebagai sebuah keadaan di mana kita bisa hidup selamanya. Tepatnya, bumi bisa hidup selamanya. Dan kehidupan itu bukan kehidupan yang artifisial, yaitu sebuah kehidupan di mana alat pembantulah yang menjadi nyawa.

Manusia yang sedang diberi cobaan dengan penyakit, yang kini hidup mereka bergantung pada alat, bagi saya itulah contoh kecil kehidupan yang tidak lagi sustainable. Dan Jakarta wujudnya kini seperti itu.

Seperti mereka yang butuh asupan oksigen untuk bernafas, Jakarta tidak bisa hidup bila tidak dipasok hasil pertanian dan peternakan dari daerah lain di Indonesia. Seperti mereka yang butuh alat demi jantung yang berdetak, rakyat Jakarta tidak bisa menjalani hari tanpa bantuan kendaraan. Semua sisi kota seperti dirancang hanya untuk automobile. Tidak pernah tampak jalur pedestrian yang pantas bagi para pejalan kaki.

Saya tidak pernah melihat arah pembangunan Jakarta menuju megapolitan ini berpihak kepada kehidupan yang baik. Dan masih ada tujuh daerah lainnya di Indonesia yang akan dikembangkan menjadi megapolitan. Parameter pembangunan hanya didasarkan pada satu ukuran dangkal: ekonomi, rupiah, uang.
***
Secara khusus, saya tidak pernah rela bahwa Bandung ini sedang dikembangkan menjadi megapolitan. Tapi secara umum, saya benar-benar setuju dengan peribahasa anonim ini.
"Ketika pohon terakhir telah ditebang, sungai terakhir telah tercemar, dan ikan terakhir telah ditangkap, barulah manusia sadar bahwa mereka tidak bisa memakan uang."

25,5 Jam di Al Umanaa

Akhirnya saya berhasil membawa teman-teman FOODLAP untuk ikut serta mengunjungi Al Umanaa. Kisah-kisah dari Al Umanaa sudah cukup sering saya dengar dari teman saya yang bermukim di sana, Mahdi. Dia pernah berbagi pada saya tentang konsep perencanaannya di sana, bagaimana dia sebagai seorang lulusan planologi akhirnya mulai merancang peradaban dari kanvas kosong. Menurut saya pengalaman dan kesempatannya sangat menarik, jarang lulusan S1 sekarang dapat kesempatan untuk memulai lukisannya sendiri di kanvas yang masih bersih.
Mahdi juga sering bercerita tentang murid-murid, alias santri-santri, di sana. Bagaimana prestasinya memukau dan bagaimana guru-gurunya juga totalitas berjuang untuk mengembangkan pribadi setiap siswanya. Dan prestasi itu saya lihat sendiri buktinya kurang lebih setahun yang lalu, ketika saya mengunjungi ‘embrio’ Al Umanaa di Cibinong.
Bermodalkan sepetak tanah kecil dan bangunan-bangunan kayu yang adem dan kokoh, para guru di sana mendidik anak-anaknya. Ketika saya berkunjung ke Cibinong, anak-anak menyuguhkan berbagai pertunjukan, yaitu drama, pidato, story telling, dan membaca puisi dalam berbagai bahasa, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, dan Bahasa Jepang. Begitu fasihnya mereka . Namun, kekaguman saya tidak hanya muncul dari banyaknya bahasa yang mereka gunakan. Lebih dari itu.
Dibandingkan dengan anak-anak SD dan SMP lainnya, mereka sungguh berbeda. Kalau anak-anak di luar sana membaca puisi dengan tampang datar dan tubuh kaku seperti batang pohon pisang (itu saya dulu begitu, sih), mereka semua memiliki kualitas public speaking yang luar biasa. Benar-benar di luar yang biasa.
Mereka mampu berekspresi tanpa malu-malu kucing. Mereka mampu memainkan ekspresi tubuhnya dengan kepercayaan diri yang keren. Mereka memainkan intonasi nadanya dengan tepat, mampu membuat orang tertawa mendengar humornya yang berkelas, dan di saat lain, mampu membakar semangat pendengarnya. Sepanjang pertunjukan, saya hanya bisa terpana melihat mereka yang berkembang demikian pesatnya, sangat signifikan berbeda dengan anak-anak pada umumnya.
***
Itu, saya sadari, hanyalah sebagian kecil dari seluruh kualitas siswa-siswa Al Umanaa ini. Yang mereka ‘pamerkan’ kala itu hanyalah kemampuan mereka dalam public speaking. Saya sungguh penasaran untuk bisa membuka lembaran-lembaran emas lainnya dari kehidupan mereka.
Akhirnya, tanggal 3 dan 4 April 2014, saya bersama Eva, Ridho, Rani, dan Rizan diberi kesempatan untuk bertandang ke sana. Kembali, kami disuguhkan pula berbagai penampilan dari para santri. Meski sudah pernah melihatnya, tapi pesona mereka tetap menyita perhatian saya. Namun, yang berbeda, kami mendapat waktu untuk mengenal Al Umanaa dan para muridnya dengan lebih dalam.
Kesantunan mereka sungguh terasa selama saya banyak berinteraksi dengan mereka. Dan mereka bukan hanya anak-anak pemalas yang mau main-main. Mereka ‘geregetan’ ingin terus berkarya dan belajar. Kalau ada lomba, bukannya malas dan menghindar, mereka justru berinisiatif untuk ikut berpartisipasi.
Program bahasanya juga sangat keren. Berganti-gantian setiap minggu, Bahasa Arab, Inggris, dan Jepang digilir untuk menjadi bahasa pengantar dan percakapan sehari-hari siswa. Selama 7 kali 24 jam, siswa hanya boleh berbicara dalam bahasa yang diizinkan.
Kalau melanggar? Bukan guru yang turun tangan, tapi di antara siswa-siswa itu sendiri pun ada sistem penjagaannya. Siswa yang melanggar akan disidang oleh teman-temannya sendiri, sambil dibimbing oleh para guru. Terdengar sepele dan remeh, tapi kebiasaan-kebiasaan seperti ini menimbulkan komunitas yang saling menjaga dalam kebaikan.
Para siswa sudah diajarkan untuk menegakkan aturan dan berani menegur temannya sendiri yang berbuat salah. Hal ini lah yang absen dari kehidupan anak-anak biasa. Melihat teman mencontek itu sudah biasa, kalau berani melaporkan itu adalah melanggar etika. Di tempat lain, seolah menjadi aturan tidak tertulis bahwa para siswa harus saling lindung-melindungi dalam contek-mencontek. Orang yang melaporkan kasus pencontekan, biasanya akan dijauhi dan dianggap ‘sok suci’. Seperti yang sering disampaikan oleh iklan layanan masyarakat, hal-hal seperti ini adalah bibit dari persekongkolan dalam hal yang lebih buruk: lindung-melindungi dalam korupsi.
***
Mahdi juga berbaik hati mengantarkan kami berkeliling Al Umanaa, memperlihatkan bangunan-bangunan yang telah ada sekaligus menceritakan bagaimana perencanaannya. Al Umanaa sunguh terasa asri, kami beberapa kali disuguhkan buah-buahan yang dipetik langsung dari sana, mulai dari durian, rambutan, manggis, pisang, sampai kelapa. Sempat saya, Eva, dan Rani duduk-duduk menikmati udara sore Sukabumi di gasibu yang beratapkan rambatan pohon markisa.
Di sana ada sebuah tanah lapang yang menjadi benang merah Al Umanaa dan FOODLAP. Tanah itu dimanfaatkan Al Umanaa sebagai laboraturium integrated farming, sebuah closed loop system yang utuh dan alami. Dimulai dari pintu dapur yang sering menggelontorkan sampah-sampah makanan, diikuti dengan kolam lele, kandang ayam, kandang lebah, kandang soang, dan… black soldier fly! Memang, sejak FOODLAP bertemu dengan black soldier fly, saya beberapa kali mendisksuikannya tentang itu dengan Mahdi. Sudah saya duga, Al Umanaa akan mendahului kami memulai pengolahan sampah kecil dengan BSF. Mereka sudah memiliki tiga reaktor pengolahan kecil, yang semuanya diurus oleh para santri.
***

Terlalu banyak pengalaman, penglihatan, dan percakapan menarik selama 25,5 jam di Al Umanaa. Masih banyak yang ingin saya ceritakan, tapi baterai laptop saya sudah tanda seru!

Mantan Peliharaan

Selama hidup saya ini, saya seringkali menemukan kecintaan pada binatang-binatang tertentu. Peliharaan yang pertama-tama saya punya adalah dua ekor kura-kura. Sebenarnya satu sih, yang satu untuk kakak saya, satu lagi untuk saya. Katanya, itu hadiah hiburan dari eyang saya saat kami berdua ditinggal pergi beberapa bulan oleh Ibu saya untuk S2. Yang (katanya) betina, mati dengan cepat. Saya lupa apa yang terjadi, waktu itu saya masih super kecil. Kalau tidak salah kelindas mobil, hiks. Yang kedua punya banyak kenangan dengan saya.

Sedari dia - saya sering menyebutnya sebagai kurce - kecil, kurce terbiasa hidup di air yang cetek. Habitatnya adalah sebuah bak berwarna oranye yang dibasahi air setinggi 1-2 cm. Makanannya sawi. Kotorannya cair dan bau sawi busuk. Tapi saya, saking terbiasanya dengan aroma itu, jadi suka-suka saja kalau ada bau-bauan sawi busuk :p

Ketika saya sudah agak besar, sekitar akhir SD atau awal SMP, saya punya akuarium besar yang menganggur. Kala itu, saya menonton di televisi sebuah kisah dokumenter tentang kura-kura. Ternyata, amboi, kura-kura itu bisa berenang, lho *ceritanya baru tahu* Bermodalkan tontonan televisi dan aquarium menganggur, saya buatkan kurce sebuah habitat baru, yaitu aquarium berisi air *yaelah standar amat*

Tapi! Kura-kura saya tidak bisa berenang :( saking dari kecilnya dia hidup di air yang cetek.

Akhirnya, saya latihlah dia berenang. Saya ikat badannya dengan tali, lalu saya celupkan ke dalam air.

Tentu saja dia panik. Hehe. Setiap kali dia panik, saya angkat lagi dia untuk menghirup nafas di udara. Kemudian kembali saya celupkan dan saya bawa ke sana kemari di dalam air.

Dan, setelah melalui kurikulum yang begitu ketat, akhirnya dia sukses menjadi kura-kura sejati :)))

Ketika saya SMP, dibuat sebuah kolam ikan kecil di belakang rumah. Dia pun bisa berenang dengan senang di sana. Yeay. Saya merasa menjadi guru yang sukses.

Tapi kisah Kurce juga berakhir sedih. Saat saya kuliah, Bapak saya memindahkan dia ke kolam di kantornya. Entah tidak bisa beradaptasi atau dibully hewan lain, dia pun meninggal di situ.

Sedih sih sebenarnya.

Tapi, ya sudah. Mari jangan diingat-ingat.

Pedas, silau

Pedas, rasanya
Semua terlihat menyilaukan
Kututup dia
Mencoba menikmati gelap
Dan dia terlarut dalam hitam
Yang kemudian bercampur
Dengan cahaya redup berwarna-warni
Sungguh enak dipandang
Dan aku melayang
Di antara awan-awan lembut
Ungu, biru, dan hijau

!!!

Aku membuka mataku dengan terkejut
Hampir jatuh dalam mimpi rupanya
Lampu kembali menyilaukan
Mataku kembali pedas

Huah,
Ngantuk.

Pohon Bentuk H

Jalan menuju perumahanku adalah jalan sempit yang diapit komplek pemakaman cina kuno. Kuburan dibangun sangat antik, begitu besar, beratap batu, bertuliskan tulisan mandarin, dan dipenuhi ilalang liar. Seandainya aku bukan penghuni sana, mungkin situs ini bisa menjadi tempat wisata yang menarik.

Selain pemakamannya yang lawas itu, ada sebuah hal unik tumbuh di dalamnya. Hal unik itu adalah dua buah pohon. Ada dua pohon di sana berdiri bersebelahan. Yang kerennya, kedua pohon tersebut sebenarnya bersatu! Di antara batangnya yang besar, terdapat sebuah batang besar yang menyatukan kedua pohon itu. Seperti bayi kembar siam.

Kalau dilihat-lihat, pohonnya seperti membentuk huruf H.

Tapi sayang, ketika saya sudah agak dewasa, sekitar SMA atau kuliah, hujan deras dan angin keras melanda komplek kami. Pohon yang sebelah kiri tidak mampu mempertahankan diri sehingga tumbanglah ia, mematahkan sambungan hebat di antara mereka.

Sekarang, dua pohon itu sudah tiada. Warga sekitar memutuskan untuk menghabisi mereka berdua setelah tumbang satu di antaranya.

Jangan setengah lah

Di mana-mana, pekerjaan yang setengah-setengah tidak bakalan sama sekali membuahkan hasil yang oke.

Hasilnya pasti serba tanggung; investasi  atau biaya mungkin lumayan, tapi hasilnya bagus mah ngga. Nanggung kumaha kitu.

Makanya saya, dan kebanyakan orang, kalau memilih di antara produk serupa, tapi ada yang lebih mahal namun berfitur lebih juga, pasti menimbang-nimbang keduanya. Lebih mahal dikit, asal kualitasnya jauh sih gak masalah.

Namun, ada sebuah hal besar, yang sangat krusial, di dunia ini yang dijalankan setengah-setengah. Setengah hati. Istilah inggrisnya: half-assed. Dan hal krusial besar itu adalah: transportasi Indonesia.

Kalau saya mau menciptakan sistem - sistem pasti punya aturan, kan - pasti saya desain sistemnya dengan pengendalian, untuk menjamin semua aturan terlaksana.

Sayangnya, kalau di sini:
Peraturan ada
Rambu-rambu dan marka jalan ada (investasi buat begini gede, lho)

Tapi pengendaliannya...

Aturan-aturan itu tidak ditegakkan dengan utuh. Hanya setengah-setengah dari seluruh sistem itu yang ditegakkan.

Bahkan si penegak-penegak aturan itu yang juga melanggarnya. Mereka pernah menyuruh saya menyeberang tidak di zebra cross. Dan di depan mobil saya, mereka menampakkan telapak tangannya di hadapan saya (tahu kan, kekuatan super orang Indonesia kan ada di telapak tangannya. Bisa berhentiin mobil dengan sekali lambaian. Wkwk), lalu menyeberangkan banyak orang di tengah-tengah jalan tak berzebra cross.

Ngapain sih setengah-setengah.
Lihat kan, hasilnya sekarang transport Indonesia ga ada bagus-bagusnya.

Tulisan yang Termudah

Hal yang paling mudah untuk ditulis tentangnya adalah tentang rasa saat ini dan tentang suasana saat ini.

Hari ini langit begitu mendung, awan berpendar-pendar dalam cahaya matahari. Udara pun terasa agak dingin. Absennya matahari dan kehangatan, membuat saya teringat pada maggot-maggot dan lalat tentara hitam yang sedang FOODLAP kembang biakkan di kosan Rizan. Mereka sepertinya salah satu di antara makhluk-makhluk yang butuh kehangatan. Sejuknya hari ini membuat saya khawatir akan perkembangannya.

Dan akhirnya pun saya menulis di pagi hari, meluapkan pikiran-pikiran lewat tulisan. Sudah dua hari saya absen menulis - sayang sekali. Kemarin-kemarin, menulis terasa berat karena saya selalu memaksa diri saya menuangkan perkataan-perkataan yang berat pula; tulisan dengan topik-topik berbobot. Masalahnya, tidak setiap hari saya mood untuk menulis yang seperti itu.

Tapi justru mood itulah yang harus dibabat.

Harusnya menulis bisa menjadi bagian yang tidak dapat dilepaskan dari hidup saya. Dan harusnya, juga, menulis menjadi suatu kegiatan yang begitu mudahnya saya lakukan, seperti bernafas, menggerakkan otot jantung, mengkontraksikan otot lambung~

Jadi lah, hari ini saya menulis tulisan yang termudah.

Hobi adalah Cinta

Hobi seharusnya menjadi sebuah kegiatan yang menyenangkan. Hobi seharusnya tidak menyita terlalu banyak pikiran, tidak membebani perasaan, dan tidak berat untuk dimulai.
Dulu, kayaknya sekitar masa-masa tingkat dua, hidup saya seakan-akan ditemani seorang narator yang siap berkomentar pada apapun yang indra saya rasakan. Langit yang biru, atau bahkan sekedar batu yang codet, bisa menjadi sebuah paragraf oleh narator saya itu. Dalam setiap perjalanan saya, otak saya selalu bercerita. Lalu, ketika saya sudah duduk tenang di meja, segeralah mengalir narator tadi menjadi ketikan di monitor laptop.
Nah, kalau sekarang? Tidak jarang muncul perasaan malas dan terbebani untuk menulis. Kenapa ya? Apakah karena menulis kini bukan sekedar hobi, tapi menjadi kewajiban? Memangnya kenapa kalau jadi kewajiban? Kenapa malah merasa berat? Harusnya bagus dong hobi jadi kewajiban berarti itu adalah kewajiban yang menyenangkan...
Padahal, kalau ditilik secara etimologis, ternyata hobi itu berasal dari kata haba , atau hub (حب) dalam Bahasa Arab. Dan haba sendiri sebenarnya berarti cinta.   Makanya ada kata-kata 'Habibi' yang aritnya kekasih. Jadi, kalau saya hobi menulis harusnya cinta menulis. Dan sebaliknya, kalau saya berani bilang cinta sama Tuhan, harusnya saya hobi melakukan hal-hal yang membuat Dia senang.
Entahlah.
Yang jelas hari ini saya sudah menulis, menunaikan kewajiban saya pada janji saya sendiri: menulis setiap hari selama berumur 23 tahun.

Malaikat

Tak pernah kulihat
Datangnya ia dari langit
Namun seketika muncullah
Di sampingku, membawa pelita
Bagi kalbuku yang merindu

Tidak,
Tiada sayapnya
Tiada pula memancar cahaya
Hanya senyum yang menyenangkan
Dan kata-kata yang menenangkan
Mengiring sepercik hujan
Bagi hatiku yang gersang

Dan ia pun bercerita
Kisah-kisah yang lalu
Kisahnya yang penuh ilham
Buatku tertegun membayang
Dan ku semakin jatuh cinta

Artifisial

Dia melangkahkan kakinya dalam tempo yang pelan. Dia terus berjalan, terus melangkah, terus, terus, dan dia tetap melangkah lambat.

Dia melangkah, tanpa maju, mundur pun tidak. Matanya menatap layar televisi yang menyala. Televisi pipih itu menayangkan reality show yang semuanya tampak diskenariokan. Kisahnya, dramanya, dan tentu pengambilan gambarnya memperlihatkan bagaimana dia direkayasa.

Meski haus belum menyerang, dia reflek mengambil minuman botolan di dekatnya. Sebotol air rasa jeruk diteguknya. Bukan air, bukan pula jeruk. Semua hanya perasa.

Dia pusing sendiri. Masih berjalan di atas treadmillnya, tiba-tiba dia merasa seluruh kehidupannya telah begitu artifisial.

Kalau Mirip Pasti Saudara

Ada sebuah kejadian hari ini yang membawa saya kembali pada secuil pusaran ingatan saya. Kala itu, saya masih kelas 1 SMA dan dipercaya (baca: ditumbalkan) oleh teman-teman sekelas saya yang cantik-cantik itu untuk menjadi 'pejabat' kelas. Entah ketua kelas, sekretaris, atau bendahara (saya lupa yang mana), yang jelas saya sering sekali disuruh-suruh guru untuk memfotokopi bahan pelajaran hari itu. Dan itu adalah pekerjaan yang sangaaaat menyenangkan; keluar kelas, horeeee!

Akhirnya, saking seringnya fotokopa-fotokopi, muka ibu-ibu fotokopian jadi menempel sekali dalam otak saya. Rasanya seperti punya tato wajahnya di balik tengkorak ini. Dan karenanya, saya jadi sadar betul bahwa wajah ibu ini bak pinang dibelah dua dengan wajah guru fisika saya, Ibu Maria.

Kayaknya mereka saudara.

Asumsi-asumsi itu terus menggelitik otak saya. Sampai-sampai, si otak pun mengirimkan sinyal-sinyal gatal pada lidah saya. Setelah saya beberapa lama saya tahan di ujung mulut, akhirnya terlontar juga pertanyaan akan misteri paling besar abad itu.

Waktu itu, saya lagi fotokopi soal Geometri.

"Bu, mau fotokopi bolak-balik 32 kali ya, Bu."
"Ya."
"Bu."
"Ya?"
"Ibu saudaranya Bu Maria ya?"
"Hah?" Si Ibu murni bingung. Wajahnya sesekali bergemerlap cahaya mesin fotokopi,"bukan..."
"Masa sih, Bu?" Lah kenapa saya maksa? Wong yang punya keluarga bukan saya hahaha.
"Hahaha bukan."
"Mirip banget, Bu, abisnya. Beneran bukan saudara?"
"Nggak ah, gak mirip. Bukan saudara juga."
"Beneran Bu? Ibu sepupuan deh kayaknya."
"Nggaak, Bu Maria bukan sepupu saya."
"Sepupuan deh kayaknya, Bu."

Si Ibu cuma ketawa-ketawa saja, sampai 32 lembar fotokopian sudah matang. Segera, saya disuruh bayar dan harus langsung kembali ke kelas.

Beneran mirip, loh.

Malam yang Panas

Percakapan dengan tenang melalui ruang-ruang digital baru saja saya ketak-ketikkan dengan santai, di tengah udara dingin Kota Maastricht. Duduk di ruang hotel yang sangat unik penataannya, ditemani sekaleng cokelat yang sangat terkenal di negerinya Si Kumpeni.

Bumi terus bergulir, gelap dan terang terus menggelincir menyaplok daerah kekuasaannya. Tanpa dirasa-rasa, daerah GMT+01 ini makin melarut dalam gelap antariksa. Sedang mata saya masih melotot menangkap gelombang-gelombang menyakitkan dari monitor laptop.

Target-target hari ini, satu, dua, yak, sudah terlaksana dua. Biasanya agenda harian saya mencapai enam, itupun tidak selalu saya sempurnakan semuanya. Hanya satu-dua yang menjadi prioritas selalu saya usahakan.

Percakapan terus berlanjut, isinya penting-penting, menyangkut pekerjaan maupun urusan pribadi. Dan semuanya terasa menyenangkan. Sampai sebuah kejadian di dunia non-digital itu kembali terulang.

Ah.

Muak saya, berulang-ulang kembali yang seperti ini. Seperti matahari yang pasti tenggelam, sedikit percikan saja langsung membakar seluruh hati dan pikiran saya. Kepala saya seperti terbakar-bakar dalam angkara dan perasaan saya bergemuruh seperti badai di musim panas.

*

Seandainya saya naga, mungkin udah nyembur dari tadi kali ya.