Dosa Millenial

Seseorang menyunggingkan senyum manis di sebuah foto berbentuk kotak. Foto yang dapat dilihat, tapi tak dapat disentuh. Dengan satu gerakan jempol, ia akan hilang dari pandanganku, tergantikan senyum-senyum manis lain di bawahnya. Pose-pose unik di depan pemandangan yang menarik, berhiaskan kata-kata mutiara yang kadang tak ada kaitannya dengan foto.

Aku terus scroll layar instagramku. Aku menemukan teman SMA-ku berdiri di depan sebuah danau yang teduh oleh pohon-pohon cemara, ia tidak menatap kamera, menengok ke kanan sedikit, senyum pun tidak. Coat warna hijau lumut yang ia kenakan cukup menjelaskan temperatur sekitar yang tak dapat diraih AC di Indonesia. Di bawahnya, gambar hati ditemani oleh angka 134 likes dan di bawahnya lagi ia menulis And tonight I will fall asleep with you in my heart.

Jempolku tak berhenti.

Ada sebuah suara yang lirih, begitu lemah ia berbisik, memintaku untuk berhenti.

Tapi jempolku tetap tak berhenti.

Kini kulihat sepupuku bersama sepupuku yang lain, berfoto di meja restoran dengan dekorasi antik yang indah dipandang mata. Restoran yang, mungkin, dikenal instagramable. Aku jadi berandai-andai. Andai aku tinggal satu kota dengan mereka, mungkin aku ada di sana juga.

Aku menyadari setengah jam sudah berlalu sejak aku menyentuh layar ini. Dan dalam tiga puluh menit itu, ada banyak potensi manfaat yang bisa terpetik. Aku bisa menghangatkan rendang di kulkas untuk malam ini. Aku bisa membaca buku-buku novel, yang selama ini hanya menumpuk di sudut ruang. Dibeli namun tak dibaca dengan alasan belum ada waktu, sok sibuk lalu mengambinghitamkan tugas kuliah. Aku bisa juga benar-benar mengerjakan tugas kuliahku, yang sebenarnya memang banyak, tapi akan selesai jika aku niat untuk memulai. Atau aku bisa mandi dengan tenang.

Tapi mataku seolah lekat dan jempolku terus menunjukkan gambar-gambar menarik dari kehidupan teman-temanku, kehidupan para selebgram, dan wajah cantik model-model online shop.

Warna merah pada gambar baterai di pojok atas pun tidak kuhiraukan, sungguh malas rasanya bergerak mengambil charger.

Sekarang aku tahu Linda sedang di Sidney, Tania dan Inka sedang jalan-jalan ke Jogja, Rudi ikut kepanitiaan olahraga di kampus, bahkan kabar seorang artis instagram yang tak kukenal, bahwa dia kena tifus karena kelelahan, aku pun tahu.

Sampai tiba-tiba layarku menghitam, aku sadar dia sudah tak sanggup bertahan dengan energi yang tersisa di baterainya.

Suara keras dari hatiku mengucap alhamdulillah.

Aku bersyukur bisa terlepas dari genggaman media sosial. Aku pun segera menyadari satu jam sudah berlalu tanpa ada manfaat yang bisa aku ambil. Satu jam yang berharga, aku lewati tanpa aku berkembang menjadi lebih baik, lebih pintar, ataupun lebih wangi.

Oh, akankah besok aku terlarut lagi?

Kue Mahal dan Kue Warung

Alkisah Mahdi suatu hari ada urusan di Bandung. PP saja, jadi tidak terlalu berpengaruh terhadap kehidupan saya hehe, malam-malam juga sudah pulang lagi. Tapi, Bandung adalah kota wisata yang kulinernya menggoyang lidah. Jadi, saya selalu siap pesanan setiap doi ke Bandung.

Dulu pernah pesan kue seleb (aduh namanya lupa, punyanya si Omesh), gara-gara tidak sengaja pernah lihat review dari youtuber tentang kue tersebut. Awalnya tidak sengaja lihat, tapi dilanjutin nonton, jadi sengaja juga ya namanya? Hehe.

Di kali berikutnya, saya pesan H*rvest. Karena kalau beli cheese cake sulit dibawa naik bus umum, jadilah saya pengertian sedikit dan nitip cookies saja. Sebulan kemudian saya baru tahu itu harganya mahal banget, langsung berasa pemborosan huhuhu padahal keperluan baby masih banyak.

Menurut saya sih enak banget. Tapi, si Mahdi gak pernah nyentuh sedikit pun. Pernah saya paksa, makan cuma satu, lalu yaudah disudahi. Di lain kesempatan, saya paksa lagi untuk makan sambil saya memberikan pendapat bahwa kue tersebut enak banget. "Cobain deh yang cokelatnya tebal."

"Enakan g*odtime!"

Buset, kata saya dalam hati, kue mahal gini dibandingin sama kue warung, kalah pula. Hahahaha.

Di waktu berikutnya lagi, saya pesan brownies panggang yang terkenal di Bandung. Saya pesan yang original karena di atasnya ditaburi kacang almond yang baik untuk janin, wkwkwk (tetap berusaha memenuhi gizi bayi). Malamnya, datanglah brownies yang saya impi-impikan itu. Saya potong, saya makan, dan saya letakkan di atas meja.

Dari waktu ke waktu, saya menyadari brownies makin lama makin sedikit. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Mahdi. Akhirnya, ketika saya sedang bareng doi, saya coba tawari browniesnya, pura-pura gak tahu dia suka makanin browniesnya.

"Mau, mau. Tolong potongin," jawabnya.

"Suka ya?"

"Iya, ini enak banget. Mendingan ini lah ke mana-mana daripada waktu itu beli H*rvest. Mahal lagi."

Percakapan disela oleh kesibukan mengunyah.

Lalu Mahdi menambahkan,"ini enak banget. Setara lah dengan g*odtime."

What???

Hahahaha. Di situlah saya tertawa keras, tetap yaaa perbandingannya sama si kue swalayan itu.