Artifisial

Dia melangkahkan kakinya dalam tempo yang pelan. Dia terus berjalan, terus melangkah, terus, terus, dan dia tetap melangkah lambat.

Dia melangkah, tanpa maju, mundur pun tidak. Matanya menatap layar televisi yang menyala. Televisi pipih itu menayangkan reality show yang semuanya tampak diskenariokan. Kisahnya, dramanya, dan tentu pengambilan gambarnya memperlihatkan bagaimana dia direkayasa.

Meski haus belum menyerang, dia reflek mengambil minuman botolan di dekatnya. Sebotol air rasa jeruk diteguknya. Bukan air, bukan pula jeruk. Semua hanya perasa.

Dia pusing sendiri. Masih berjalan di atas treadmillnya, tiba-tiba dia merasa seluruh kehidupannya telah begitu artifisial.

Kalau Mirip Pasti Saudara

Ada sebuah kejadian hari ini yang membawa saya kembali pada secuil pusaran ingatan saya. Kala itu, saya masih kelas 1 SMA dan dipercaya (baca: ditumbalkan) oleh teman-teman sekelas saya yang cantik-cantik itu untuk menjadi 'pejabat' kelas. Entah ketua kelas, sekretaris, atau bendahara (saya lupa yang mana), yang jelas saya sering sekali disuruh-suruh guru untuk memfotokopi bahan pelajaran hari itu. Dan itu adalah pekerjaan yang sangaaaat menyenangkan; keluar kelas, horeeee!

Akhirnya, saking seringnya fotokopa-fotokopi, muka ibu-ibu fotokopian jadi menempel sekali dalam otak saya. Rasanya seperti punya tato wajahnya di balik tengkorak ini. Dan karenanya, saya jadi sadar betul bahwa wajah ibu ini bak pinang dibelah dua dengan wajah guru fisika saya, Ibu Maria.

Kayaknya mereka saudara.

Asumsi-asumsi itu terus menggelitik otak saya. Sampai-sampai, si otak pun mengirimkan sinyal-sinyal gatal pada lidah saya. Setelah saya beberapa lama saya tahan di ujung mulut, akhirnya terlontar juga pertanyaan akan misteri paling besar abad itu.

Waktu itu, saya lagi fotokopi soal Geometri.

"Bu, mau fotokopi bolak-balik 32 kali ya, Bu."
"Ya."
"Bu."
"Ya?"
"Ibu saudaranya Bu Maria ya?"
"Hah?" Si Ibu murni bingung. Wajahnya sesekali bergemerlap cahaya mesin fotokopi,"bukan..."
"Masa sih, Bu?" Lah kenapa saya maksa? Wong yang punya keluarga bukan saya hahaha.
"Hahaha bukan."
"Mirip banget, Bu, abisnya. Beneran bukan saudara?"
"Nggak ah, gak mirip. Bukan saudara juga."
"Beneran Bu? Ibu sepupuan deh kayaknya."
"Nggaak, Bu Maria bukan sepupu saya."
"Sepupuan deh kayaknya, Bu."

Si Ibu cuma ketawa-ketawa saja, sampai 32 lembar fotokopian sudah matang. Segera, saya disuruh bayar dan harus langsung kembali ke kelas.

Beneran mirip, loh.

Malam yang Panas

Percakapan dengan tenang melalui ruang-ruang digital baru saja saya ketak-ketikkan dengan santai, di tengah udara dingin Kota Maastricht. Duduk di ruang hotel yang sangat unik penataannya, ditemani sekaleng cokelat yang sangat terkenal di negerinya Si Kumpeni.

Bumi terus bergulir, gelap dan terang terus menggelincir menyaplok daerah kekuasaannya. Tanpa dirasa-rasa, daerah GMT+01 ini makin melarut dalam gelap antariksa. Sedang mata saya masih melotot menangkap gelombang-gelombang menyakitkan dari monitor laptop.

Target-target hari ini, satu, dua, yak, sudah terlaksana dua. Biasanya agenda harian saya mencapai enam, itupun tidak selalu saya sempurnakan semuanya. Hanya satu-dua yang menjadi prioritas selalu saya usahakan.

Percakapan terus berlanjut, isinya penting-penting, menyangkut pekerjaan maupun urusan pribadi. Dan semuanya terasa menyenangkan. Sampai sebuah kejadian di dunia non-digital itu kembali terulang.

Ah.

Muak saya, berulang-ulang kembali yang seperti ini. Seperti matahari yang pasti tenggelam, sedikit percikan saja langsung membakar seluruh hati dan pikiran saya. Kepala saya seperti terbakar-bakar dalam angkara dan perasaan saya bergemuruh seperti badai di musim panas.

*

Seandainya saya naga, mungkin udah nyembur dari tadi kali ya.