25,5 Jam di Al Umanaa

Akhirnya saya berhasil membawa teman-teman FOODLAP untuk ikut serta mengunjungi Al Umanaa. Kisah-kisah dari Al Umanaa sudah cukup sering saya dengar dari teman saya yang bermukim di sana, Mahdi. Dia pernah berbagi pada saya tentang konsep perencanaannya di sana, bagaimana dia sebagai seorang lulusan planologi akhirnya mulai merancang peradaban dari kanvas kosong. Menurut saya pengalaman dan kesempatannya sangat menarik, jarang lulusan S1 sekarang dapat kesempatan untuk memulai lukisannya sendiri di kanvas yang masih bersih.
Mahdi juga sering bercerita tentang murid-murid, alias santri-santri, di sana. Bagaimana prestasinya memukau dan bagaimana guru-gurunya juga totalitas berjuang untuk mengembangkan pribadi setiap siswanya. Dan prestasi itu saya lihat sendiri buktinya kurang lebih setahun yang lalu, ketika saya mengunjungi ‘embrio’ Al Umanaa di Cibinong.
Bermodalkan sepetak tanah kecil dan bangunan-bangunan kayu yang adem dan kokoh, para guru di sana mendidik anak-anaknya. Ketika saya berkunjung ke Cibinong, anak-anak menyuguhkan berbagai pertunjukan, yaitu drama, pidato, story telling, dan membaca puisi dalam berbagai bahasa, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, dan Bahasa Jepang. Begitu fasihnya mereka . Namun, kekaguman saya tidak hanya muncul dari banyaknya bahasa yang mereka gunakan. Lebih dari itu.
Dibandingkan dengan anak-anak SD dan SMP lainnya, mereka sungguh berbeda. Kalau anak-anak di luar sana membaca puisi dengan tampang datar dan tubuh kaku seperti batang pohon pisang (itu saya dulu begitu, sih), mereka semua memiliki kualitas public speaking yang luar biasa. Benar-benar di luar yang biasa.
Mereka mampu berekspresi tanpa malu-malu kucing. Mereka mampu memainkan ekspresi tubuhnya dengan kepercayaan diri yang keren. Mereka memainkan intonasi nadanya dengan tepat, mampu membuat orang tertawa mendengar humornya yang berkelas, dan di saat lain, mampu membakar semangat pendengarnya. Sepanjang pertunjukan, saya hanya bisa terpana melihat mereka yang berkembang demikian pesatnya, sangat signifikan berbeda dengan anak-anak pada umumnya.
***
Itu, saya sadari, hanyalah sebagian kecil dari seluruh kualitas siswa-siswa Al Umanaa ini. Yang mereka ‘pamerkan’ kala itu hanyalah kemampuan mereka dalam public speaking. Saya sungguh penasaran untuk bisa membuka lembaran-lembaran emas lainnya dari kehidupan mereka.
Akhirnya, tanggal 3 dan 4 April 2014, saya bersama Eva, Ridho, Rani, dan Rizan diberi kesempatan untuk bertandang ke sana. Kembali, kami disuguhkan pula berbagai penampilan dari para santri. Meski sudah pernah melihatnya, tapi pesona mereka tetap menyita perhatian saya. Namun, yang berbeda, kami mendapat waktu untuk mengenal Al Umanaa dan para muridnya dengan lebih dalam.
Kesantunan mereka sungguh terasa selama saya banyak berinteraksi dengan mereka. Dan mereka bukan hanya anak-anak pemalas yang mau main-main. Mereka ‘geregetan’ ingin terus berkarya dan belajar. Kalau ada lomba, bukannya malas dan menghindar, mereka justru berinisiatif untuk ikut berpartisipasi.
Program bahasanya juga sangat keren. Berganti-gantian setiap minggu, Bahasa Arab, Inggris, dan Jepang digilir untuk menjadi bahasa pengantar dan percakapan sehari-hari siswa. Selama 7 kali 24 jam, siswa hanya boleh berbicara dalam bahasa yang diizinkan.
Kalau melanggar? Bukan guru yang turun tangan, tapi di antara siswa-siswa itu sendiri pun ada sistem penjagaannya. Siswa yang melanggar akan disidang oleh teman-temannya sendiri, sambil dibimbing oleh para guru. Terdengar sepele dan remeh, tapi kebiasaan-kebiasaan seperti ini menimbulkan komunitas yang saling menjaga dalam kebaikan.
Para siswa sudah diajarkan untuk menegakkan aturan dan berani menegur temannya sendiri yang berbuat salah. Hal ini lah yang absen dari kehidupan anak-anak biasa. Melihat teman mencontek itu sudah biasa, kalau berani melaporkan itu adalah melanggar etika. Di tempat lain, seolah menjadi aturan tidak tertulis bahwa para siswa harus saling lindung-melindungi dalam contek-mencontek. Orang yang melaporkan kasus pencontekan, biasanya akan dijauhi dan dianggap ‘sok suci’. Seperti yang sering disampaikan oleh iklan layanan masyarakat, hal-hal seperti ini adalah bibit dari persekongkolan dalam hal yang lebih buruk: lindung-melindungi dalam korupsi.
***
Mahdi juga berbaik hati mengantarkan kami berkeliling Al Umanaa, memperlihatkan bangunan-bangunan yang telah ada sekaligus menceritakan bagaimana perencanaannya. Al Umanaa sunguh terasa asri, kami beberapa kali disuguhkan buah-buahan yang dipetik langsung dari sana, mulai dari durian, rambutan, manggis, pisang, sampai kelapa. Sempat saya, Eva, dan Rani duduk-duduk menikmati udara sore Sukabumi di gasibu yang beratapkan rambatan pohon markisa.
Di sana ada sebuah tanah lapang yang menjadi benang merah Al Umanaa dan FOODLAP. Tanah itu dimanfaatkan Al Umanaa sebagai laboraturium integrated farming, sebuah closed loop system yang utuh dan alami. Dimulai dari pintu dapur yang sering menggelontorkan sampah-sampah makanan, diikuti dengan kolam lele, kandang ayam, kandang lebah, kandang soang, dan… black soldier fly! Memang, sejak FOODLAP bertemu dengan black soldier fly, saya beberapa kali mendisksuikannya tentang itu dengan Mahdi. Sudah saya duga, Al Umanaa akan mendahului kami memulai pengolahan sampah kecil dengan BSF. Mereka sudah memiliki tiga reaktor pengolahan kecil, yang semuanya diurus oleh para santri.
***

Terlalu banyak pengalaman, penglihatan, dan percakapan menarik selama 25,5 jam di Al Umanaa. Masih banyak yang ingin saya ceritakan, tapi baterai laptop saya sudah tanda seru!