“Tidak ada yang menang dan yang kalah. Yang ada hanyalah yang menang dan bertahan.”
Saya membaca tulisan tersebut di sebuah kalender milik teman
saya. Melihatnya, membuat saya teringat kepada buku yang tengah saya baca. Saya
sedang menyelesaikan sebuah buku tentang teori relativitas sekaligus sedikit
biografi Einstein. Untuk mencapai pembahasan teori relativitas, si penulis memperkenalkan
dulu sejarah hukum orbit dan Johanes Keppler. Hukum orbit tadi tidak serta
merta berasal dari otak Keppler seorang. Beliau sendiri juga turut mengambil
ilmu dari hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh gurunya, Tycho Brahe.
Keppler mempelajari data penelitian Brahe sembari melakukan pengamatan sendiri
selama dua puluh tahun hingga
akhirnya tiba pada kesimpulan bahwa lintasan planet berbentuk elips dengan
mentari berada di salah satu titik apinya.
Dua puluh tahun, butuh kesabaran dan ketekunan yang besar
untuk mampu menjalaninya.
Agama saya sendiri, sejauh penafsiran saya, menghargai
ketekunan. Tersebut bahwa Allah menyukai kebaikan, meskipun kecil, tapi
terus-menerus dikerjakan.
Namun, selama ini generasi kita tumbuh dalam suasana novel,
film, komik, dan lain-lain, yang punya tokoh utama yang sangat keren; pintar,
berbakat, dan selalu berprestasi meski malas dan tanpa usaha. Akibatnya,
sebelum ini saya cukup menganggap orang yang pintar ‘dari sananya’ memang lebih
oke dibanding orang yang berprestasi karena usahanya.
Pintar ‘dari sananya’ itu dari Sana, loh, apa yang mau
dibanggakan? Pintar ‘dari sananya’ ibaratnya Cuma semacam hibah gak sih?
Namun, coba perhatikan lebih dalam, sekarang ini banyak
tokoh utama film-film keren yang punya karakter pintar dan tekun. Lihat saja
Tony Stark di film Iron Man; dia tidak pernah dikisahkan punya pekerja. Tony
Stark pun seringkali diperlihatkan dia membuat peralatannya sendiri. Dia bahkan
punya bengkel yang penuh dengan robot dan CAD berbentuk hologram, kalau dia
tidak punya pekerja, berarti selama ini dia mendesain dan merakitnya sendiri.
Juga tengok Andy Dufresne di film Shawshank Redemption. Untuk mencapai tujuan
akhirnya, dia perlu berjuang selama dua puluh tahun dengan pekerjaan yang
membosankan.
Pantas saja, biasanya bidang para ahli dituliskan sebagai
‘bidang yang ia tekuni’, bukan ‘bidang yang ia bakati’. Ini mengamini juga
Thomas Alfa Edison yang pernah berkata,”Genius
is one percent inspiration and 99% perspiration”. Mirip dengan Einstein
yang menyebutkan bahwa dia bukannya lebih pintar dari kita, hanya saja dia
berusaha lebih lama di tempat itu lebih lama dari kita.
Semua ini sering membuat saya kembali ke masa lalu, sudah
berapa hal yang saya tinggalkan setengah, yang saya pergi didorong kemalasan?
0 comments:
Post a Comment