Akhirnya saya berhasil membawa teman-teman FOODLAP untuk
ikut serta mengunjungi Al Umanaa. Kisah-kisah dari Al Umanaa sudah cukup sering
saya dengar dari teman saya yang bermukim di sana, Mahdi. Dia pernah berbagi
pada saya tentang konsep perencanaannya di sana, bagaimana dia sebagai seorang
lulusan planologi akhirnya mulai merancang peradaban dari kanvas kosong.
Menurut saya pengalaman dan kesempatannya sangat menarik, jarang lulusan S1
sekarang dapat kesempatan untuk memulai lukisannya sendiri di kanvas yang masih
bersih.
Mahdi juga sering bercerita tentang murid-murid, alias
santri-santri, di sana. Bagaimana prestasinya memukau dan bagaimana
guru-gurunya juga totalitas berjuang untuk mengembangkan pribadi setiap
siswanya. Dan prestasi itu saya lihat sendiri buktinya kurang lebih setahun
yang lalu, ketika saya mengunjungi ‘embrio’ Al Umanaa di Cibinong.
Bermodalkan sepetak tanah kecil dan bangunan-bangunan kayu
yang adem dan kokoh, para guru di sana mendidik anak-anaknya. Ketika saya berkunjung
ke Cibinong, anak-anak menyuguhkan berbagai pertunjukan, yaitu drama, pidato, story telling, dan membaca puisi dalam
berbagai bahasa, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, dan
Bahasa Jepang. Begitu fasihnya mereka . Namun, kekaguman saya tidak hanya muncul
dari banyaknya bahasa yang mereka gunakan. Lebih dari itu.
Dibandingkan dengan anak-anak SD dan SMP lainnya, mereka
sungguh berbeda. Kalau anak-anak di luar sana membaca puisi dengan tampang
datar dan tubuh kaku seperti batang pohon pisang (itu saya dulu begitu, sih),
mereka semua memiliki kualitas public
speaking yang luar biasa. Benar-benar di luar yang biasa.
Mereka mampu berekspresi tanpa malu-malu kucing. Mereka
mampu memainkan ekspresi tubuhnya dengan kepercayaan diri yang keren. Mereka
memainkan intonasi nadanya dengan tepat, mampu membuat orang tertawa mendengar
humornya yang berkelas, dan di saat lain, mampu membakar semangat pendengarnya.
Sepanjang pertunjukan, saya hanya bisa terpana melihat mereka yang berkembang
demikian pesatnya, sangat signifikan berbeda dengan anak-anak pada umumnya.
***
Itu, saya sadari, hanyalah sebagian kecil dari seluruh
kualitas siswa-siswa Al Umanaa ini. Yang mereka ‘pamerkan’ kala itu hanyalah
kemampuan mereka dalam public speaking.
Saya sungguh penasaran untuk bisa membuka lembaran-lembaran emas lainnya dari
kehidupan mereka.
Akhirnya, tanggal 3 dan 4 April 2014, saya bersama Eva,
Ridho, Rani, dan Rizan diberi kesempatan untuk bertandang ke sana. Kembali,
kami disuguhkan pula berbagai penampilan dari para santri. Meski sudah pernah
melihatnya, tapi pesona mereka tetap menyita perhatian saya. Namun, yang
berbeda, kami mendapat waktu untuk mengenal Al Umanaa dan para muridnya dengan
lebih dalam.
Kesantunan mereka sungguh terasa selama saya banyak
berinteraksi dengan mereka. Dan mereka bukan hanya anak-anak pemalas yang mau
main-main. Mereka ‘geregetan’ ingin terus berkarya dan belajar. Kalau ada
lomba, bukannya malas dan menghindar, mereka justru berinisiatif untuk ikut
berpartisipasi.
Program bahasanya juga sangat keren. Berganti-gantian setiap
minggu, Bahasa Arab, Inggris, dan Jepang digilir untuk menjadi bahasa pengantar
dan percakapan sehari-hari siswa. Selama 7 kali 24 jam, siswa hanya boleh
berbicara dalam bahasa yang diizinkan.
Kalau melanggar? Bukan guru yang turun tangan, tapi di
antara siswa-siswa itu sendiri pun ada sistem penjagaannya. Siswa yang
melanggar akan disidang oleh teman-temannya sendiri, sambil dibimbing oleh para
guru. Terdengar sepele dan remeh, tapi kebiasaan-kebiasaan seperti ini
menimbulkan komunitas yang saling menjaga dalam kebaikan.
Para siswa sudah diajarkan untuk menegakkan aturan dan
berani menegur temannya sendiri yang berbuat salah. Hal ini lah yang absen dari
kehidupan anak-anak biasa. Melihat teman mencontek itu sudah biasa, kalau berani
melaporkan itu adalah melanggar etika. Di tempat lain, seolah menjadi aturan
tidak tertulis bahwa para siswa harus saling lindung-melindungi dalam
contek-mencontek. Orang yang melaporkan kasus pencontekan, biasanya akan
dijauhi dan dianggap ‘sok suci’. Seperti yang sering disampaikan oleh iklan
layanan masyarakat, hal-hal seperti ini adalah bibit dari persekongkolan dalam
hal yang lebih buruk: lindung-melindungi dalam korupsi.
***
Mahdi juga berbaik hati mengantarkan kami berkeliling Al
Umanaa, memperlihatkan bangunan-bangunan yang telah ada sekaligus menceritakan
bagaimana perencanaannya. Al Umanaa sunguh terasa asri, kami beberapa kali
disuguhkan buah-buahan yang dipetik langsung dari sana, mulai dari durian,
rambutan, manggis, pisang, sampai kelapa. Sempat saya, Eva, dan Rani
duduk-duduk menikmati udara sore Sukabumi di gasibu yang beratapkan rambatan
pohon markisa.
Di sana ada sebuah tanah lapang yang menjadi benang merah Al
Umanaa dan FOODLAP. Tanah itu dimanfaatkan Al Umanaa sebagai laboraturium integrated farming, sebuah closed loop system yang utuh dan alami.
Dimulai dari pintu dapur yang sering menggelontorkan sampah-sampah makanan,
diikuti dengan kolam lele, kandang ayam, kandang lebah, kandang soang, dan… black soldier fly! Memang, sejak FOODLAP
bertemu dengan black soldier fly,
saya beberapa kali mendisksuikannya tentang itu dengan Mahdi. Sudah saya duga,
Al Umanaa akan mendahului kami memulai pengolahan sampah kecil dengan BSF.
Mereka sudah memiliki tiga reaktor pengolahan kecil, yang semuanya diurus oleh
para santri.
***
Terlalu banyak pengalaman, penglihatan, dan percakapan
menarik selama 25,5 jam di Al Umanaa. Masih banyak yang ingin saya ceritakan,
tapi baterai laptop saya sudah tanda seru!