Saving The World

Menyelamatkan dunia ternyata tidak seheroik film-film superhero. Menyelamatkan dunia ternyata bukan merupakan kegiatan yang melibatkan otot, kekuatan super, darah, ataupun drama.

Mungkin kita perlu terkejut, menyelamatkan dunia sesungguhnya akan terdengar lebih pantas dilakukan oleh bapak-bapak buncit berjas di gedung-gedung ibukota daripada pria ganteng berdada bidang dalam kostum superhero superketat.

Ya, karena ternyata menyelamatkan dunia lebih pantas dikategorikan dalam bidang sosial politik dibandingkan bidang olahraga dan kepahlawanan. Menyelamatkan dunia bukanlah memberantas para villain. Justru menyelamatkan dunia adalah memberantas hal-hal yang membuat villain itu ada.

Kalau dalam kamus teknik industri, menyelamatkan dunia harus menyasar pada akar masalah. Kalau dalam kamus planologi, menyelamatkan dunia harus merujuk pada isu strategis. Kalau dalam kamus d*ktarin, menyelamatkan dunia itu harus mencabut sampai ke akar-akarnya (dah jamur!).

Kalau kita perhatikan pelajaran psikologi di kelas (emang ada? hehe, cuma ada di jurusannya kali), setiap perbuatan seseorang terjadi karena dua hal, yaitu dorongan dari dalam dan rangsangan dari luar. Maka, ketika seseorang melakukan kejahatan, misalnya mencuri, sebagian besar orang akan menyimpulkan bahwa dia imannya lemah dan dia butuh makan. Lihat kan? Imannya lemah, dorongan dari dalam. Serta dia butuh makan, rangsangan dari luar - tiadanya kesejahteraan baginya.
Seseorang tidak akan mencuri jika imannya kuat dan makanan tersedia baginya tiga kali sehari dengan gizi seimbang, apalagi dengan rasa yang menggoyang lidah. Maka dari itu, menyelamatkan dunia justru merupakan sebuah rancangan program untuk menanamkan karakter yang baik ke dalam hati setiap manusia dan membuat lingkungan yang memadai bagi seluruh penduduk.

Secara singkat saya bisa langsung menyimpulkan, untuk menyelamatkan dunia, kita tidak perlu mengumpulkan seluruh kekuatan angin, air, bumi, dan api dalam raga kita dan berubah menjadi Avatar. Juga tidak perlu melawan Negara Api yang terkenal kejam dan bengis. Tidak usah pula repot-repot mencari laba-laba yang akan menggigit dan menulari kita kekuatan super membuat sarang dari ujung tangan. Untuk menyelamatkan dunia, kita hanya perlu membangun sebuah pendidikan yang baik. Sebuah pendidikan yang menanamkan iman dan karakter yang kuat dalam diri manusia. Sebuah pendidikan yang menumbuhkan rasa takut hanya pada Sang Pencipta. Sebuah pendidikan yang membuahkan kesadaran bagi si terdidik bahwa Sang Pencipta Maha Melihat, bahkan sebutir debu sekali pun tak akan terbang tanpa izin-Nya.

Dengan pendidikan, kita telah menghapus dorongan jelek dari dalam diri manusia. Namun, tidak lupa kita juga harus mengeleminir rangsangan dari luar untuk berbuat kejahatan. Untuk meniadakan rangsangan dari luar itu, kita perlu membangun kesejahteraan bagi seluruh penduduk bumi secara merata. Jika hanya sebagian saja yang sejahtera, maka bagian yang beruntung itu harus selalu siaga dari serangan kejahatan sebagian lain yang kurang beruntung. Dan ingat, kesejahteraan itu meliputi seluruh aspek, mulai dari sandang, pangan, dan papan, hingga seluruh organ tubuh kita terpenuhi kebutuhannya. Apalagi alasan mereka untuk berbuat kriminal jika seluruh kebutuhan telah tercukupi?

Maka tidak heran kan, pastur-pastur di gereja selalu bilang “Salam sejahtera”? Dan juga perempuan-perempuan berjilbab dan pria-pria berjenggot selalu mengucap “assalamu’alaikum”, yang artinya keselamatan atas kamu?

0 comments: