Mungkin saya memang sering merenung; saya penasaran mengapakah ada orang yang berpenyakit hati?
No, no. Saya tidak sedang membicarakan orang lain (saja). Saya juga sedang menganalisis diri sendiri. Saat rasa-rasa yang sering disebut 'penyakit', misal iri, dendam, benci (tanpa alasan yang jelas), rasa ingin riya', dan lain sebagainya, muncul dalam diri, saya selalu bertanya, kenapa perasaan ini ada dalam kalbu saya?
Pun kalau melihat orang lain dengan gejala-gejala penyakit itu, saya bertanya, mengapa ia diberikan penyakit sedang yang lain tidak? Apa yang salah? Apa yang menyebabkan itu?
Dan suatu hari saya teringat bahwa Allah selalu menjelaskan dengan perumpamaan dari kejadian di alam. Sebuah perumpamaan, tanaman yang disirami terlalu banyak air akan mati. Itu bisa jadi sebuah tanda untuk tidak membanjiri seseorang dengan 'air kasih sayang' yang berlebihan. Hal tersebut akan 'mematikan' orang tersebut. Sebutlah, anak yang 'terlalu' disayang malah menjadi manja dan tidak tough. Potensinya jadi mati, kan?
Jadi, saya yakin penyebab penyakit hati pastinya sama dengan penyebab penyakit fisik.
Ok, saya coba jabarkan ya apa sih penyebab penyakit fisik.
Yang pertama, yang paling mudah, tertular orang yang sedang sakit/ terinfeksi.
Yang kedua, karena makanan dan yang masuk ke dalam tubuh tidak beres. Makan yang kotor, ya diare. Keseringan makan manis-manis, ya resiko diabetes. Makannya banyak banget tidak terkontrol? Obesitas. Selain makanan, yang masuk ke dalam tubuh juga udara. Makan asap, alias ngerokok, ya siap-siap goodbye paru-paru. Hidup di daerah yang tingkat polusi udaranya tinggi pasti akan sangat berbahaya buat tubuh.
Berikutnya, hmm. Apalagi? Tidak menjaga kebersihan, sepakat? Malas mandi, hello panu. Malas menjaga kebersihan tangan, kuku sampe panjang dan hijau (hii~), berarti mau buka pemukiman cacing di usus, hehe. Tidak menjaga kebersihan rumah, macam-macam ya penyakitnya. Bisa sekedar gatal-gatal sampai parahnya kena penyakit pes.
Keempat, pola hidup. Sebenarnya makanan yang tadi sudah disebut, termasuk pola hidup, tetapi untuk tujuan analisis pribadi saya pisahkan. Pola hidup itu seperti kebiasaan membaca. Baca sambil tiduran, di tempat gelap, berarti matanya sebentar lagi ada empat. Malas olahraga, banyak juga sih penyakitnya. Imun jadi lemah, mudah terserang penyakit. Suka begadang, siap-siap sakit hati. Sakit hati yang organ ya, bukan Sakit Hati-nya Yovie & Nuno, heheh.
Aku sakiiit
Aku sakit hati
Kau terbangkanku ke awan
Lalu jatuhkan ke dasar jurang
Aw..
Oke, cukuplah menyanyinya.
Untuk sementara, saya rasa baru segitu saja. Apalagi penyebab penyakit? Genetis? Ya bolehlah kita masukkan dalam bab pembahasan (serius amat dikira bikin thesis).
Penyebab Penyakit Hati
Dari empat penyebab itu, pikiran saya mencoba mengonversinya ke dalam 'dimensi' hati. Yang pertama, tertular orang yang terinfeksi. Berarti, ini terkait dengan orang-orang yang ada di sekitar kita. Kalau kita dekat-dekat dengan orang yang lagi 'sakit hati', pasti kita akan mudah tertular. Dekat dengan orang yang suka ngomongin orang, julid, ghibah. Rasanya pengen ikutan juga gak sih? Haha. Kalau kita di lingkungan orang yang suka merokok dan menganggap itu keren, besar kemungkinan kita menjadi perokok aktif. Dekat dengan orang yang mengonsumsi narkoba, yang suka korupsi, bergaul dengan teman-teman yang suka menyontek, dan lainnya, penularannya sungguh besar.
Namun, ada saja orang yang tidak mudah tertular meskipun berdekatan dengan orang terinfeksi. Rahasianya ada di imun yang kuat. Kalau dalam konteks hati, berarti penularan-penularan ini dapat dicegah dengan aqidah yang kuat, antibodi utama kalbu manusia.
Kedua, segala yang kita telan dan hirup dapat menjadi sumber penyakit. Mungkinkah itu berarti, apa yang kita lihat, kita tonton, kita dengar, dan kita baca sehari-hari? Kalau keseringan scrolling di Instagram sampai jempol kapalan hanya untuk menyaksikan teman-teman yang asik travelling ke Eropa, wajar dong kalau kita jadi iri dan punya cita-cita tinggal di sana? Padahal, yang di-post oleh teman-teman kita itu hanya sisi indahnya saja. Kalau kita sering dengar ceramah yang mengajak menjadi ekstrimis teroris, bukan tidak mungkin kita terbawa arus. Sering dengar lagu-lagu cinta, nanti bawaannya jadi pengen punya pacar atau pengen cepat-cepat nikah, wkwk. Apa yang kita baca pun seringkali terpatri dalam otak dan menjadi mindset yang sangat memengaruhi pola pikir kita. Kalau bacaannya negatif, ya hasilnya pasti negatif.
Ketiga, tentang kebersihan. Kalau dalam kesehatan fisik, kebersihan yang dibicarakan juga mengenai kebersihan fisik. Namun, bagaimana konsep kebersihan dalam dimensi kalbu? Perbuatan kotor merupakan perbuatan yang menodai kebersihan dalam kalbu. Mungkin, tidak kita sadari, perbuatan itu menumpuk dan akhirnya menyebabkan penyakit. Merasa suka punya penyakit hati? Bisa jadi kita tidak menjaga kebersihan hati sehingga akhirnya menyulut penyakit.
Mungkin terdengar tidak nyambung dan tidak logis. Apa coba hubungannya timbulnya penyakit hasad dengan kebiasaan buruk kita malas puasa Ramadhan? Ya, sama halnya dengan penyakit fisik, kadang, kalau ditelaah dengan pikiran pendek, tidak akan masuk akal. Apa hubungannya telat makan dengan sakit kepala? Yang diabaikan perut, kok yang sakit kepalanya? Tapi, karena kita punya ilmunya tentang hubungan kedua hal tersebut, jadi terkesanlah logis. Sedangkan ilmu hati, yang tahu hanya Allah. Allah Yang Maha Membolak-balikkan Hati.
Terakhir, faktor genetis atau keturunan. Dalam pandangan saya, dalam dimensi hati, faktor ini berupa nilai-nilai yang diturunkan oleh orangtua. Nilai-nilai yang salah akan menimbulkan penyakit dalam hati. Kalau nilai yang dianut sama, ya sakitnya ya sehatnya akan sama juga.
Hehe.
Ini sedikit hasil perenungan saya yang panjang mengenai penyakit hati dan bagaimana cara menjauhinya. Dari dulu saya suka berpikir, penyakit hati tak pernah dijelaskan asal usulnya pun saya tak tahu bagaimana menangkalnya. Mudah-mudahan perenungan saya ini membawa hal bermakna pada diri saya juga :D
Keberterimaan pada Teguran adalah Koentji
Manusia pada umumnya tidak suka dengan hal-hal yang tidak mengenakkan. Lelah, bosan, sakit, dan sebagainya. Manusia pada umumnya memilih hal-hal menyenangkan seperti senang-senang, jalan-jalan, main-main, dan lain-lain. Salah satu hal 'menyebalkan' yang sering datang adalah teguran.
Teguran banyak wujudnya. Ada nasihat baik-baik dari guru kita yang jarang marah. Ada yang berupa sindiran nyinyir nan julid dari teman yang lagi super kesal. Ada juga teguran yang berupa cubitan keras dari ibu yang sudah gemas pada kelakuan anaknya. Sampai bentakan kasar pengendara motor kepada supir angkot yang ngetem sembarangan, itu pun teguran.
Pastinya, tidak semua teguran diniatkan untuk mendidik kita, ya, hehe. Pengendara motor yang memaki supir angkot karena ngetem sembarangan, saya yakin makian itu keluar hanya sebagai reaksi yang emosional, bukan karena si pengendara motor ingin supir angkot menjadi pribadi yang lebih baik. Berbeda dengan teguran dari guru ataupun dari orang tua, seringkali diiringi oleh nilai-nilai pendidikan dan harapan supaya kita menjadi lebih baik.
Tapi yang jelas, teguran itu muncul biasanya memang karena ada hal salah atau mengesalkan yang kita lakukan kepada orang lain.
Reaksi pada Teguran
Reaksi pada teguran juga wujudnya macam-macam. Ada yang masuk ke telinga, turun ke hati, dan diolah di otak. Ada yang begitu. Ada juga yang masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Yang lebih parah, ada yang masuk ke telinga, lalu berubah menjadi api dendam yang tersimpan di hati. "Apa sih, guru sok tau." Belum lagi kalau yang menegur lebih muda. "Songong amat sih jadi adik kelas." Atau teman sendiri. "Sok suci banget sih negur-negur. Sendirinya juga masih banyak salah."
Ea. Kapan kita ngambil hikmahnya kalau selalu bersikap defensif terhadap teguran?
Ada pepatah bahasa Arab yang berbunyi, unzhur maa qoola wa laa tanzhur man qoola. Perhatikan apa yang dibicarakan, dan jangan perhatikan siapa yang bicara. Tua muda, kawan lawan, adik kakak, siapa pun itu yang berbicara, harusnya cukup kita perhatikan apa yang dibicarakan. Sebuah teguran? Benarkah apa yang ia tegurkan pada saya? Bukan malah memperhatikan siapa-nya. Ah dia lebih muda, ah dia juga sama aja masih suka salah, dan lain-lain ribuan alasan akan keluar supaya kita tetap merasa benar.
Selain itu, saya juga selalu ingat pada sebuah ayat suci Al Quran, tentang teguran-teguran Allah melalui kerusakan alam, yaitu surat Ar Ruum ayat 41. Artinya, telah nampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.
Pada saat pertama saya baru benar-benar memahami kalimat itu, saya benar-benar takjub. Ternyata, tujuan Allah menegur manusia hanya satu. Yaitu, supaya manusia kembali ke jalan yang benar. Berarti, adanya banjir, longsor, kebakaran hutan, kekeringan, dan lain-lain, murni karena Allah begitu sayangnya sama manusia sehingga ingin kita semua sadar akan kesalahan dan kembali ke jalan yang lurus. Bukan karena Allah ingin menghukum kita.
Jadi, teguran, bagaimana pun bentuknya, sebenarnya memiliki efek yang baik bagi yang ditegur. Meski awalnya menyebalkan atau membuat kita malu, tapi jika kita mampu mengambil hikmah dari teguran, maka kita akan menjadi pribadi yang lebih baik. Sebaliknya, menutup hati pada teguran, tidak mau menerima kesalahan, hanya akan membuat kita berada di pusaran kebodohan yang sama.
Teguran banyak wujudnya. Ada nasihat baik-baik dari guru kita yang jarang marah. Ada yang berupa sindiran nyinyir nan julid dari teman yang lagi super kesal. Ada juga teguran yang berupa cubitan keras dari ibu yang sudah gemas pada kelakuan anaknya. Sampai bentakan kasar pengendara motor kepada supir angkot yang ngetem sembarangan, itu pun teguran.
Pastinya, tidak semua teguran diniatkan untuk mendidik kita, ya, hehe. Pengendara motor yang memaki supir angkot karena ngetem sembarangan, saya yakin makian itu keluar hanya sebagai reaksi yang emosional, bukan karena si pengendara motor ingin supir angkot menjadi pribadi yang lebih baik. Berbeda dengan teguran dari guru ataupun dari orang tua, seringkali diiringi oleh nilai-nilai pendidikan dan harapan supaya kita menjadi lebih baik.
Tapi yang jelas, teguran itu muncul biasanya memang karena ada hal salah atau mengesalkan yang kita lakukan kepada orang lain.
Reaksi pada Teguran
Reaksi pada teguran juga wujudnya macam-macam. Ada yang masuk ke telinga, turun ke hati, dan diolah di otak. Ada yang begitu. Ada juga yang masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Yang lebih parah, ada yang masuk ke telinga, lalu berubah menjadi api dendam yang tersimpan di hati. "Apa sih, guru sok tau." Belum lagi kalau yang menegur lebih muda. "Songong amat sih jadi adik kelas." Atau teman sendiri. "Sok suci banget sih negur-negur. Sendirinya juga masih banyak salah."
Ea. Kapan kita ngambil hikmahnya kalau selalu bersikap defensif terhadap teguran?
Ada pepatah bahasa Arab yang berbunyi, unzhur maa qoola wa laa tanzhur man qoola. Perhatikan apa yang dibicarakan, dan jangan perhatikan siapa yang bicara. Tua muda, kawan lawan, adik kakak, siapa pun itu yang berbicara, harusnya cukup kita perhatikan apa yang dibicarakan. Sebuah teguran? Benarkah apa yang ia tegurkan pada saya? Bukan malah memperhatikan siapa-nya. Ah dia lebih muda, ah dia juga sama aja masih suka salah, dan lain-lain ribuan alasan akan keluar supaya kita tetap merasa benar.
Selain itu, saya juga selalu ingat pada sebuah ayat suci Al Quran, tentang teguran-teguran Allah melalui kerusakan alam, yaitu surat Ar Ruum ayat 41. Artinya, telah nampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.
Pada saat pertama saya baru benar-benar memahami kalimat itu, saya benar-benar takjub. Ternyata, tujuan Allah menegur manusia hanya satu. Yaitu, supaya manusia kembali ke jalan yang benar. Berarti, adanya banjir, longsor, kebakaran hutan, kekeringan, dan lain-lain, murni karena Allah begitu sayangnya sama manusia sehingga ingin kita semua sadar akan kesalahan dan kembali ke jalan yang lurus. Bukan karena Allah ingin menghukum kita.
Jadi, teguran, bagaimana pun bentuknya, sebenarnya memiliki efek yang baik bagi yang ditegur. Meski awalnya menyebalkan atau membuat kita malu, tapi jika kita mampu mengambil hikmah dari teguran, maka kita akan menjadi pribadi yang lebih baik. Sebaliknya, menutup hati pada teguran, tidak mau menerima kesalahan, hanya akan membuat kita berada di pusaran kebodohan yang sama.
Subscribe to:
Posts (Atom)