Manusia pada umumnya tidak suka dengan hal-hal yang tidak mengenakkan. Lelah, bosan, sakit, dan sebagainya. Manusia pada umumnya memilih hal-hal menyenangkan seperti senang-senang, jalan-jalan, main-main, dan lain-lain. Salah satu hal 'menyebalkan' yang sering datang adalah teguran.
Teguran banyak wujudnya. Ada nasihat baik-baik dari guru kita yang jarang marah. Ada yang berupa sindiran nyinyir nan julid dari teman yang lagi super kesal. Ada juga teguran yang berupa cubitan keras dari ibu yang sudah gemas pada kelakuan anaknya. Sampai bentakan kasar pengendara motor kepada supir angkot yang ngetem sembarangan, itu pun teguran.
Pastinya, tidak semua teguran diniatkan untuk mendidik kita, ya, hehe. Pengendara motor yang memaki supir angkot karena ngetem sembarangan, saya yakin makian itu keluar hanya sebagai reaksi yang emosional, bukan karena si pengendara motor ingin supir angkot menjadi pribadi yang lebih baik. Berbeda dengan teguran dari guru ataupun dari orang tua, seringkali diiringi oleh nilai-nilai pendidikan dan harapan supaya kita menjadi lebih baik.
Tapi yang jelas, teguran itu muncul biasanya memang karena ada hal salah atau mengesalkan yang kita lakukan kepada orang lain.
Reaksi pada Teguran
Reaksi pada teguran juga wujudnya macam-macam. Ada yang masuk ke telinga, turun ke hati, dan diolah di otak. Ada yang begitu. Ada juga yang masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Yang lebih parah, ada yang masuk ke telinga, lalu berubah menjadi api dendam yang tersimpan di hati. "Apa sih, guru sok tau." Belum lagi kalau yang menegur lebih muda. "Songong amat sih jadi adik kelas." Atau teman sendiri. "Sok suci banget sih negur-negur. Sendirinya juga masih banyak salah."
Ea. Kapan kita ngambil hikmahnya kalau selalu bersikap defensif terhadap teguran?
Ada pepatah bahasa Arab yang berbunyi, unzhur maa qoola wa laa tanzhur man qoola. Perhatikan apa yang dibicarakan, dan jangan perhatikan siapa yang bicara. Tua muda, kawan lawan, adik kakak, siapa pun itu yang berbicara, harusnya cukup kita perhatikan apa yang dibicarakan. Sebuah teguran? Benarkah apa yang ia tegurkan pada saya? Bukan malah memperhatikan siapa-nya. Ah dia lebih muda, ah dia juga sama aja masih suka salah, dan lain-lain ribuan alasan akan keluar supaya kita tetap merasa benar.
Selain itu, saya juga selalu ingat pada sebuah ayat suci Al Quran, tentang teguran-teguran Allah melalui kerusakan alam, yaitu surat Ar Ruum ayat 41. Artinya, telah nampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.
Pada saat pertama saya baru benar-benar memahami kalimat itu, saya benar-benar takjub. Ternyata, tujuan Allah menegur manusia hanya satu. Yaitu, supaya manusia kembali ke jalan yang benar. Berarti, adanya banjir, longsor, kebakaran hutan, kekeringan, dan lain-lain, murni karena Allah begitu sayangnya sama manusia sehingga ingin kita semua sadar akan kesalahan dan kembali ke jalan yang lurus. Bukan karena Allah ingin menghukum kita.
Jadi, teguran, bagaimana pun bentuknya, sebenarnya memiliki efek yang baik bagi yang ditegur. Meski awalnya menyebalkan atau membuat kita malu, tapi jika kita mampu mengambil hikmah dari teguran, maka kita akan menjadi pribadi yang lebih baik. Sebaliknya, menutup hati pada teguran, tidak mau menerima kesalahan, hanya akan membuat kita berada di pusaran kebodohan yang sama.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment