Partisipasi Perempuan Indonesia dalam Dunia Kerja, Memprihatinkan?


Tulisan ini dedikasikan untuk seluruh dunia pada umumnya, dan untuk Rasmita Yulia pada khususnya, yang pada suatu ketika, mungkin sudah terbilang satu hingga dua tahun lampau, mengepos instastory yang temanya menghantui pikiran saya hingga kini. Selalu berjanji dalam hati, ingin membuat tulisan dengan tema terkait, akhirnya baru terwujud sekarang. Entahlah, akan selesai hari ini juga atau tidak, karena saya berkejaran waktu dengan bangunnya si bayi dari nyenyak tidurnya. Kapan bangunnya? Tidak ada yang tahu, hehe.

Mita dulu mengepos tentang partisipasi wanita di dunia kerja. Bukannya saya tidak setuju atau setuju dengan tulisannya, tapi saya tergelitik akan topik ini secara umum: bagaimana hari ini dunia memandang makna ‘partisipasi wanita dalam dunia kerja’. Saya, sih, dalam pengertian umum, bisa disebut sebagai wanita pekerja. Jadi, topik ini menyetrum saya, bukan karena saya ibu rumah tangga yang ingin protes. Juga bukan karena saya gemas dengan rendahnya angka partisipasi wanita di dunia kerja Indonesia. Saya gemas pada hal yang lebih mendasar dari itu. Saya gemas pada tataran definisi.

Kembali ke Akar
Partisipasi perempuan dalam dunia kerja. Saya coba mengambil kata kuncinya dan membahasnya satu per satu. Partisipasi, perempuan, dan kerja. Partisipasi berasal dari kata participation yang dalam bahasa Inggris bermakna the action of taking part in something atau sebuah tindak untuk terlibat dalam sesuatu. Partisipasi secara pendek saya anggap sebagai sebuah keterlibatan. Tidak ada yang menggelitik ya dalam definisi ini.

Makna perempuan juga saya rasa hampir semua manusia berpandangan sama. Mengenai jenis kelamin, ya.

Nah, bagaimana dengan kata kunci yang ketiga? Kerja?

Secara umum, kata kerja pada frase ‘partisipasi perempuan dalam dunia kerja’ mengarah ke makna sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah; mata pencaharian. Ini adalah salah satu definisi kerja dalam KBBI. Definisi ini sesuai dengan bagaimana para pejabat atau para pembuat artikel mengungkap tentang rendahnya partisipasi perempuan di dunia kerja dibandingkan dengan laki-laki. Yang dikaitkan dalam tulisan-tulisan tersebut adalah masalah ekonomi, gaji, dan lainnya. Artinya, kerja di sini secara sempit diartikan sebagai mata pencaharian. ‘Kerja’ di sini lebih sebelas-dua belas dengan kata ‘job’ yang bermakna a paid position of regular employment.

Padahal, kerja juga bisa disandingkan dengan kata work yang memiliki arti activity involving mental or physical effort done in order to achieve a purpose or result – kegiatan yang melibatkan usaha mental atau fisik untuk mencapai tujuan atau hasil. Tujuan atau hasil tidak melulu harus diukur dengan uang dan gaji.

Saya ambil dari liputan6.com, pada Maret ini Srikandi Indonesia, Ibu Sri Mulyani, menyebutkan bahwa partisipasi angkatan kerja (labor participation) perempuan di Indonesia hanya 54%. Sudah sangat tersurat bahwa kerja yang dimaksud di sini terkait dengan mata pencaharian. Lalu, bagaimana dengan 46% perempuan lainnya? Selama ini, apakah mereka tidak dianggap bekerja?

Menyoroti masalah ini, saya memang bermaksud menggarisbawahi ‘pekerjaan’ ibu, khususnya ibu rumah tangga. Kalau ada orang yang berbicara, “ngapain sekolah tinggi-tinggi ujung-ujungnya jadi ibu rumah tangga”, “gak sayang sama gelarnya?”, atau pernyataan dengan nada serupa, saya dengan lantang menyimpulkan bahwa orang tersebut tidak memiliki mindset seorang negarawan.

Pendidikan adalah Bidang Strategis
Di bidang apapun, yang namanya menyiapkan penerus merupakan sebuah pekerjaan yang penting, mengingat manusia tidak ada yang hidup selamanya. Bahkan Voldemort pun akhirnya mati juga ya. Hahaha. Mulai dari himpunan mahasiswa dan BEM, pasti ada program kaderisasi. Menyiapkan penerus himpunan tersebut di kala kakak-kakaknya sudah wisuda. Bidang industri pun memiliki kaderisasinya sendiri. Menyiapkan pekerja-pekerja teknis baru dengan berbagai pelatihan. Mempersiapkan para calon manajer dan direktur dimulai dari program Manager Trainee. Divisi HRD (Human Resource Development) pun memiliki peran yang sangat penting bagi sebuah perusahaan.

Tak ketinggalan, lingkup yang paling luas, yaitu negara, memiliki alatnya sendiri untuk mengader penerus, yaitu SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Alias pendidikan. Jika kita mau berkaca pada negara yang disebut-sebut memiliki pendidikan terbaik, Finlandia, kita mungkin terperangah ketika mengetahui fakta-fakta pendidikan di sana, salah satunya adalah syarat menjadi guru SD minimal bergelar master (S2).

Memang pendidikan memiliki peran sangat penting dalam kemajuan negara. Ketika Jepang hampir lumpuh saat dua kotanya diterjang bom atom, Kaisar Jepang saat itu justru bertanya, ‘masih adakah guru?’. Yang ditanya bukan masalah ekonomi, bukan masalah politik, dan lainnya. Dengan pola pikir seperti itu, tak usah dibahas bagaimana hasilnya. Saat itu sama-sama Agustus 1945. Jepang dengan tragedi bom atomnya dan Indonesia yang baru bangkit melalui kemerdekaan. Kalau dibandingkan sekarang, signifikan sekali bukan, perbedaannya?

Pendidikan tidak bisa dianggap lalu. Pendidikan tidak bisa dianggap main-main. Pendidikan bukan sekedar transfer of knowledge, melainkan juga bagaimana membentuk kepribadian yang mantap, karakter yang hebat, akhlak yang baik, pada diri seseorang. Dan semua orang tahu, kepribadian harus dibentuk dari kecil. Banyak sekali ungkapan, ‘udah tua susah dikasih tau.’ Memang, yang lebih mudah dibentuk itu yang muda-muda.m Itu adalah bukti bahwa pendidikan karakter harus dimulai sejak dini.

Sejak dini, sejak kapan? Sejak dalam kandungan. Bahkan pada usia kehamilan 3 bulan, janin sudah dapat mendengar. Para ibu sangat disarankan untuk mengajak bicara janinnya. Lalu di masa-masa awal kehidupannya, anak memiliki kesempatan emas untuk belajar. Studi membuktikan bahwa seseorang paling lancar berkomunikasi dalam bahasa yang dia dengar dalam dua tahun pertama hidupnya (bukan berarti tidak bisa belajar bahasa asing ya). Yang saya garis bawahi adalah bahwa apapun yang diberikan di masa-masa awal kehidupan memiliki efek yang sangat besar kepada si bayi.

Ibu Juga Sebuah Pekerjaan
Jadi, dalam pandangan saya, ibu adalah sebuah profesi yang sangat penting dan patut mendapat perhatian dari pemerintah. Jika kita mengacu pada kata work yang bermakna kegiatan untuk mencapai tujuan atau hasil, maka ibu merupakan sebuah pekerjaan yang sangat penting. Tujuan atau hasil yang dicapai adalah anak-anak dengan fondasi karakter yang kuat, perkembangan yang optimal, dan sebagainya, dalam rangka membesarkan generasi penerus yang berdaya. Apa yang diberikan dan diajarkan seorang ibu pada bayi dan anak-anaknya akan sangat amat menentukan masa depan bangsa. Dengan kata lain, masa depan bangsa sangat ditentukan oleh kualitas para ibu.

Saya bisa mengatakan bahwa para pencetus ngapain-sekolah-kalau-cuma-ngurus-anak tak punya mindset negarawan karena apa yang ada dalam benak mereka ‘ngurus anak’ hanyalah perkara ibu rumah tangga yang berdiam di rumah, kerjanya bersih-bersih, lalu jam 10 nonton kartun bareng anak. Ya iyalah sayang sama gelar kalau kerjanya gitu doang. Padahal, ‘ngurus anak’ adalah sebuah perkara membangun masa depan bangsa, sebuah ruang kaderisasi untuk meneruskan kejayaan negara. Perkara besar seperti ini, yakin tidak membutuhkan ibu dengan 'sekolah yang tinggi-tinggi'? Perkara besar seperti ini, yakin mau diserahkan kepada orang tidak berpendidikan?

Perlu Ada Pendidikan Profesi
Hampir semua profesi memiliki jurusan sekolah formal. Ada jurusan kedokteran untuk mencetak dokter, ada sekolah kejuruan teknik untuk para praktisi di pabrik, ada sekolah farmasi untuk apoteker, dan lainnya. Pendidikan formal dimaksudkan untuk mempersiapkan manusia-manusianya ke dunia kerja yang sesungguhnya.

Namun, menjadi ibu, dan juga ayah, bukankah sebuah dunia kerja yang nyata juga? Apakah selama ini negara sudah mempersiapkan para perempuan untuk menjadi ibu, dan para lelaki untuk menjadi ayah? Apakah negara yakin kualitas orang tua Indonesia sudah baik? Pemerintah seharusnya memberikan perhatian yang besar kepada ‘sektor’ ini. Bukan sekedar kesejahteraan para ibu, tetapi juga bagaimana pemerintah meningkatkan terus kualitas ibu-ibu ini.

Sebagai gambaran, yang mungkin kurang ilmiah, saya saat ini mengikuti Instagram seorang dokter anak subspesialis nutrisi. Dari sekian banyaknya posting dan interaksi yang dilakukannya dengan para pengikutnya yang jumlahnya ratusan ribu, saya mendapatkan gambaran bahwa masih banyak ibu di Indonesia yang belum paham betul cara memberikan MPASI kepada bayi. Tidak heran, rapot kita saat ini di bidang pertumbuhan anak masih merah, yaitu 30% anak di Indonesia mengalami stunting. Jadi, sebagai seorang ibu, perempuan di Indonesia masih banyak yang belum teredukasi untuk menjalankan perannya dengan baik dan benar.

Btw, jangan anggap remeh stunting, ya. Hasil studi membuktikan stunting secara signifikan memiliki banyak pengaruh, di antaranya terhadap tinggi badan yang kurang, kecerdasan yang kurang, dan, percaya-gak-percaya, stunting memiliki korelasi terhadap tingkat penghasilan yang rendah di masa dewasanya. Secara kasar dan cepat, kita peroleh kesimpulan: cara ibu masak dan memberi makan menentukan GDP negara.

Ketika saya menjadi ibu, memang banyak sekali hal baru yang saya pelajari. Tadi kita baru membicarakan masalah gizi dan nutrisi untuk anak. Kita belum membicarakan hal-hal lain, seperti metode mengasuh anak, metode mendidik anak, cara belajar, bagaimana mengembangkan potensi anak, dan masih banyak lagi dimensi-dimensi yang perlu diperhatikan.

Saya sempat berpikir, alangkah membantunya jika saya dulu pernah kuliah atau sekolah menjadi ibu. (Gelarnya apa ya? S.Bun, Sarjana Bunda? Wkwk.) Atau, paling tidak ada ilmu-ilmu pengantar tentang anak dan keluarga yang diberikan di kelas 12 SMA. Atau, les yang diwajibkan pemerintah untuk diambil dalam rangka persiapan pranikah bagi pasangan yang berencana punya anak. Atau, kelas dari pemerintah untuk ibu-ibu hamil. Atau, ada ide kreatif lainnya?

Jadi…
Daripada terus-menerus menyoroti partisipasi perempuan dalam dunia kerja dan berharap partisipasinya terus meningkat, saya berpendapat lebih pantas untuk memasukkan ‘profesi’ Ibu Rumah Tangga (IRT) ini sebagai sebuah partisipasi kerja. Memang secara ekonomi, IRT tidak berkontribusi secara langsung. Namun di masa yang akan datang, kualitas kerja para IRT yang akan menentukan nasib bangsanya. Apakah pemimpin masa depan yang dididiknya ini berkualitas? Atau malah SDM Indonesia di masa yang akan datang hanya menjadi kuli bangsa lain?

Serta, pemerintah pun harus memerhatikan profesi ini, IRT maupun ibu bekerja. Peningkatan kualitas ibu amat sangat penting sebagai fondasi negara. Memerhatikan kesejahteraan ibu juga bermakna mempersiapkan kualitas terbaik generasi penerus. Bagi para ibu bekerja, harus diperhatikan kesempatannya berinteraksi dengan anak dalam rangka pendidikan. Profesi apapun dapat tergantikan, namun peran ibu tidak dapat sembarangan dioper-oper ke orang lain, apalagi berganti-ganti orang setiap hari tanpa ada program yang jelas bagi si anak.

Ibu adalah sekolah utama, bila engkau mempersiapkannya, maka engkau telah mempersiapkan generasi terbaik
(pepatah Arab)

2 comments:

Rasmita Yulia Mutiarasari said...

Menarik memang melihat konsep Ibu dan pendidikan. Aku setuju banget kalau 46% itu, harus diitung dan dimasukin ke so called 'partisipasi kerja perempuan'. Tapi mungkin belum ditemukan metodenyaa hehe.


Jadi, apakah untuk punya anak bergizi bagus harus jadi Ibu Rumah Tangga? Karena agak menggelitik. Buatku, pemerintah harus fokus dua2nya. Karena alasan 'partisipasi perempuan dalam pekerjaan formal' itu rendah bukan karena jd ibu rmh tangga, bukan. Tp lbh kepada bahwa sisi kebiologisan seorang Ibu, masih jauh diakomodasi dalam sistem ketenagakerjaan kita. Makanya, lbh banyak ku dalam keseharian melihat perempuan di posisi pekerjaan tinggi itu nggak punya anak atau bahkan ngga menikah. Makanya selalu ngefans dan terheran-heran dgn seorang Ibu yg job oke, tp work juga oke, anak pinter dan sehat, luar biasa banget.

Aku jadi berkhayal-khayal, jika sisi biologis seorang Ibu dihargai lebih dlm pekerjaan dlm hal ini job, misalnya, cuti hamil dan melahirkan bs lebih panjang, cuti suami, cuti bapak, fasilitas memadai di kantor untuk menyusui, dll. Seminar ibu gratis, lingkungan yg aman, dsb.

Jadi memang semua kembali kepada pilihan, kondisi latar belakang dan juga prioritas dlm setiap milestone kehidupan. Hidup Ibu-Ibu!

Btw Makasih dedikasi tulisannyaa wkwk

Dinar said...

Ehhh jadi pengen komen jugak wkwkw.. kalo yg sebacanya aku sih, mbak pri ga bilang untuk gizi baik anak harus jadi IRT. Yg lebih ditekankan, pendidikan soal pengasuhan anak (yha kalo mau dirunut, bahlan soal rumah tangga secara umum) masih kurang sekali difasilitasi. Aku pun yg punya akses info mudah masih suka pusing dan nangis2 dibuatnya *lah curhat wkwkwkw.. meghan markle juga sama ternyata, jadi yha well, semangat buat semua buibu apapun posisinya (buibu di sini maknanya luas bgt btw, simpelnya yha perempuan dewasa ajalah ya hehehehehehehe)