Belakangan, Indonesia, atau facebookers pada khususnya, tengah ramai dengan RUU Pilkada;
langsung atau tidak langsung (saya, melalui blog ini, mau ikut serta dalam
keramaian itu ah). Sebagian besar berbelasungkawa atas ‘matinya’ demokrasi di
Indonesia dengan disahkannya RUU Pilkada tidak langsung. Tidak saya temukan
sedikitpun yang mendukung RUU Pilkada tidak langsung di media sosial, tapi ada
segelintir yang menyatakan ‘ah, sama saja’.
Kebetulan, saya termasuk di dalam yang segelintir itu.
Historikal
Secara faktual, sejarah bangsa ini tidak melulu indah dengan
dilangsungkannya sistem pilkada langsung. Nyatanya, pilkada langsung juga
menghasilkan banyak kepala daerah yang dibenci dan dinyatakan tidak becus,
korup, dan sebagainya, oleh para rakyat. Sebut saja, Fauzi Bowo yang bahkan
tidak mampu mengambil hati rakyat pada pilkada keduanya, Dada Rosada, yang sudah
divonis penjara, dipersalahkan untuk berbagai macam kemunduran di Kota Bandung,
dan tentu tidak lupa kan dengan kasus heboh Ibu Ratu Atut Chosiyah? Ratu Atut
Chosiyah yang asik bermain dengan suap-menyuap dalam urusan Pilkada. Mereka semua
produk Pilkada langsung, bung.
Seolah kita semua lupa dengan kasus-kasus itu. Memang, kepala daerah yang lovely juga ada yang dihasilkan dari proses Pilkada langsung. Sebut saja Ridwan Kamil, Jokowi, Ahok, Nurdin Abdullah, dan sebagainya. Tapi, sejujurnya, berapa sih yang baik itu dibandingkan ratusan kepala daerah lainnya di Indonesia? Apakah dari situ kita mau menyimpulkan bahwa Pilkada langsung memang superior dan jauh lebih baik daripada Pilkada tidak langsung?
Menang dengan Hati
Pilkada langsung, apakah semewah itu sampai harus
benar-benar dipertahankan? Penyelenggaraan Pilkada langsung sebenarnya sangat
mahal. Dan buang-buang kertas, kecuali rakyat Indonesia mau kertas votingnya
menggunakan daun pisang hahaha.
Selain itu, kebobrokan pilkada langsung yang membuat saya jijik dari dulu adalah: sistem marketing.
Dalam pilkada langsung, para calon harus mampu merebut hati
rakyat. Apalagi di tengah masyarakat postmodern ini, yang direbut secara
harafiah benar-benar perasaan rakyat, bukan lagi logika rakyat. Rakyat memilih
tidak lagi dengan pertimbangan rasional, tapi menggunakan insting dan
perasaannya,
Dengan kenyataan demikian, untuk menghemat kampanye, untuk apakah
calon tersebut mempromosikan program-programnya? Toh rakyat tidak terlalu
peduli. Rakyat maunya calon yang dapat menyentuh hati mereka.
Dan hati yang tersentuh bisa diperoleh dengan senyum yang ramah. Hati dapat disentuh dengan kisah yang mengharu biru. Lihat saja, banyak kontes pemilihan idola yang dimenangi oleh para finalis yang memiliki kisah hidup serba sedih. Hati mudah simpati oleh orang yang unik, yang tampak beda, yang tampak terzalimi, yang tampak membumi, yang tampak membela rakyat, bahkan yang penampilannya tampak baik (dalam buku Psikologi Komunikasi karya Jalalludin Rahmat, salah satu aspek yang menimbulkan simpati seseorang adalah aspek atraksi personal, dan aspek atraksi personal ini salah satunya dipengaruhi oleh kecantikan atau ketampanan). Bahkan, bagi sebagian rakyat Indonesia, hati dapat disentuh oleh pribadi yang dermawan, yang mau berbagi, yang sayangnya, menurut KPU, kedermawanan ini disebut sebagai money politic.
Hati tidak dapat tersentuh dengan logika dan rasional dan konten pemikiran. Perhatikan saja debat cawapres kemarin. Banyak yang berpendapat bahwa Hatta Rajasa secara konten lebih unggul dalam debat dibandingkan Pak Jusuf Kalla. Tapi toh simpati sebagian besar rakyat tetap setia pada pasangan Jokowi-JK. Hehe.
Kalau kondisinya begini, tim pemenangan atau tim marketing calon tidak perlu repot-repot mengedukasi masyarakat tentang konten yang akan dibawa calon; yaitu analisis mengenai apa permasalahan bangsa ini, apa akar masalahnya, dan apa solusi yang ditawarkannya. Yang penting, desain bagus, citra sesuai yang diinginkan rakyat, dan sosok yang mengayomi.
Jadi, saya bisa ambil kesimpulan kasar bahwa hati rakyat disentuhnya dengan pencitraan dan orang yang menyosok. Tanpa bermaksud menyinggung, Jokowi sudah memiliki banyak pendukung bahkan sebelum dia mengajukan diri sebagai capres. Artinya, para “awwalun” pendukung tersebut mendukung karena sosoknya, tanpa perlu mengetahui konten apa yang akan dibawa Jokowi saat mencalonkan diri nanti.
Padahal, kalau pakai analisis yang logis, Jokowi kan sevisi dengan Bu Megawati. Bahkan Ibu Mega tidak berhasil maju lagi sebagai presiden pada tahun 2004 silam. Saya yakin, kalau kemarin yang maju sebagai pilpres dari PDI-P adalah Ibu Mega, pemilihnya tidak akan sebanyak Jokowi, meski mereka berada di bawah payung visi yang sama.
Bahkan, kelompok masyarakat sekelas mahasiswa ITB, yang katanya putra-putri terbaik bangsa dan terbiasa melakukan analisis dalam tugas-tugas kuliah, masih lebih melihat sosok daripada konten, alias lebih memakai perasaan daripada rasio. Kesimpulan ini saya ambil dengan sampling asal dan seadanya pada kasus pemilu calon ketua kabinet keluarga mahasiswa ITB pada tahun 2013 kemarin. Teman-teman di sekitar saya banyak yang memilih calon x karena sosoknya yang keren dan rupawan. Bahkan, ada pernyataan,”gue ga tau sih isu yang dia bawa, tapi gue milih dia abis keren sih.”
Yang jelas, saya langsung berpendapat,”wah PR banget buat dia kalau sampai kepilih, soalnya dia dipilih oleh orang-orang yang secara umum tidak peduli tentang apa yang dia bawa.”
*
Padahal, tahu dari mana bahwa calon yang kita dukung benar-benar
merakyat, baik, dan keren, seperti yang kita duga, selain dari media kampanye
mereka? Namanya juga media kampanye, pasti iklannya yang bagus-bagus dong hehe.
Lagian, kata Rasul, kalau mau mengenal pribadi seseorang, kita harus
tinggal tiga hari sama beliau.
*
Bagi saya, banyaknya protes yang dituai RUU Pilkada tidak
langsung menunjukkan ketidakpercayaan rakyat pada wakil-wakilnya di kursi DPR. Padahal, RUU Pilkada tidak langsung
ini, sebenarnya, sesuai-sesuai saja dengan sila terpanjang dari Pancasila. Bahkan lebih sesuai daripada Pilkada langsung yang menggunakan sistem voting.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
Teringat waktu SD, guru saya menjelaskan perbedaan demokrasi liberal dengan demokrasi Pancasila. Katanya, demokrasi liberal dijalankan dengan sistem voting alias suara terbanyak yang menang, sedangkan dalam demokrasi Pancasila, pengambilan keputusan dilakukan dengan musyawarah. Dalam musyawarah, yang menang adalah pendapat dengan argument yang terkuat, meskipun yang menyuarakan hanya sebagian kecil.
Ya mana bisa gak pakai sistem voting, orang rakyat Indonesia kan banyak, masa disuruh musyawarah buat nentuin Kepala Daerah?Ya makanya ada DPR. Seperti kata pelajaran PPKn waktu SMA, sejarah dibentuknya perwakilan rakyat pada zaman Yunani dahulu disebabkan makin bertambahnya jumlah manusia sehingga pengambilan keputusan tidak lagi dapat melibatkan seluruh warga negara.
(Tapi, katanya sih DPR kita sekarang pakai sistem voting, bukan musyawarah lagi.)
Meski demikian, saya, secara jujur dan subjektif, juga kurang percaya sih sama wakil saya. Hehe. Saya agak beranggapan bahwa pencetusan RUU Pilkada tidak langsung ini berbau ‘mempertahankan kekuasaan’. Jadi, seperti orang banyak, ternyata saya sama halnya dengan kebanyakan orang, kurang percaya dengan wakil-wakil saya di DPR. Dan, dengan demikian, saya menyimpulkan bahwa akar permasalahannya sebenarnya ada pada DPRnya. Kalau kita semua percaya sama orang-orang yang kita pilih untuk duduk di kursi DPR, Pilkada tidak langsung tidak akan menjadi masalah lagi, kan?
Ngomong-ngomong, anggota DPR itu dipilih langsung oleh kita, loh. Lihat kan bahwa pemilihan langsung ternyata bisa menghasilkan orang-orang yang tidak kita percaya? Pemilihan langsung DPR ternyata menghasilkan UU yang ditentang sebagian besar rakyatnya; UU Pilkada tidak langsung.
Manusianya
Money politic dan
kasus suap pilkada tidak akan terjadi kalau manusianya berakhlak. Pemilihan
kepala daerah dengan tujuan mempertahankan kekuasaan golongan, memenangkan yang
bayar, dan sebagainya, tidak akan terjadi kalau manusianya berakhlak. Pilkada
langsung maupun tidak langsung akan sama-sama menghasilkan produk yang baik
apabila manusia-manusianya berakhlak dan cerdas.
Jadi, akar permasalahan dari semua ini sebenarnya
manusianya; pendidikan bagi manusianya. Sampai kapanpun, kalau permasalahan
pendidikan tidak dibenahi, mau sistem langsung kek, tidak langsung kek,
setengah langsung kek, ya sama saja lah hasilnya.
Sekedar informasi, Nabi Muhammad, Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khatab, dan beberapa khalifah lainnya, ternyata tidak dipilih dengan sistem Pemilu langsung, loh. Memang deh, semua tergantung manusianya.