Mendidik untuk Hafal?

Aku sangat bersyukur saat membuka pintu belakang rumah. Siraman matahari yang begitu menyengat langsung berganti dengan udara sejuk dan lampu redup di dapur. Sambil sekilas menyapa Ceu As, aku langsung menapaki lantai yang dingin ke dalam rumah.

Seperti yang telah aku duga, gadis kecil ini menyambutku dengan riang. Dia langsung menggamit tanganku dan menarikku untuk duduk di meja makan.

"Mbak, main sekolah-sekolahan yuk," katanya riang.

"Hayuk," jawabku,"mau belajar apa, Dek?"

"Bahasa Indonesia."

Rupanya, sedari tadi dia sudah menenteng-nenteng buku tulis. Dia menaruhnya di hadapanku dan memberikanku sebuah pensil tumpul.

"Aku gurunya, Mbak muridnya, ya," dia memaksakan skenarionya.

"Ya udah, apa soalnya, Dek?"

Dia membuka bukunya yang lain, lalu membaca keras-keras dengan intonasi anak SD - ada cengkok naik di ujung kalimat,"apakah yang disebut dengan membaca istenif?"

Aku menaikkan alisku.

"Istenif?"
***
Anak SD sekarang rupanya diajari hal-hal yang artinya pun mereka tidak mengerti. Jangankan artinya, mengejanya pun masih susah mereka. Istenif tadi, ternyata, maksudnya adalah intensif. Jadi, di sekolahnya, saat ulangan maupun tugas, mereka ditanyakan definisi dari membaca intensif. Bukan cuma itu, ada lagi teori tentang membaca lantang.

Saat dahiku berkerut-kerut bingung, tidak tahu jawaban apa yang harus aku berikan untuk pertanyaan tadi, akhirnya si Adek langsung memberi tahu aku teori-teori yang harus aku hafalkan. Yang pertama adalah membaca i-isten-in-innn-tennn-sifff. Rupanya, membaca intensif adalah kegiatan membaca di dalam hati tanpa bersuara, menggerakkan kepala, dan menggunakan jari atau alat bantu sebagai petunjuk, dengan tujuan memahami isi bacaan.

Ada lagi jenis membaca yang lainnya. Membaca lantang adalah membaca dengan bersuara dengan tujuan untuk mendengar dan memahami isi bacaan.

Naon.

Apa gunanya menghafalkan makna kedua jenis membaca tadi? Toh aku hidup di dunia ini 23 tahun, tidak menyadari adanya dua jenis cara membaca yang berbeda, tanpa kesulitan yang berarti. Suka-suka gue lah mau baca sambil nunjuk atau teriak-teriak. Lagian, memang kenapa membaca lantang dibedakan dari membaca intensif? Kadang-kadang, aku bersuara kok kalau aku mau intense membaca. Sama-sama membaca intensif kaaan?

Yang aku lumayan sebal, pertanyaan-pertanyaan yang ada di buku tulisnya semua bersifat menyalin teks di buku. Misalnya seperti tadi, apa yang dimaksud dengan membaca intensif? Padahal, yang penting bukan hafalannya. Yang penting adalah pemahaman konsepnya dan pemahamannya dalam mengaplikasikannya di dunia nyata.
***
"Pertanyaan ketiga!"

"Ya, apalagi," tanggapku tidak bersemangat. Aku mulai heran dengan pertanyaan-pertanyaan dari gurunya ini. Dan juga dengan pelajaran Bahasa Indonesia ini.

"Di manakah kita membaca intensif?" tanyanya. Tentu saja, ngomong intensifnya belepotan.

Aku tercenung. Wah akhirnya ada yang lepas dari hafalan.

"Di kamar!" jawabku tiba-tiba senang.

"Salaaah," sahutnya kecewa. Kecewa kakak sepupunya ini salah melulu jawabnya dari tadi. Ya iyalah, mana gue tau gitu loooh.

"Loh, di mana dong?"

"Ayo Mbak, inget-inget di mana? Mungkin di tangan, di otak, di rambut..." dia berusaha memberiku clue.

"Oh..." aku agak terperangah,"maksud kamu, di dalam hati?"

"Iya!"
***

Sudah lama aku menyadari, adikku yang satu ini pemahamannya memang tergolong kurang. Dia cenderung untuk menghafal dan saklek pada definisi yang ada di lingkungannya.

Kala itu, dia sedang membuat gelang dari karet warna-warni. Ada alat sederhana khusus untuk membuatnya. Ketika membeli perlengkapan itu, adikku diajari oleh penjualnya bagaimana membuat gelang dan cincin. Rupanya, cara membuat gelang dan cincin itu berbeda, karena memang bentuknya dibuat berbeda.

Dia, yang berpikir kakaknya serba bisa, memintaku mengajari cara membuat cincin. Sudah lupa katanya. Berhubung saat itu aku belum tahu bahwa ada cara sendiri untuk membuat cincin, aku jawab saja,"ya sama aja dong dek sama gelang. Bikin aja lebih kecil."

"Ih gak gitu tau!" bantahnya,"ada caranya sendiri!"

Sekali lagi, ya mana gue tau, tapi di situ aku mulai sedih karena dia tidak mampu menangkap konsep cincin yang kecil dan konsep cara membuat gelang yang bisa dikreasikan. Contoh tadi bukan satu-satunya kasus yang membuatku menyimpulkan tentang kurangnya dia dalam memahami. Tentu ada yang lain lagi, dan semua itu tertuju pada satu kesimpulan. Dia hanya menghafal apa yang lingkungannya katakan. Dia tidak berusaha untuk memahami konsepnya. Padahal, dengan paham konsep, kita bisa berkreasi toh.

Dan aku mulai yakin musababnya ada pada pola pendidikan yang hanya menuntut hafalan.
***
Mereka benar-benar hanya diajari hafalan. Definisi suatu kata. Harus hafal, tidak mengerti tidak masalah. Aku makin bertambah frustrasi di soal-soal berikutnya.

"Sekarang..." Matanya naik turun mencari-cari soal yang ingin dia berikan,"oh coba jawab, apa yang disebut dengan intonasi?"

Dengan yakin tidak akan salah, jawabku,"nada bicara!"

"Salaaah!"

Whut

"Apa dong, Dek?"

"Lagu kalimat."

...

Yah, meski memang ternyata definisi dari KBBI adalah demikian, tapi ya gak gitu juga kali. Ada beberapa lagi pertanyaan-pertanyaan yang secara konsep aku telah benar menjawab, tapi tetap dia salahkan karena berbeda dengan yang ada di buku. Tapi aku lupa pertanyaan apa lagi. Yang jelas, tidak salah kalau aku menyimpulkan bahwa dia sebenarnya tidak mengerti makna dari intonasi. Dia hanya hafal.

Aku jadi penasaran, kalau dia menjawab 'nada bicara' untuk pertanyaan tadi dalam ulangannya, akankah disalahkan oleh gurunya?
***
Sepertinya, tidak adil kalau aku dengan sepihak, dan tanpa riset apapun, menyimpulkan semuanya dengan satu frasa "anak SD jaman sekarang...", lalu geleng-geleng kepala. Karena, sepertinya, masa SDku juga dihabiskan dengan pola yang memangkas kreativitas.

Ceritanya, aku dari kecil senang membaca buku dan menulis. Ada satu buku cerita yang aku cukup sukai. Buku tipis itu bercerita tentang Anastasia. Itu loh, salah satu film kartun yang sempat booming tahun 90an akhir.

Buku itu dimulai dengan prolog dari seorang tokoh bernama Vladimir. Vladimir sendiri juga tokoh di dalam cerita, namun di buku itu dia mendapat peran lebih sebagai narator. Semua kisahnya dituliskan dari sudut pandangnya.

Pada kesempatan itu, guruku meminta anak-anaknya untuk membuat cerita tentang liburan panjang kemarin. Akhirnya, aku membuat sebuah cerita diawali dengan prolog yang kurang umum. Meniru konsep buku Anastasia dengan gayaku sendiri. Di saat anak-anak lain memulai cerita dengan "pada liburan kemarin aku bersama keluarga aku pergi ke...", aku membukanya dengan paragraf yang agak nyentrik.

Sebenarnya gak nyentrik sih, biasa saja. Berbeda, lah.

Esoknya, ibu guru itu mengulas cerita yang kami buat hari yang lalu. Di depan kelas, dia langsung membahas cerpenku, meski tanpa menyebut nama, namun dia mengejeknya. Dia bilang, ngaco banget bikin cerita kayak begini, lalu dia bacakan ceritaku.

UNTUNG, aku tidak langsung minder dan terpangkas percaya dirinya. Untung aku yakin pada buku Anastasia dan hanya menganggap bahwa guruku ini memang kurang pengetahuan. Untung kreativitas aku tidak dia matikan.

Fuh.


0 comments: